Tampilkan postingan dengan label Motivasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Motivasi. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Januari 2014

Malas tapi Sukses

Dalam satu sesi pembelajaran di kelas bersama anak-anak kelas 6, saya sempat bertanya,"Apakah kalian mau jadi orang yang malas tapi sukses?." Hampir semua mereka menjawab "mau" tapi dengan wajah kebingungan. Karena selama ini yang mereka tahu kalau ingin sukses ya harus rajin belajar. Ya, tentu ini tidak salah. Ini masalah sudut pandang semata. Kalau begitu, apa sih yang dimaksud dengan "malas tapi sukses"? Mungkinkah orang-orang yang malas dapat meraih sukses dan berhasil dalam hidupnya?Jawabannya, mungkin dan sangat mungkin. 

Jadi, siapakah orang-orang yang malas tapi bisa sukses? Baiklah, saya kasih tahu hasil renungan saya. Hahaha... 
  • Pertama, orang yang malas bodoh. Orang macam ini akan meraih sukses karena dia sudah membayangkan bagaimana kalau nanti jadi orang bodoh. Dia tidak mau kalau dibodohi orang dan dia tidak ingin kalau karena kebodohannya ia tidak bisa mendapatkan yang terbaik dalam hidupnya. Oleh karenanya dia berupaya untuk rajin belajar, banyak bertanya, agar tidak jadi orang bodoh.
  • Kedua, orang yang malas miskin. Miskin adalah suatu keadaan yang tentunya tidak mengenakkan. Siapapun tidak akan mau kalau dirinya menjadi orang miskin. Maka, orang yang sadar akan tidak enaknya kemiskinan sejak awal dia akan malas untuk jadi orang miskin, dan karena kemalasannya untuk miskin ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dengan upaya yang sungguh-sungguh, menabung, atau berinvestasi.
  • Ketiga, orang yang malas untuk jadi orang hina. Dia akan senantiasa menjaga dirinya agar tidak terjerumus ke dalam kehinaan. Caranya, ia akan berusaha untuk menjaga sikap (attitude), perkataan, perbuatan, dan akhlaknya agar tidak melakukan hal-hal atau sikap-sikap yang tidak terpuji.
Itulah beberapa sikap malas yang akan membawa kita meraih kesuksesan. Mungkin Anda bisa menambahkan yang lainnya. Intinya, malas untuk melakukan atau mengalami hal-hal negatif itu baik asalkan memaksimalkan upaya untuk melaksanakan yang sebaliknya. Selamat bermalas-malasan!
Wallahu a'lam...

Jumat, 10 Januari 2014

Jangan Banyak Alasan!

Alasan. Sebuah kata yang bisa berkonotasi positif bisa juga berkonotasi negatif. Alasan biasanya dibuat untuk menguatkan suatu pendapat atau kebijakan yang dibuat oleh seorang pemimpin dengan harapan apa yang disampaikan bisa diterima dengan baik tanpa protes atau hujatan. 

Alasan dapat dibagi menjadi 2 bagian. Ada alasan yang masuk akal karena disampaikan dengan jujur dan tidak dibuat-buat, ada pula alasan yang memang dibuat hanya untuk menyembunyikan sebuah kebohongan. Alasan yang jujur dapat berfungsi untuk menguatkan suatu pendapat agar orang lebih yakin terhadap gagasan atau apa yang kita lakukan. Misalnya, ketika pemerintah menerapkan kebijakan kenaikan harga BBM, kalau alasan yang diberikan logis dan tidak dibuat-buat maka rakyat akan menerimanya dengan rela. 

Sebaliknya, ketika alasan dibuat untuk menutupi kebohongan maka ia akan terasa janggal, tidak logis dan tidak masuk akal. Orang yang membuat-buat alasan biasanya ia akan terus "berkreasi" membuat alasan-alasan baru untuk menutupi alasan bohongnya yang pertama dan seterusnya. Dan kita yang mendengar sebenarnya bisa dengan sangat mudah menelusuri kebohongan itu kalau kita mau lebih jeli melihatnya. Karena alasannya biasanya cenderung maksa dan tidak logis. 

Dalam kehidupan sehari-hari juga kita sering menemukan orang-orang yang berpikiran dangkal -atau mungkin bahkan kita yang melakukannya- membuat banyak alasan. Alasan pendidikan rendah, muka gak cakep, kemiskinan, keturunan, dan lain sebagainya seringkali kita jadikan alasan kita tidak bisa meraih sukses seperti yang orang lain dapatkan. Padahal, kalau kita mau buka mata buka telinga kita akan menemukan beribu-ribu bahkan mungkin berjuta-juta orang yang sukses padahal berasal dari golongan yang "tidak beruntung". Maka. stolah beralasan yang akan menghalangi kita mengeksplore sisi terbaik yang Allah anugerahkan kepada kita. Karena hal itu bisa menjadi indikasi apakah kita termasuk orang bersyukur atau tidak. Bersyukur karena kita menggunakan potensi besar yang Allah anugerahkan kepada kita, atau malah kita akan dicap kufur karena kita "malas" menampilkan potensi terbaik yang kita miliki karena kita terlalu "pintar" membuat alasan. Na'udzubillah...

Sabtu, 14 Desember 2013

Jangan Apatis!

Di dunia kerja kita tidak selalu menemukan hal-hal yang kita sukai saja. Bahkan, kadangkala hal-hal yang tidak kita sukai justru lebih banyak dan lebih kompleks. Pimpinan yang egois dan tidak bijak dalam mengambil keputusan adalah salah satunya. Gejolak seringkali muncul dalam keadaan seperti ini. Bisa jadi akan muncul protes dari karyawan, kalau karyawannya satu kata untuk "melawan". Mungkin juga akan muncul kasak-kusuk di belakang yang membicarakan kejelekan sikap pimpinan. Ada juga sikap SDM alias selamatkan diri masing-masing. Bisa juga timbul gelombang resign besar-besaran. Dan, mungkin pula muncul sikap apatis di kalangan stakeholders. Yang terakhir ini merupakan sikap yang membuat tidak nyaman bagi beberapa orang yang mempunyai jiwa peduli, dan inisiator perubahan.

Mungkin banyak di antara kita yang pernah merasakan ketika pendapatnya tidak didengar. Usulannya selalu dimentahkan. Saran-sarannya dibuang begitu saja. Kalau itu terjadi pada sebagian besar karyawan, maka yang terjadi adalah sifat apatis, acuh tak acuh, cuek, dan masa bodoh. Hal ini tentu sangat berbahaya untuk keberlangsungan sebuah lembaga. Saya pernah merasakan iklim yang seperti ini. Dimana pimpinan merasa begitu superior, egois, dan monopolistik. Pokoknya, apa yang dia katakan dan dia putuskan harus diikuti, tidak peduli itu baik atau buruk bagi bawahannya. Apa yang mereka namakan rapat hanyalah basa basi belaka. Mereka sudah rapat di tingkat pimpinan dan ke bawah hanya sebatas sosialisasi. 

Kalau kita perhatikan, kita bisa membagi jenis bawahan/karyawan ke dalam beberapa jenis. Pertama, mereka yang hidupnya mengikuti kemana air mengalir. Biasanya orang-orang semacam ini adalah orang yang tidak punya inisiatif. Mereka tidak begitu peduli apapun yang terjadi, apapun kebijakannya, yang penting kerja dan setiap bulan mendapat gaji. Kerja yaa... seadanya dan semaunya, tidak begitu peduli akan kualitas. Kedua, orang-orang yang tidak punya pendirian. Tipe ini lebih melihat mana yang lebih banyak atau mana yang lebih menguntungkan. Orientasinya keuntungan. Mereka tidak melihat duduk permasalahannya dan keharusannya. Ketiga, orang-orang yang punya ide, gagasan, inisiatif, tapi mereka tidak begitu kuat memegang prinsip. Mereka sekali-kali mengajukan ide, saran, dan gagasannya, tapi kalau idenya ditolak mereka cenderung diam, kalah. Mereka hanya bisa ngomong di belakang saja, marah-marah, ngedumel,  dan lain sebagainya. dan tipe keempat adalah orang-orang yang punya idealisme tinggi, punya gagasan dan dia terus memperjuangkan gagasannya apapun rintangannya. Mereka ini akan selalu mencari jalan untuk mendobrak kebuntuan, lewat apapun medianya. Orang semacam ini akan terus mencari celah dan ga mutung. Mereka berprinsip hidup adalah perjuangan. Tiadak setiap ide kita akan diterima oleh orang lain. Tapi, setiap kali dia yakin akan idenya dia akan perjuangkan itu. 

Sikap keempat inilah yang kita butuhkan dalam menghadapi kebuntuan birokrasi. Kita tidak boleh berhenti memperjuangkan apa yang kita yakini benar. Batu penghalang selalu ada, semua itu akan menguji sampai sejauh mana kita berjuang untuk berubah ke arah yang lebih baik. Kita jangan apatis, jangan cuek, dan masa bodoh atas ketidakadilan dan kecurangan yang ada di sekitar kita. Sikap-sikap yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada di sekitar kita harus kita upayakan perbaikannya. Jangan pernah menyerah. Istiqomahlah untuk selalu berjalan di rel yang benar. Ingatlah! Kebenaran tidak akan menjadi salah walaupun sedikit orang yang melakukannya. Dan kesalahan tidak akan menjadi benar karena banyak orang yang melakukannya. Bertahan di posisi yang benar di zaman yang penuh dengan fitnah ini memang sulit, tapi perjuangan yang penuh keikhlasan untuk tetap konsisten akan membawa kita pada kenikmatan ruhaniyah yang tidak kita rasakan saat kita menyerah pada kezaliman. Tetaplah istiqomah! Jangan apatis! Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa yang tidak peduli (cuek, apatis) terhadap urusan orang-orang Muslim, maka dia tidak termasuk golongan mereka (orang-orang muslim).

Para pemimpin yang tidak amanah dalam kepemimpinannya, mereka yang tidak bijak menjalankan tugasnya, suatu saat akan tiba masa dimana mereka akan merasakan hasil dari kebijakannya. Tugas kita adalah mengingatkan mereka akan kekeliruannya. Siapa tahu mereka melakukan itu karena ketidaktahuannya. Mereka melakukannya karena khilaf atau masih bersarang kesombongan pada dirinya. Lakukanlah seperti apa yang Allah perintahkan kepada Musa as dan Harun as, "Maka katakanlah kepadanya (Fir'aun) dengan perkataan yang lembut, mudah-mudahan dia akan teringatkan atau ada rasa takut dalam dirinya." Upaya harus terus dilakukan walaupun kita sudah tahu bahwa tipis harapan ia akan berubah. Tugas kita mengingatkan bukan memberi hidayah. Karena segigih apapun usaha kita untuk mengingatkan urusan hidayah adalah hak prerogatif Allah. Bahkan, sekelas Nabi SAW pun tidak mampu mmeberi hidayah kepada paman yang sangat disayanginya. "Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, akan tetapi Allah akan memberi petunjuk kepada orang yang Ia kehendaki."

Wallahu a'lam...:)