Selasa, 27 Januari 2015

Agar Kita Bisa Bersyukur

"Sungguh jika kalian bersyukur niscaya akan Aku tambahkan nikmat-Ku, dan  jika kalian kufur (ingkar) sungguh azab (siksa)-Ku sangat pedih." (Q.S. Ibrahim : 7)

Menikmati hidup denga penuh kesyukuran itu nikmatnya tak terperi. Hidup ini indah dengan syukur. Hidup ini nikmat dengan syukur. Hidup ini penuh semangat dengan syukur. Mari kita maknai syukur lebih dalam. Ingat! Syukur tidak sebatas mengucapkan terima kasih kepada Allah saja, tapi harusnya lebih dari itu. Bersyukur bukan hanya dengan lisan saja, tapi juga dengan hati dan perbuatan.

Menjadi insan yang mampu bersyukur itu sebenarnya sederhana saja. Coba dari hal-hal kecil yang kita lakukan sehari-hari. Katakanlah saat kita minum teh di sore hari, lakukan dengan penuh perasaan. Sebelum teh itu diminum, coba cium wangi tehnya, seruput sedikit demi sedikit dengan penuh penjiwaan. Rasakan, bayangkan betapa banyak orang lain yang tidak bisa merasakan indahnya kedamaian yang kita alami saat ini. Hayati indahnya kebersamaan kita bersama keluarga, saling bercengkrama dengan penuh keakraban. Betapa nikmaaat dan luar biasa rasanya. Alhamdulillaah...

Selain itu, syukur juga bisa dimulai dari pengenalan kita terhadap diri kita sendiri. Ketahui kelebihan dan kekuarangan kita dengan baik, setelah itu fokuslah pada kelebihan kita minimalisir kekurangan yang bisa kita tutup dengan lebih banyak belajar. Karena banyak di antara kita yang sudah sekian lama hidup dengan kerangka badannya sendiri tapi belum tahu siapa sebenarnya dirinya. Apa kelebihan yang bisa dielaborasi dan menjadi jembatan suksesnya di masa yang akan datang? Dan apa kekurangannya yang bisa direduksi dan dikurangi dengan lebih giat belajar? Maka, mulai sekarang mari kita terus merenungi dan mencoba dengan sadar mencari apa yang menjadi kelebihan kita sehingga kita bisa meraih sukses dengan bermodalkan kelebihan tersebut. Dengan demikian, kita akan merasakan betapa Tuhan sudah memberikan kelebihan kepada kita di bidang tersebut yang berbeda dengan yang dimiliki orang lain. Maka dari sanalah akan timbul rasa kesyukuran kita terhadap karunia tersebut. Betapa Allah sudah menciptakan kita sebagai masterpiece-nya. setiap kita spesial dan diciptakan berbeda dari yang lain.

Janganlah kita fokus pada kekurangan kita, karena hal itu akan menutupi potensi yang kita miliki yang seharusnya kita kembangkan. Fokus pada kekurangan akan menjerumuskan kita pada keingkaran kita terhadap nikmat Allah yang sebenarnya tiap saat kita rasakan. Fokus pada kekurangan juga akan menjadikan kita manusia yang hanya pandai mengeluh dengan apapun yang kita terima.

Mari kita nikmati setiap tarikan dan hembusan nafas ini sebagai karunia tak terhingga yang Allah berikan untuk kita. Setiap langkah kita adalah kenikmatan. Tangan kita bisa menggenggam adalah kenikmatan. Mata kita bisa melihat adalah kenikmatan. Telinga kita bisa mendengar adalah kenikmatan. Setiap anggota tubuh yang masih bisa berfungsi dengan baik adalah kenikmatan. Bayangkan andai semua itu Allah cabut dari kita, betapa sengsaranya kita. Maka dengan membayangkan andai semua itu tidak ada, maka rasa syukur kita pun akan bertambah.

Jadilah kita manusia yang hidupnya dipenuhi rasa syukur niscaya kita tidak akan pernah merasa miskin atau kekurangan. Selamat bersyukur.

Menumbuhkan Rasa Tanggung Jawab terhadap Anak

Rasa tanggung jawab adalah keberanian diri untuk memikul beban yang ada tanpa menyalahkan orang lain. Itu pemahaman saya tentang tanggung jawab. Sebuah kata yang mudah diucapkan tapi banyak orang yang sulit untuk menjalankannya. Ada beberapa kondisi berkaitan dengan tanggung jawab ini. Tanggung jawab bisa disandangkan kepada orang yang memikul suatu amanah kekuasaan, contohnya tanggung jawab sebagai ketua dari suatu kepanitiaan, pemimpin dari sebuah organisasi, ataupun lembaga tertentu. Ada pula tanggung jawab yang dituntut atas perilaku kita, misalnya kita melakukan sebuah kesalahan. Ketika melakukan kesalahan, orang yang punya rasa tanggung jawab tidak akan menyalahkan orang lain atau menunjuk orang lain sebagai biang keladinya. Ia tidak mengkambinghitamkan orang lain apalagi benda-benda di sekitarnya yang notabene mati.

Rasa tanggung jawab pada diri seseorang, khususnya seorang anak bisa ditumbuhkan dari lingkungan keluarga dan cara pengasuhan yang diberikan oleh orang tuanya di rumah. Kita barangkali sering melihat dan mendengar bagaimana cara orang tua mendidik anak-anaknya. Banyak orang tua yang tidak menyadari kalau yang mereka lakukan kepada anak-anaknya akan mempunyai efek yang berkelanjutan. Sebagai contoh ketika seorang anak terjatuh karena tersandung meja atau kursi orang tua lebih suka untuk "menyalahkan" meja atau kursi tersebut dengan cara memukulnya. Awalnya mereka berharap itu akan meredakan anaknya agar tidak menangis lagi. Cara ini memang lumayan jitu, anak tersebut tidak menangis lagi tapi di dalam benaknya tertanam kalau dia memang tidak pernah salah. Dia juga tidak harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi terhadap dirinya. Celakanya, ternyata sifat itu terbawa sampai dewasa. Dalam kondisi sesalah apapun anak yang dididik seperti ini akan selalu melempar tanggung jawab kepada orang lain tanpa merasa kalau dirinya harus introspeksi diri agar tidak melakukan kesalahan serupa lagi.

Berikutnya adalah orang tua sering merasa kasihan untuk memerintahkan anak untuk melakukan tanggung jawab kecil yang seharusnya bisa dikerjakan oleh anak. Sebagai contoh, ketika seorang anak ingin meminum air mineral gelas dimana anak harus menusuknya dengan sedotan, orang tua cenderung membantunya dengan harapan anak bisa cepat minum, tidak repot, atau anak tidak rewel. Sekilas memang itu bagus sebagai bentuk perhatian orang tua terhadap anaknya, akan tetapi kalau hal-hal kecil semacam itu terus dibantu orang tuanya maka anak itu akan cenderung punya ketergantungan yang sangat tinggi terhadap orang tuanya. Akibatnya anak seperti ini akan sulit untuk hidup mandiri dan sulit untuk menjadi orang yang bertanggung jawab.

Pada kasus pertama, seharusnya orang tua cukup mengingatkan kepada anak dengan mengatakan, "Makanya lain kali lebih hati-hati ya Sayang." Dengan kalimat yang singkat ini secara tidak langsung orang tua sedang mengajarkan anak bahwa itu terjadi karena anak itu sendiri yang kurang hati-hati dan ini menjadikan anak lebih bertanggung jawab. Sementara dalam kasus kedua, hal yang perlu dilakukan orang tua adalah sedikit mengarahkan anak dan memotivasinya bahwa dia bisa melakukan hal itu. Sehingga anak akan terus berusaha untuk bisa melakukannya. Dan apa yang terjadi? Ketika anak itu mampu melakukannya dia akan sangat senang dan tanpa terasa dia akan menjadi anak yang lebih bertanggung jawab dalam hal-hal yang lebih besar.

Selain cara-cara di atas, tentu orang tua di rumah juga harus secara kompak mengajarkan rasa tanggung jawab ini di rumah dengan cara melakukan pembagian tugas di antara sesama anggota keluarga. Buatlah piket/ tugas harian dari mulai mencuci, ngepel, menyikat kamar mandi, menyiram tanaman, menyetrika, ataupun hal-hal lainnya. Lakukan semua secara bergiliran sehingga masing-masing anggota keluarga bisa merasakan melakukan tugas-tugas yang ada. Dari sini akan muncul rasa tanggung jawab yang nantinya akan ia bawa kemanapun dan dimanapun ia berada.

Inilah barangkali tips-tips sederhana bagaimana mengajarkan tanggung jawab terhadap anak. Semoga hal ini menjadi sedikit pengingat buat kita agar kita tidak memberikan kasih sayang yang salah dan tidak mendidik terhadap anak. Wallahu a'lam.... :)

Rabu, 21 Januari 2015

Bekerja dengan Bahagia

Ada sebagian orang yang bekerja yang paling mereka tunggu-tunggu adalah gaji dan liburan. Hal ini menimbulkan tanya di hati saya. Apa yang diharapkan dari orang yang bekerjanya hanya mengharap gaji dan liburan. Saya berasumsi, kalau demikian adanya sebagian besar para pekerja di Indonesia maka pantas kalau Indonesia tidak pernah maju. Saya jadi berandai-andai, andai saja orang Indonesia bisa menikmati pekerjaannya niscaya produktifitas akan meningkat dengan sangat pesat.

Menikmati pekerjaan memang bukan perkara mudah, apalagi kalau kita harus bekerja dalam tekanan. Target-target yang tidak manusiawi seringkali membuat seseorang bekerja dengan "asal" dan tidak profesional. Yang penting bagi mereka adalah terpenuhinya target dalam kuantitas tanpa memikirkan kualitas. Ini dalam jangka waktu tertentu akan menjadi bom waktu bagi pemilik suatu usaha, siap-siaplah gulung tikar dan tidak diminati pelanggan.

Nah, apa sebenarnya yang harus dimiliki oleh seorang pegawai atau karyawan di sebuah perusahaan, instansi, ataupun lembaga? Yang paling ideal adalah saat kita mencari kerja dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan passion kita, itu adalah segala-galanya. Pekerjaan yang bermula dari dorongan hati dan kesukaan itu akan jauh lebih dahsyat hasilnya. Kita akan bekerja dengan penuh kesungguhan. Kita akan bekerja dengan hati yang senang dan riang. Ini efeknya akan sangat dahsyat dan luar biasa. Tanpa harus diteriaki atasan dia sudah bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab.

Jargon-jargon diantaranya I hate Monday tidak akan terdengar lagi. Orang yang bekerja dengan passion-nya dia bekerja untuk dirinya dan untuk Tuhannya. Dia tidak peduli orang di sekitarnya sungguh-sungguh atau tidak. Bekerja bukanlah untuk bos, pimpinan, atau teman-teman di sekitar kita. Yakini, kerja adalah ibadah, sehingga saat kita bekerja yang kita pikirkan adalah bahwa apa yang dilakukan semata-mata sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. 

Setangkup Syukur

Alhamdulillah... Itulah kata yang tak henti-hentinya saya ucapkan dalam hati. Senang dan bahagia rasanya dengan anugerah ini, teriring do'a semoga pada saatnya nanti tidak ada halangan yang berarti. Keinginan untuk bisa menginjakkan kaki di tanah haram Mekah dan Madinah adalah satu keinginan yang terus menggebu di dalam hati ini. Do'a senantiasa saya panjatkan agar Allah berkenan mengabulkannya. 

23 Desember yang lalu adalah saat dimana kabar gembira itu datang. Seorang ibu dimana dulu saya mengajar ngaji anak dan keluarganya datang dan dengan agak berbisik beliau bertanya: "Pak Amir, sudah pernah umrah belum?" Saya jawab: "Belum Bu..." Beliau bilang lagi: "Nanti ya, bulan Januari tapi tahun 2016." Saya tidak mampu berkata apa-apa selain ucapan terima kasih dan rasa syukur yang tak terhingga.

Betapa tidak, saya yang dari sisi ekonomi rasanya tidak mungkin untuk bisa menunaikan umrah yang minimal harus mengeluarkan uang sekurang-kurangnya Rp. 15.000.000,-, bahkan untuk biaya dimana saya diajak harganya adalah Rp. 21.000.000,- itu sudah plus Dubai. Padahal harga itu adalah harga promo. Subhanallah... Sampai hari kemarin untuk membuat paspor di imigrasi saja saya diurus oleh beliau berikut biaya pengurusan paspor tersebut.

Bagi yang membaca, saya mohon maaf atas ketidaknyamanan Anda. Ini hanyalah ungkapan rasa syukur saya atas "rezeki" yang tidak disangka-sangka ini. Saya tidak merasa sudah bertakwa dengan mendapatkan ini. Justru saya menjadi seperti diingatkan bahwa saya harus meningkatkan kualitas taqwa saya kepada Allah. Saya tidak pernah mengidentifikasi diri sebagai orang baik atau orang yang sudah baik. Saya masih jauh dan sangat jauh. Oleh karenanya, saya harus sadar diri kalau ini adalah alarm dari Allah kalau saya harus meningkatkan ketaqwaan dan menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT.

Dengan demikian, mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan, kelonggaran, kelancaran, dan derajat kemuliaan yang lebih tinggi daripada yang sudah diraih saat ini. Semoga.

Selasa, 06 Januari 2015

Menjadi Wali Allah

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang- orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus : 62-63).

Mereka yang sudah sampai pada tingkat kewalian hidupnya tidak akan didera ketakutan/kekhawatiran dan kesedihan. Alangkah indahnya hidup seperti ini. Bagaimana halnya dengan kita brur and sis? Seringkali hidup kita hanyalah rangkaian dari satu kekhawatiran ke kekhawatiran yang lain, dari satu kesedihan menuju kesedihan yang lain. Seolah hidup kita tidak ada celah untuk kebahagiaan. 

Kadang kita khawatir kalau esok hari kita kekurangan. Kadang juga khawatir kalau kita tidak bisa makan, khawatir tidak bisa beli pakaian baru, khawatir gaji tidak mencukupi, dan kekhawatiran-kekhawatiran yang lain. Belum lagi kita gampang sekali sedih karena hal-hal yang bersifat duniawi. Sedih karena tidak bisa liburan ke tempat-tempat yang jauh seperti orang lain. Sedih karena belum bisa beli mobil. Sedih karena sampai saat ini belum bisa beli rumah, dan lain sebagainya.

Bagi orang-orang yang sudah sampai pada tahap kewalian ini tidak berlaku. Hidup mereka selalu membahagiakan. Hidupnya tidak mudah terombang-ambing. Hidupnya nyaman, tenang, senang, dan damai. Pertanyaannya, siapakah mereka yang bisa mencapai tingkatan itu? Bisakah kita mencapai derajat sebagai seorang wali Allah? Apakah yang disebut wali Allah itu hanyalah orang-orang yang hidupnya selalu mengasingkan diri dari keramaian dan mempunyai keajaiban-keajaiban terkait dengan hal gaib? Kabar gembiranya, ternyata siapapun bisa mencapai derajat ini. Karena yang disebut dengan wali Allah, sebagaimana secara jelas disebutkan dalam QS. Yunus ayat 63, bahwa mereka itu adalah orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa.

Jadi, paling tidak ada 2 hal yang menjadikan seseorang bisa disebut sebagai wali (kekasih) Allah, yaitu:

Yang pertama, beriman. 
Iman, menurut bahasa dapat diartikan "percaya", sedangkan menurut istilah, iman adalah membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota tubuh. Orang yang beriman adalah mereka yang tidak hanya yakin dalam hatinya, tapi ia juga mengikrarkan keyakinan itu, dan dibuktikan dengan amalan-amalan yang dilakukannya. 

Seorang mukmin (orang yang beriman) sejati meyakini adanya Allah dan dia paham betul konsekuensi bagi seseorang yang yakin adanya Allah. Ia mau melaksanakan shalat sebagai bukti pengabdian kepada Allah, dia juga berpuasa sebagai bukti menjalankan perintah-Nya, dia juga berzakat sebagai bukti kepedulian kepada sesama seperti yang dianjurkan oleh-Nya. Dan begitupun dengan perintah-perintah Allah yang lainnya.

Keimanan kepada Allah juga melahirkan sikap mawas diri, selalu merasa disertai oleh Allah sehingga dalam menjalani hidup ia tidak gegabah, tidak semaunya saja. Dia selalu ingat bahwa hidup ada aturan yang selalu harus ditaati yang dibuat oleh Allah SWT dan disampaikan lewat lisan Rasul-Nya.

Tidak hanya itu, orang yang beriman juga meyakini adanya para malaikat sebagai makhluk ciptaan Allah yang suci dan selalu taat kepada Allah. Maka, sebagai mukmin ia akan meniru ketaatan ini, dan akan selalu berhati-hati dalam bertindak karena kebaikan sekecil apapun akan dicatat oleh Malikat Raqib dan keburukan sekecil apapun akan selalu dicatat oleh Malaikat Atid. Maka hidup seorang mukmin jadi lebih tertata.

Beriman kepada adanya kitab-kitab Allah, Rasul-Rasul-Nya, Hari Kiamat, dan Qada dan Qadar kesemuanya itu akan membuat orang yang beriman sadar akan hidup yang dijalaninya, ia paham sebagai apa dia menjalani hidup di muka bumi ini, dan harus bagaimana ia menjalaninya agar sesuai dengan norma-norma dan peraturan yang sudah dibuat untuk dia sebagai insan yang beriman.

Orang-orang dengan sifat ini ketika ia sanggup untuk istiqomah, konsekuen dan konsisten dengan keimanannya maka ia akan hidup dalam ketenangan dan ketentraman. Hidupnya di dunia bak berada di surga sebelum surga akhirat nanti. Tenang, tentram, dan tidak gundah gulana. Ia akan menjadi sangat dekat dengan Allah, dan Allah, sesuai janji-Nya, akan mencukupi semua kebutuhan orang yang seperti ini. Dialah wali Allah.

Yang Kedua, bertaqwa.
Taqwa pada dasarnya adalah khasyyatullah, takut kepada Allah. Orang yang bertaqwa karena takutnya ia kepada Allah ia justru akan semakin dekat dengan Allah, hal ini sangat berbeda ketika seseorang takut kepada binatang buas tentu ia akan lari manghindar dan menjauh. Orang yang bertaqwa akan senantiasa melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. 

Orang yang bertaqwa tidak takut kecuali hanya kepada Allah. Orang yang bertaqwa tidak bergantung kecuali hanya kepada Allah. Orang yang bertaqwa tidak berharap kecuali hanya kepada Allah. Mereka dekat... dekat... dan semakin mendekat kepada Allah. Jadilah mereka pribadi yang mencintai dan dicintai Allah. Mereka adalah orang-orang yang paling mulia di sisi Allah. 

Orang-orang yang bertaqwa dijanjikan Allah dengan reward yang banyak dan dahsyat dari Allah, diantaranya:
  1. akan diberi rezeki oleh Allah dari tempat atau cara yang tidak disangka-sangka.
  2. akan diberikan solusi/jalan keluar dari setiap kesulitan yang dihadapinya.
  3. akan dimudahkan segala urusannya.
  4. akan diampuni dosa-dosanya.
  5. kelak ia akan dimasukkan ke dalam surganya Allah SWT.
dan masih banyak yang lainnya.

Inilah 2 hal yang menjadikan kita sebagai orang-orang yang dikasihi Allah, para auliyaa Allah. Mari kita perbaiki keimanan dan ketakwaan kita agar hidup kita penuh dengan kebahagiaan, kedamaian, jauh dari kebimbangan, kegalauan, ketakutan, kekhawatiran, dan kesedihan. 

Wallaahu a'lam...