Tampilkan postingan dengan label Sang Pelukis Matahari. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sang Pelukis Matahari. Tampilkan semua postingan

Jumat, 06 Desember 2013

Melukis Matahari (7)

"Entahlah, aku ga tau apa yang harus aku lakukan...,"kataku dengan nada sedikit putus asa. Sudah terlalu sering aku mendapat pertanyaan serupa, dan jawabannya pun hampir selalu sama. Lebih dari lima tahun kami bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung dapat jawaban. Dia selalu mengatakan,"Saya juga ingin lepas dari masalah ini, tapi dia orangnya ga bisa diomong. Padahal dia juga kan ga ngapa-ngapain saya. Dia cuma bilang takut kehilangan saya." Yang paling menyakitkan adalah ketika dia bilang,"Dia sudah banyak berkorban buat saya. Saya ga nyangka kalau dia mau terus berjuang untuk mendapatkan cinta saya." Apalagi kalau sudah yang hubungannya dengan masalah keuangan. Seringkali muncul kata-kata yang sepertinya menyangsikan kalau Tuhan bisa mencukupkan keluarga kami lewat kerja kerasku.

Tapi, pada akhirnya aku harus menyadari bahwa inilah perjuangan hidup yang harus kulalui. Bukankah di awal aku sudah bertekad untuk ikut berjuang bersama agar dia keluar dari masalah ini. Sedikit demi sedikit perjuangan itu sudah membuahkan hasil. Memang perlu kesadaran ekstra untuk melakukannya. Rintangan apapun harus dihadapi dan dilalui dengan baik dan elegan agar "caina herang laukna beunang" (airnya tetap jernih ikannya bisa didapatkan). Inilah jalan dakwah. Dakwah utama harus terus dilakukan kepada keluarga, karena menjaga diri dan keluarga adalah kewajiban yang harus ditunaikan. Ia adalah perintah Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam surah At-Tahrim ayat 6 :"Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..."

Maka, tidak ada alasan bagiku untuk mundur dari upaya ini. Aku selalu yakin bahwa Tuhan sedang menyiapkan balasan terindah bagi keluarga kami. Semoga. Anak yang cerdas dan baik adalah salah satu balasan yang sudah Dia tunjukkan bagi kami. Sungguh sebuah anugerah yang tak ternilai harganya. Indah sekali. Cerita-cerita perkembangannya setiap hari membuatku harus terus menyampaikan syukur ini kepada Dia Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Masih banyak keajaiban yang Dia tunjukkan kepadaku sebagai bagian dari kenikmatan perjuangan ini. Aku tak ragu untuk mengatakan "tidak ada kenikmatan ini andai tidak ada cobaan, rintangan, dan badai hidup yang selama ini menimpaku, menimpa kami semua."

Kalau bahagia "seperti yang orang lain dapatkan" tidak bisa aku dapatkan, aku bisa mendapatkannya di sini, di hati ini. Hanya saja memang ada kerinduan terhadap beberapa keadaan yang ingin sekali aku dapatkan. Ketika melihat orang lain berjalan bersama, bergandengan tangan, ada keinginan untuk bersama yang tiba-tiba membuncah. Kebersamaan bersama anak, mengajarinya, pergi ke masjid bersamanya, menjadi keinginan yang senantiasa aku dambakan di setiap saat dan menghiasi lantunan do'a-do'aku. Allah Maha Tahu atas semua ini. Aku sangat yakin akan semua itu. Allah lebih tahu apa yang terbaik bagiku dan keluargaku. Tugasku saat ini adalah menjaga agar semuanya bisa berjalan dengan baik dan tidak ada salah paham. Aku harus menyingkirkan kerikil-kerikil yang mungkin bisa menyebabkan rusaknya hubungan yang sudah baik ini. Sampai suatu saat pertolongan Allah akan datang menghampiri kami. Insya Allah.


Sabtu, 30 November 2013

Melukis Matahari (6)

Aku tidak pernah mengira, kehidupanku akan sekeras ini. Entah berapa telaga air mata yang sudah aku tumpahkan. Tapi, semua itu telah menjadikanku lebih kuat mengarungi kerasnya hidup ini. Aku sempat menjadi begitu rapuh. Kemarahan seolah menjadi bagian dari keseharianku saat itu. Marah yang aku konversi menjadi air mata. Aku tidak mau marahku menyebabkan kerusakan bagi siapapun. Biarkan aku dan Tuhan saja yang tahu betapa gulananya hati ini. Betapa terlukanya jiwa ini. Betapa hancur remuknya diri nan merasa terhina ini. Badan kurusku bertambah kurus, tinggal kulit yang membalut tulang tanpa daging. Muka kucel, kumel, dan kusut menjadi hiasan menambah jeleknya diri yang sedang dirundung berjuta nestapa kala itu.

Untung, keterpurukan itu pada akhirnya membuahkan kesadaran diri yang tidak pernah aku miliki sebelumnya. Aku mulai sadar dan tambah sadar sepenuhnya, bahwa tidak ada satu pernikahan pun yang terbebas dari kerikil tajam yang akan merintangi. Setelah sebuah pengakuan yang hampir membuat jantungku copot, aku mulai sadar bahwa semua keputusan hidup ini semuanya ada di tangan Allah SWT. Berupaya menjadi lebih baik adalah hak kita setiap insan yang Dia beri nyawa. Dan setelahnya kita tinggal punya satu senjata, tawakkal, berserah diri hanya kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Aku mulai ambil keputusan agar isteriku menjalani kehamilannya di kampung halamannya di Jawa Timur. Keputusan itu diambil semata untuk kebaikan semuanya. 

Mulai saat itu, jiwaku mulai mengalami perbaikan, pikiranku mulai jernih kembali, diriku mulai kuat menghadapi berbagai cobaan dan rintangan besar yang terus menghadang. Alhamdulillah... Aku mulai yakin sepenuhnya bahwa tidak ada bahagia yang bisa dialami seseorang, sekuat apapun, sekaya apapun, setampan atau secantik apapun, tanpa dia mengizinkan dirinya untuk bahagia. Aku meretas banyak kebijakan, mengumpulkan banyak hikmah dari pahitnya kehidupan yang aku rasakan. "Habis gelap terbitlah terang", mungkin itu kalimat yang pas untuk menggambarkan kehidupanku yang mulai pulih menemukan hakikatnya. 

Awalnya, sebelum semua itu terjadi, kehidupanku memang lurus-lurus saja. Tidak ada satu kejadian tak enak pun yang aku alami. Maka, begitulah jadinya, sok rasanya menghadapi cobaan itu, aku tidak siap saat itu. Aku sempat diidentifikasi orang-orang sebagai orang yang baik, tidak neko-neko, pendiam, dan lain sebagainya. Bahkan untuk sekedar nonton TV pun saat itu aku tidak pernah. Maka, wajar kalau kemudian muncul sebuah pertanyaan konyol,"Kenapa harus saya yang terkena cobaan ini?" yang mungkin pertanyaan itu tidak akan muncul saat ini. Karena sudah dengan sangat jelas Allah mengingatkan kepada kita bahwa tidak ada satupun orang yang mengaku beriman yang tidak akan diuji oleh Allah SWT. Nah, kalau ini sudah menjadi sebuah keniscayaan, kenapa aku harus risau, galau, gelisah, dan marah?  

Minggu, 27 Oktober 2013

Melukis Matahari (5)

Ukuran kebahagiaan seseorang memang tidak sama pada masing-masing orang atau masing-masing keluarga. Bagi orang lain dapat bertemu dengan orang-orang tercinta seperti anak atau istri mungkin merupakan hal biasa dan tidak begitu istimewa, karena barangkali itu hanya menjadi rutinitas biasa saja, apalagi kalau mereka tidak bisa meng-create itu sebagai pertemuan yang luar biasa. Tapi, bagi saya, anak saya, dan isteri saya pertemuan sehari atau dua hari saja merupakan kejadian yang istimewa dan sangat-sangat menggembirakan. Sungguh luar biasa. Saya sangat senang, isteri sangat bahagia, begitu juga anak kami begitu sangat ceria.

Sampai hari ini kami masih terus berdoa dan berharap untuk bisa berkumpul di satu rumah dengan penuh kenyamanan tanpa ada orang yang terus menghantui kehidupan keluarga kami. Tapi, dalam kondisi seperti sekarang ini kami berusaha untuk tetap merasakan betapa bahwa kita tetap bisa merasakan kebahagiaan yang tiada tara dalam kondisi masalah terberat sekalipun. Asalkan kita bisa mengelola hati kita dengan baik. 

Waktu awal Juli kemarin, anak dan isteri saya berkunjung ke rumah kontrakan saya yang lumayan sempit. hehe... Alhamdulillah. Kami semua merasa bahagia, apalagi Bapak dari kampung dan keponakan saya yang kerja di Senayan juga datang. Ditambah lagi malamnya ada acara tabligh akbar di Musholla Al-Falah depan kontrakan saya. Luar biasa senang.

Ada rasa bangga yang memenuhi dada melihat sang anak yang begitu baik, penuh pengertian, dan pintar. Saat kami orang tuanya mengeluh karena sesuatu hal dan anak kami tahu, hampir selalu dia mengatakan: "Ya, harus sabar." Kami seringkali sangat tersentuh dengan kata-kata sederhana itu. Kepolosan dan bahasanya yang tidak tendensius betul-betul menusuk dan masuk di hati kami.

Kami hampir tidak pasti kapan bisa bertemu, apalagi untuk mengaturnya dalam setiap berapa bulan sekali. Kadang 6 bulan sekali, bahkan kadang hanya setahun sekali. Itu pun hanya bertemu beberapa hari saja. Pertemuan yang berkualitaslah yang saya canangkan di dalam diri saya untuk mengobati semua rasa rindu yang membuncah di dada dan hati paling dalam. Kerelaan menerima setiap takdir Allah adalah menjadi kunci yang dahsyat untuk bisa menjalani semuanya. Rasa marah dan kesal tidak menjadikan semuanya menjadi lebih baik. Kami yakin kalau saatnya Allah memberikan jalan dimana kami bisa berkumpul bersama, maka tidak ada susahnya, pasti, 100% tidak susah.

Kesempatan ini memang harus benar-benar kami jadikan bahan introspeksi atas apa yang telah kami lakukan selama ini. Allah SWT memberikan waktu untuk kesadaran yang penuh. Banyak dosa yang masing-masing kami mungkin pernah melakukannya. Inilah saatnya flash back. Dosa apa yang mungkin pada masa yang lalu bahkan mungkin sampai saat ini pernah saya atau istri saya lakukan. Kesadaran ini harus menjadikan kami mampu menjadi manusia yang mau bertobat, berupaya sekuat tenaga untuk meninggalkan kesalahan, dosa, atau maksiat sekecil apapun itu. Karena dosa dan maksiat adalah salah satu penghalang dari keberkahan hidup.

Berikutnya, kami juga harus menimbang, sudahkah kita dengan konsisten melakukan kebaikan demi kebaikan. Siapa tahu ternyata kita memang orang yang pelit untuk berbuat baik. Maka kami harus mempertahankan kebaikan yang sudah biasa dilakukan dan mencoba terus meningkatkan kebaikan itu setiap hari dan setiap saat. Karena sabda Rasulullah SAW bahwa kebaikan yang kita lakukan setelah kita melakukan kesalahan maka ia akan bisa menghapus kesalahan yang sebelumnya kita lakukan. Maka mudah-mudahan dengan demikian rahmat dan keberkahan Allah SWT akan turun kepada kami. Aamiin...

*****

Apa sebenarnya yang mendekatkan kami bertiga? Pertama, tentu harus saling memahami dan memaklumi serta menjalani semua ini dengan ikhlas. Kedua, hampir setiap hari kami menyempatkan diri untuk saling menyapa lewat telpon atau pesan singkat. Bahkan, anak saya kadang kalau saya sudah telpon dia tidak mau atau lebih tepatnya seperti tidak rela kalau kami harus memutus telpon tersebut. Padahal kalau telpon kami bisa ngobrol minimal 25 menit sampai satu jam bahkan lebih.

Yang lebih megasyikkan dan membuat saya bahagia, seringkali ketika telpon di sore hari ba'da Asar kami menambah kedekatan itu dengan cara menyimak bacaan Al-Qur'an yang dibacakan anak saya sambil membetulkan bacaan yang masih salah. Syahduuu rasanya. Dekaaat sekali. Bahkan rasa haru tak jarang menyelimuti hati saya. Rasa syukur begitu penuh mengisi hati saya. Terima kasih ya Allah atas karunia yang luar biasa ini. 

Kamis, 19 April 2012

Melukis Matahari (4)

Mulai tulisan ini, seri Melukis Matahari akan merubah kata ganti orang kedua (sang isteri) menjadi orang ketiga, demi kenyamanan cerita. Terima Kasih..:)

Kami memang sama-sama tidak tahu seperti apa sebenarnya air ketuban itu. Semalaman kami bingung, karena isteriku terus mengeluarkan cairan bening. Keesokan paginya juga tetap masih sama. Kami pun waktu itu jadi tambah penasaran dan sedikit takut, jangan-jangan benar air ketuban istriku pecah. Dengan keluguan kami masing-masing, pagi itu kami datang ke rumah Ibu bidan tempat isteriku selama ini diperiksa. Ternyata bu bidan sedang tidak ada di tempat. Kami mulai panik. Kami akhirnya memutuskan untuk periksa ke Rumah Sakit Aisyiyyah Ponorogo. Setelah isteriku diperiksa, kami kaget setengah mati sekaligus bersyukur. Apa pasalnya?

Alhamdulillah, untung saja kami tidak terlambat datang sedikit saja terlambat kami tidak tahu apa yang akan terjadi dengan anak kami di kandungan isteriku. Ternyata betul cairan yang dari semalaman keluar itu adalah air ketuban. Andai saja tidak segera tertangani dan air ketuban itu habis mungkin akan ada masalah besar dengan kelahiran anak pertama kami. Allahu Akbar, betapa Maha Besarnya Engkau ya Allah. rasa syukur kami memenuhi seluruh relung dalam tubuh kami. Karena ketuban pecah itulah, dokter memutuskan kalau isteri saya harus melahirkan dengan cara caesar (bener ga ya nulisnya?). Ya, sudahlah harus bagaimana lagi. Walaupun bayangan mahalnya biaya sudah menari di depan mata. Tapi, tak apalah, berdo'a dan serahkanlah semua pada Allah, yang penting kita usaha yang maksimal.

Kami segera menelpon ke rumah agar dibawakan pakaian untuk ganti dalam beberapa hari ke depan. Karena tidak mungkin kami pulang dulu karena tahapan caesar perlu segera dilakukan. Ya, kami mulai didata dari mulai nama, alamat, pekerjaan dan lain-lain. Anehnya, waktu pihak rumah sakit mau mendata pekerjaanku dia bilang,"Pekerjaannya guru ngaji ya.?" Aku sedikit kaget dan bingung, kok dia tahu pekerjaanku, padahal ketemu saja baru saat itu. Apakah dia punya indra ke-12 ataukah memang muka seperti ini pantasnya jadi guru ngaji. Entahlah... Aku pun membuat sebuah perjanjian tentang administrasi dan pembayaran rumah sakit seperti layaknya kalau mau diadakan tindakan medis. "Laa haula walaa quwwata illaa billah deh." Batinku bergumam. Waktu itu aku hanya pasrah apapun yang akan terjadi.
*****
Menjelang siang, sekitar pukul 10.30, isteriku akhirnya masuk ruang operasi dan semenjak tadi ia sudah dipasang infus. Hatiku berdegup cukup kencang. Betapa tidak ini adalah pengalaman pertamaku menunggu seorang isteri yang akan melahirkan anak kami yang pertama, lewat operasi caesar lagi. Lima menit, sepuluh menit, setengah jam, satu jam, aku menunggu dengan gelisah. Pikiranku berkelana kemana-mana. Ada ketakutan jangan-jangan, jangan jangan. Wajar lah ada takut tidak sempurna dan lain-lain. Kurang lebih pukul 11.50 seorang dokter keluar dan menanyakan,"Pak Amir mana?" Sontak jantungku seperti berhenti berdetak. Dokter tersebut menyalamiku dengan hangat sambil berkata,"Selamat ya... puteranya sudah lahir selamat dengan berat 3,45 kg." Alhamdulillah, aku senang bukan kepalang. Berarti sejak saat itu aku telah resmi dipercaya untuk menjadi seorang ayah. Dengan cemas akupun menanyakan apakah anakku terlahir dengan sempurna tanpa kurang suatu apapun. Sang dokter pun menyeringai seraya bilang,"Alhamdulillah sempurna." Plong rasanya waktu itu. ANAKKU LAHIR DENGAN SELAMAT PADA TANGGAL 4 OKTOBER 2005 BERTEPATAN DENGAN AKHIR SYA'BAN SEHARI SEBELUM KAMI MENUNAIKAN PUASA RAMADHAN. ALHAMDULILLAH...:-)

Hanya saja setelah saya tertegun beberapa saat, aku teringat bagaimana nasib isteriku setelah melahirkan anak kami? Aku tunggu sekian lama aku dapat kabar kalau isteriku masih dalam keadaan pingsan. Kurang lebih dua jam isteriku tak sadarkan diri. Beberapa saat berselang aku diminta oleh seorang perawat untuk mengambilkan infus tambahan dari lantai bawah. aku beringsut untuk mengambilnya dan dipasang lagi oleh perawat tersebut kepada isteriku. Aku menunggunya saat ia masih pingsan. Sampai kemudian perlahan ia siuman dan aku dengan bangga mengabarkan kalau anak kami sudah lahir dengan sehat, sempurna dan tak kurang suatu apapun. Ia tersenyum gembira. Akupun menungguinya terus sampai ia akhirnya dipindahkan ke kamar di lantai satu.
*****
Ada hal yang menurutku ajaib dari sang jabang bayi yang baru lahir tersebut. Dari semenjak ia dibawa dari ruang operasi sampai dibawa ke ruang bawah kesan yang tertangkap adalah ternyata ia begitu tenang, seolah ingin mengatakan kepada kami sebagai orang tuanya, "Tenang saja Umi dan Abi, aku baik-baik saja kok, Allahlah yang akan terus menjagaku." Aku senang sekali melihat anakku dan kesan yang disampaikannya. Pengalaman yang luar biasa dari mulai di awal menunggu, ketika anak kami lahir, ketika aku mengadzani dan mengiqamahi, sampai kami mengajari bagaimana ia menyusui benar-benar menjadi pengalamn yang berharga dan sangat menyenangkan. Subhanallah...

Beberapa hari di Rumah Sakit alhamdulillah tidak membuatku bosan. Enaknya di sana setiap hari selesai shalat fardhu berjamaah kami para jamaah dapat mendengarkan siraman rohani berupa kuliah tujuh menit dari beberapa "ustadz rumah sakit" yang nota bene adalah para karyawan rumah sakit tersebut yang mengerti agama. Hal yang tidak bisa terlupakan juga adalah saat menunggu waktu shalat Subuh kami orang-orang yang ada di rumah sakit hampir setiap dini hari selalu mendengar tarhim hampi di semua mesjid yang ada di sana.

O iya, kalau Sahabat bertanya-tanya, dimana sebenarnya isteriku melahirkan? Ia melahirkan di Rumah Sakit Aisyiyah Ponorogo lho.. Hehehe...

Memang hari-hari kami di RS tidaklah selalu dipenuhi tawa gembira. Aku juga sempat dibuat spaneng oleh ulah orang yang tidak bertanggung jawab yang selalu mengganggu kami sejak awal kami menjalin hubungan. Ia menelpon dengan maksud mau bicara dengan isteriku. Aku dengan tegas menolaknya dan ia mengancam kalau ia akan membuat masalah di sana, Tapi, aku tetap berdoa dan yakin bahwa Allahlah yang akan menolong aku dan keluargaku. Lagi-lagi Laa haula walaa quwwata illaa billaah... 

Anak kami akhirnya resmi kami sematkan nama yang sudah kami rencanakan jauh-jauh hari, dialah sang penebar kebaikan yang dengan kebaikannya itu Allah senantiasa memberikan jalan dalam segala urusannya. Dialah IHSAN AMRI MUYASSAR. 

Rabu, 18 April 2012

Melukis Matahari (3)

Malam itu, di awal 2005, aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Aku harus mengambil keputusan besar sehubungan dengan makhluk baru yang ada di sana, di sebuah tempat yang di sebut Allah sebagai qaraarim makiin. Ah, aku merasa akan jadi manusia paling berdosa sedunia kalau aku memutuskan hal ini dengan salah. Sampai pagi menjelang aku hanya bisa menangis dengan membolak-balikkan badan ke kiri dan ke kanan. Kamu terus mendesak untuk mengambil keputusan itu Sayang. Aku memang tahu dan paham apa alasanmu sesungguhnya. Tapi, tahukah kamu Sayang? Aku sudah sangat senang dengan anugerah besar yang Allah berikan kepada kita.  Masak iya kita akan membuangnya?

Sebelumnya, ketika aku tahu benih itu sudah tumbuh di tamanmu, aku bahagia karena aku mengharap bahwa ikatan cinta kita akan bertambah kuat. Sehingga akan makin sulit bagi kita untuk mencari alasan mengurai tali yang sudah terikat kuat ini. Namun, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya tekanan hidup kita terutama tekanan "seseorang" itu kepadamu, kamu tiba-tiba melontarkan sebuah wacana yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Sungguh saat hal itu kau lontarkan aku bagaikan disambar petir di siang bolong. Kaget, kaget, dan super kaget. Kamu mengajukan berbagai pertimbangan kalau kita mungkin belum siap dengan kondisi ekonomi yang masih morat-marit seperti sekarang ini. Kamu pun bilang bahwa kamu sangat stress dan takut nanti sang penerus kita akan terlahir cacat seperti pengalaman beberapa orang yang pernah kamu temui dan kamu ketahui.


Hmm... Sayang... waktu itu aku pun sempat melontarkan beberapa penolakan yang aku kira masuk akal. Aku bilang, kita harus yakin Sayang... Kan yang memberi kita rizki itu Allah. Tidak mungkin Dia akan menaelantarkan hambaNya yang mau berusaha, apalagi usaha di jalan yang baik. Dan masalah cacat atau tidak kan itu juga urusan Allah, kita kembalikan semua keputusan kepada-Nya. Berdo'alah dan yakinlah kalau Allah akan senantiasa mendengar do'a kita, apalagi doa orang yang teraniaya. "Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa." Begitu waktu itu aku meyakinkan. Kamu pun sedikit mengiyakan, tapi kamu tetap pada pendirianmu hingga akhirnya datanglah malam itu.

Esok paginya, dengan sangat terpaksa aku membuat perjanjian pengikhlasan di sebuah kertas dengan ditulis tangan dan ditandatangani. Saat itu yang tersisa hanyalah sebuah do'a di dalam hati ini agar hal itu tidak akan pernah terjadi dan sang mutiara itu terselamatkan. Bener lho... Do'aku waktu itu luar biasa, ia seolah menembus langit mengalahkan batasan-batasan alam material. Aku sudah sampai pada titik kepasrahan full. Hatiku berkata kepadamu, "Biarlah Allah yang akan menjawab semuanya." Pagi itu kita pun berangkat menuju sebuah rumah sakit yang tidak begitu jauh dari rumah prabayar kita. Kreeeek... Pintu RS itu kita buka. Baru saja kita ketemu seorang suster, kita sudah menemukan jawabannya. Ia bilang, kalu ia tidak bisa mengabulkan permohonan seperti ini. Karena ini melanggar hukum. Aku senang, hatiku melonjak jauh menembus batas angkasa. Entah bagaimana perasaanmu waktu itu. Aku hanya berdo'a semoga kamu pun punya kesadaran yang baik tentang hal ini.

Sorenya aku mengajar ngaji di Serua Makmur seperti biasanya. Sepulang mengajar, kamu menyampaikan laporan tentang sesuatu yang sebenarnya tidak mau aku dengar. "Aa, aku takut karena tadi aku sudah minum jamu pelancar haid, takutnya kalau nanti dibiarkan makhluk baru kita akan buta matanya, karena aku punya pengalaman seperti itu." Begitu katamu. Ya Allah... Aku sedih sekali mendengarnya. Aku tetap bilang, "Ya sudahlah insya Allah ga apa-apa... Allah yang akan menjaganya." Tapi kamu tetap bersikeras untuk menuntaskannya. Kamu pergi ke dukun beranak. Apa yang kamu dapatkan Sayang? Hehehe... aku jadi geli mengingatnya. Kamu bilang, eh ternyata sang dukun beranak itu bukannya meluluskan permintaanmu, justru malah memberi nasihat kalau itu tidak usah dilakukan. Jagalah ia baik-baik. Dan sebelum pulang justru sang dukun beranak itu malah memberi rujak. Hmmm... aya-aya wae. Tahukah Sayang? Di balik semua itu ternyata ada jawaban yang besar dari Allah untuk kita agar kita tetap menjaganya karena ia akan membawa kebaikan buat kita.

Alhamdulillah... serasa terbebas dari bencana yang begitu besar. syukurku tidak akan pernah ada habisnya. Sang Mutiara itu, kini telah menjelma menjadi manusia sempurna yang membawa berjuta kebahagiaan. Ia begitu cerdas, shaleh, dan selalu membawa keceriaan buat hubungan kami. Dia menjadi perekat cinta kasih kita yang luar biasa. Dialah pahlawan kecil kita yang disayangi oleh orang-orang yang melihatnya. Seringkali air mata ini menetes saat mengingat betapa bodohnya sikap kita saat itu. Kini semua itu berganti dengan rasa syukur yang tak terkira. Dia, belahan hati kita, penyejuk hati kita, kini telah menjadi bagian dari pelukis matahari bersama kita. Dan, pada tanggal 15 Maret yang lalu ia telah menggoreskan satu kalimat yang membuat kita menangis dalam bahagia. Dia menulis,"Ihsan sayang Umi juga Abi, karena kan kita sekeluarga." 

Selasa, 17 April 2012

Melukis Matahari (2)


Kita harus yakin Sayang, bahwa kita dipertemukan oleh-Nya dan bukan kebetulan. Karena sejatinya di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Dia telah merencanakannya dengan sangat rapi. Awalnya kita seolah dipertemukan oleh kedua teman kita, namun setelah itu kita mencoba menjalin komunikasi dengan intens. Kita berusaha mencari setitik alasan agar kita bisa bersatu.

Sejak kita mulai mencoba untuk serius, dengan niat baik yang ada di hati kita, terpaan badai itu mulai terasa dari mulai pelan, sedang, kencang, dan semaaakin kencang. Tapi "kebebalan" kita sudah menjadikan kita mampu bertahan sampai tiba masa itu. Kehadiranmu dalam hidupku telah menjadikanku yang penakut menjadi seorang pemberani. Aku pun mulai heran dengan perubahan ini, tapi aku tetap menikmatinya. Aku seolah tidak pernah mengalami halangan waktu ataupun tempat. Semua menjadi begitu indah. Semua tersenyum melihatku.

Proses itu seakan begitu cepat. Waktu datang seolah tak berjarak. Semua tergulung oleh kuasa cinta. Hari, jam, menit dan detik telah hilang entah kemana. Tiga bulan kita berkelana di lorong waktu, sampai kita mengambil satu keputusan besar dan berani dalam hidup kita.

Dan...

Dengan kuasa-Nya, akhirnya kita berjanji sehidup semati untuk menyongsong bahagia bersama dalam bingkai cinta dan kasih sayang-Nya. Dalam hati yang bimbang -bukan karena kita ragu akan cinta kita masing-masing- kita benar-benar sudah mengambil sebuah resiko sangat besar dalam hidup kita. Cucuran air mata begitu deras mengalir setelah itu. Kita seolah menghempaskan tubuh kita pada karang yang begitu besar di hadapan kita. Tubuh kita dipenuhi luka yang besar menganga dihiasi simbahan darah yang perih menyakitkan. Tapi, kita tetap melangkah dengan keyakinan besar bahwa suatu saat nanti air mata dan darah itu akan berubah menjadi samudera bahagia. Entah kekuatan apa yang menjadikan kita begitu kuat waktu itu. Kita tidak mau orang tua kita kecewa karena ulah kita. Kita tetap meyakinkan mereka yang kita cintai bahwa kita akan baik-baik saja.

Hmmm... Sayang, masih segar dalam ingatan kita, beberapa hari setelah simpul itu kita buat, ada orang yang berusaha untuk mengurainya kembali. Kita dipaksa untuk tidak bersama. Dan kamu dibuat agar ketergantungan yang besar kepada dia. Aku tetap bertahan walaupun sakit sudah menyelimuti tubuh ini. Aku juga tetap meyakinkan diri ini bahwa apapun yang kamu lakukan tentang hal yang menyakitkan itu semata-mata karena keterpaksaan. Dan aku selalu berdoa semoga Allah selalu menjagamu dari segala marabahaya yang tidak pernah kita harapkan itu. Aku terus menguatkan diri dengan membayangkan sebuah kisah yang dialami oleh seorang isteri dari Bapaknya para Nabi, yaitu ibunda Sarah yang sempat berada dalam penguasaan seorang raja Mesir yang lalim. Karena kekuasaan Allah SWT iapun selamat dari tipu dayanya. Aku jadi begitu berbesar hati mengingatnya. Atas nama-Nya dan dengan izin-Nya.

Sayang... masih ingat kan saat kita berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain hanya karena ingin mendapatkan ketenangan dan kenyamanan. Bayangkan, dalam setahun kita sampai 7 kali pindah kontrakan. Kalau ada yang nyatet bisa jadi rekor MURI kali...Hehe... Kita dikejar-kejar seperti buronan. Kita dicari untuk "diadili". Padahal apa salahnya denga pernikahan kita ya... Kayak ga ada kerjaan aja. Kita pernah sempat mau ditemukan oleh orang jahat itu. Ia sudah di depan kontrakan kita Sayang! Aku waktu itu serasa akan dicabut nyawa sama malaikat maut. nafasku sudah tidak karuan. Sedih, takut, marah dan sebagainya bercampur jadi satu. Untung saja kamu waktu itu bisa calling teman kita di kamar sebelah untuk mengalihkan perhatian orang itu dan memberi tahu teman di belakang agar teman yang di belakang mempersiapkan motor untuk membawa kita menghindari orang itu. Ya Allah... benar-benar capeknya waktu itu, takuuut banget. Itu terjadi di penghujung 2004, kalau tidak salah 31 Desember. Untung saja sehari sebelumnya kita sudah mencari kontrakan dan sudah DP di daerah Serua Indah. Sungguh dramatis waktu itu. Tapi tak apalah, karena kita selalu meyakini bahwa apa yang kita alami itu selalu merupakan bagian dari upaya kita melukis matahari yang lebih indah.

Ya, semuanya jadi pengalaman yang sangat berharga. Lebih mahal dibandingkan harga emas dan berlian. dari perjalanan itu aku juga bisa mempelajari lebih jauh tentang dirimu. Dirimu yang kadang meletup-letup, kadang begitu heroik dan berani, tapi kadang pula begitu lemah. Dari sini kita bisa saling mengisi kelebihan dan kekurangan kita. Hehe... jadi ingat, kadang hal kecil bisa jadi bahan percekcokan kita, tapi itu ga pernah lama ya? 

O iya... tiap kali kita pindah rumah kontrakan, selalu saja ada tetangga yang baik yang perhatian kepada kita. Masih ingat kan ada "Ibu Cianjur", "Ibu Medan" dan "Ibu Garut". Selalu saja ada sisipan kebahagiaan di sela-sela kesedihan kita. Itulah kasih sayang Yang Maha Kuasa yang patut kita Syukuri. Kita harus tetap sabar dalam membuat goresan lukisan matahari kita. Kita tidak akan pernah menyerah untuk membuatnya semakin "bersinar". Wallahu a'lam...:)

Senin, 16 April 2012

Melukis Matahari (1)

Sayang, kita pernah berjanji untuk melukis matahari di kanvas hidup kita. Matahari yang menjelma nyata menjadi penerang dalam pekatnya rasa takut. Kita bergandengan tangan merajut asa yang tak kunjung datang.  Saat awan datang mengarak hidup kita yang semakin kelam. Dan kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan. Aku sering katakan, jangan resah Sayang karena hari tidak selamanya akan kelabu. Ada saat hujan mengguyur deras sang tanah yang lagi merana karena tandus, dan matahari pun akan muncul seiring meredanya sang hujan. Sang Kuasa Alam pun berulang kali mengingatkan lewat lidah para shalihin,"Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." Tidak ada satupun janji yang tidak Ia ditepati. Dan luar biasanya, satu kesulitan akan dibayar dengan dua kemudahan. Begitu makna 2 ayat ini kata para cerdik pandai.


Sayang, bukannya aku tidak pernah menangis dengan keadaan ini. Di hadapan manusia aku terlihat begitu tegar, akan tetapi di saat aku sendiri tidak ada orang yang tahu kalau aku ini bersimbah air mata. Allah sudah tahu betul betapa "cengengnya" aku mengahadapi semua itu. Apalagi di awal kita bertemu dan bersatu. Rasanya aku malu saat ini, kenapa aku dulu begitu bodoh. Kenapa aku sampai harus menyalahkan Sang Maha Kuasa atas setiap kejadian yang menimpa kita. Waktu itu aku seolah tak berdaya. Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan untuk keluar dari jerat masalah ini. Tapi, sekali lagi itu dulu, dulu, dan dulu...

Sekarang, ketika aku sebetulnya masih ada dalam pusaran masalah yang sama, aku justru malah tersenyum bangga karena aku punya cerita yang tidak semua orang memilikinya. Jalan hidup kita yang berliku adalah cerita indah kita di masa kini dan di masa yang akan datang. Ia akan jadi cerita sinetron atau layar kaca yang akan jadi box office-nya box office. Tuhan sebagai Sang Sutradara hidup kita sedang asyiknya mereka-reka untuk men-setting cerita bahagia dalam rangkaian kisah kita. Beliau sesungguhnya sudah memberi kita kepingan-kepingan bahagia itu dalam perjalanan panjang ini. Mari kita lihat dan rasakan ya.. betapa sayangnya Dia kepada kita. Pernahkah sayangku rasakan... Anak kita yang lucu itu, ia sudah menutup hampir semua luka yang pernah kita alami. Ocehannya, kepintarannya, rasa ingin tahunya juga kekritisannya dalam memandang apapun yang ia temui sering kali membuat kita tertawa, kaget, heran dan tersenyum gembira. Apakah ini bukan bahagia sayang. 

Dahulu, saat ia masih dalam kandungan dan saat ia masih belum bisa berbicara, kita sering berkata kepadanya kalau ia adalah pahlawan kita. Dan sekarang kita yakin bahwa ternyata memang benar ia betul-betul pahlawan seperti yang kita kumandangkan dalam doa dan harapan kita. Sungguh luar biasa kan Sayang..?

Yang paling penting dari semua proses ini adalah pembelajaran hidup. Pelajaran ini tidak akan pernah kita dapatkan di sekolah manapun bahkan kalau kita sekolah sampai setinggi apapun. Tahu nggak Say... Saat aku bersamamu di awal rajutan cinta itu, mungkin orang yang melihat dari dekat akan tahu kalau aku adalah orang terapuh sedunia. Aku memang dari kecil rasanya tidak pernah merasakan masalah yang berarti dalam hidup ini. Sejak SD sampai kuliah rasanya hidupku mulus tanpa hambatan. Prestasi akademik pun terbilang lumayan bisa dibanggakan. Tapi, setelah kita bersatu dan terpaan masalah begitu besar, aku pun jadi tahu kalau prestasi akademik ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah hidupnya. 

Selang beberapa bulan dengan berbagai macam cobaan dan masalah yang ada aku jadi merasa lebih punya tenaga dalam menghadapi hidup ini. Aku berkesimpulan, ternyata masalah, cobaan dan ujian hidup adalah obat termanjur untuk bisa menjalani hidup dengan kekuatan yang prima. Masalah itu menguatkan. Setelah aku mulai kuat dengan masalah yang ada, aku mulai bisa mencari celah bagaimana caranya agar aku bisa tetap berbahagia walaupun berada dalam tekanan seberat apapun. Dan, alhamdulillah Tuhan telah mengilhamkannya. Aku bisa mendapatkan bahagia walaupun lahirnya terlihat mempunyai banyak masalah. Aku sangat senag dengan anugerah ini dan bisa tersenyum lebar selebar-lebarnya. Dan sampailah aku pada kesimpulan yang begitu berarti bagiku, "Kebahagiaan itu adanya di sini, di dalam hati dan pikiran ini." Kebahagiaan adalah masalah olah pikir dan olah hati. Kalau kita sudah mampu mengatur pikiran dan hati kita untuk senantiasa berpikir dan berperasaan positif maka semua yang akan kita temui adalah kebaikan yang akan melahirkan kebahagiaan. Dan puncaknya adalah terletak pada KEYAKINAN kita kepada Allah, Sang Pengatur seluruh jagat raya beserta isinya ini. ia yang Maha Kuasa atas segalanya. Semakin kita yakin semakin tenanglah kita. Semakin yakin semakin kuatlah kita. Semakin yakin maka semakin bahagialah kita. Maka kita harus memperbaiki tauhid kita agar kita bisa menjadi orang mukmin yang bisa istiqomah di dalam menjalani keimanannya. Bagi orang mukmin yang istiqomah tidak ada lagi ketakuatan dan kesedihan di dalam dirinya karena ia punya Sandaran Yang Maha Kuat dan Maha Bisa Menyelesaikan setiap permasalahan. Dialah Allah SWT. 

Sayang, seorang mukmin itu sungguh luar biasa. Setiap langkah hidup yang dijalaninya semuanya baik dan menyenangkan. Kenapa? Karena ia punya dua senjata yang hebat, yaitu SYUKUR dan SABAR. Kala ia senang dan mendapat limpahan nikmat ia bisa menyikapinya dengan penuh rasa syukur sehingga itu tidak membuatnya lupa diri. Saat ia ditimpa musibah, cobaan, ujian, masalah, ia bisa menyikapinya dengan baik tanpa harus menyalahkan Allah atau siapapun. Itu tidak menjadikannya putus asa karena ia bisa menyikapinya dengan senjata sabar. Subhanallah...

Hmmm.... Sekarang kita sedang menunggu endingnya kan Sayang. Tapi, apapun kehendak Sang Sutradara dalam membuat cerita selanjutnya kita hanya bisa pasrah dan berdoa agar kita mendapat kebahagiaan yang kita idam-idamkan. Ini memang tidak mudah, kita merasakan betapa kita sering merasa ada rasa-rasa ketidak enakan dalam diri kita masing-masing. Kadang tiba-tiba rasa cemburu datang yang menjadikan kita adu mulut dan adu argumen dengan sengit. Kadang ada rasa curiga yang begitu besar di hati kita. Kita memang sedih dengan keadaan ini tapi mari kita jadikan ini sebagai kesempatan yang mahal yang sedang Tuhan berikan agar kita banyak berkarya membuat sesuatu yang berharga bahkan sangat berharga untuk kehidupan dan sebanyak-banyak makhluk Allah di alam ini. Mari kita jaga anak kita dengan sepenuh cinta dan kasih sayang, agar ia tumbuh dengan baik. Jangan pernah mengeluhakan karena kita jauh, toh anak kita hanyalah titipan yang diamanahkan Allah kepada kita, Allahlah yang Maha Kuasa untuk menjadikan anak kita seperti apa. Tugas kita hanyalah menjaganya agar ia tumbuh baik dan tidak menyimpang dari keharusannya sebagai makhluk Allah yang harus memenuhi tigas ketaatannya sebagai hamba Allah SWT. 

Kedekatan hati kita bertiga adalah bukti bahwa Tuhan turun tangan untuk mendekatkan hati kita walaupun raga kita berjauhan. Tetaplah optimis dalam menatap masa depan. Kebahagiaan tidak pernah mengenal usia dan waktu. Bahkan seandainya pun Tuhan tidak berkenan menyatukan kita di dunia ini kita masih punya harapan besar kalau Allah akan menyatukan kita di surga-Nya nanti. Semoga...:)

Disarikan dari penuturan seseorang yang sangat dekat dengan penulis. Mudah-mudahan bermanfaat!