Rabu, 18 April 2012

Melukis Matahari (3)

Malam itu, di awal 2005, aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Aku harus mengambil keputusan besar sehubungan dengan makhluk baru yang ada di sana, di sebuah tempat yang di sebut Allah sebagai qaraarim makiin. Ah, aku merasa akan jadi manusia paling berdosa sedunia kalau aku memutuskan hal ini dengan salah. Sampai pagi menjelang aku hanya bisa menangis dengan membolak-balikkan badan ke kiri dan ke kanan. Kamu terus mendesak untuk mengambil keputusan itu Sayang. Aku memang tahu dan paham apa alasanmu sesungguhnya. Tapi, tahukah kamu Sayang? Aku sudah sangat senang dengan anugerah besar yang Allah berikan kepada kita.  Masak iya kita akan membuangnya?

Sebelumnya, ketika aku tahu benih itu sudah tumbuh di tamanmu, aku bahagia karena aku mengharap bahwa ikatan cinta kita akan bertambah kuat. Sehingga akan makin sulit bagi kita untuk mencari alasan mengurai tali yang sudah terikat kuat ini. Namun, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya tekanan hidup kita terutama tekanan "seseorang" itu kepadamu, kamu tiba-tiba melontarkan sebuah wacana yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Sungguh saat hal itu kau lontarkan aku bagaikan disambar petir di siang bolong. Kaget, kaget, dan super kaget. Kamu mengajukan berbagai pertimbangan kalau kita mungkin belum siap dengan kondisi ekonomi yang masih morat-marit seperti sekarang ini. Kamu pun bilang bahwa kamu sangat stress dan takut nanti sang penerus kita akan terlahir cacat seperti pengalaman beberapa orang yang pernah kamu temui dan kamu ketahui.


Hmm... Sayang... waktu itu aku pun sempat melontarkan beberapa penolakan yang aku kira masuk akal. Aku bilang, kita harus yakin Sayang... Kan yang memberi kita rizki itu Allah. Tidak mungkin Dia akan menaelantarkan hambaNya yang mau berusaha, apalagi usaha di jalan yang baik. Dan masalah cacat atau tidak kan itu juga urusan Allah, kita kembalikan semua keputusan kepada-Nya. Berdo'alah dan yakinlah kalau Allah akan senantiasa mendengar do'a kita, apalagi doa orang yang teraniaya. "Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa." Begitu waktu itu aku meyakinkan. Kamu pun sedikit mengiyakan, tapi kamu tetap pada pendirianmu hingga akhirnya datanglah malam itu.

Esok paginya, dengan sangat terpaksa aku membuat perjanjian pengikhlasan di sebuah kertas dengan ditulis tangan dan ditandatangani. Saat itu yang tersisa hanyalah sebuah do'a di dalam hati ini agar hal itu tidak akan pernah terjadi dan sang mutiara itu terselamatkan. Bener lho... Do'aku waktu itu luar biasa, ia seolah menembus langit mengalahkan batasan-batasan alam material. Aku sudah sampai pada titik kepasrahan full. Hatiku berkata kepadamu, "Biarlah Allah yang akan menjawab semuanya." Pagi itu kita pun berangkat menuju sebuah rumah sakit yang tidak begitu jauh dari rumah prabayar kita. Kreeeek... Pintu RS itu kita buka. Baru saja kita ketemu seorang suster, kita sudah menemukan jawabannya. Ia bilang, kalu ia tidak bisa mengabulkan permohonan seperti ini. Karena ini melanggar hukum. Aku senang, hatiku melonjak jauh menembus batas angkasa. Entah bagaimana perasaanmu waktu itu. Aku hanya berdo'a semoga kamu pun punya kesadaran yang baik tentang hal ini.

Sorenya aku mengajar ngaji di Serua Makmur seperti biasanya. Sepulang mengajar, kamu menyampaikan laporan tentang sesuatu yang sebenarnya tidak mau aku dengar. "Aa, aku takut karena tadi aku sudah minum jamu pelancar haid, takutnya kalau nanti dibiarkan makhluk baru kita akan buta matanya, karena aku punya pengalaman seperti itu." Begitu katamu. Ya Allah... Aku sedih sekali mendengarnya. Aku tetap bilang, "Ya sudahlah insya Allah ga apa-apa... Allah yang akan menjaganya." Tapi kamu tetap bersikeras untuk menuntaskannya. Kamu pergi ke dukun beranak. Apa yang kamu dapatkan Sayang? Hehehe... aku jadi geli mengingatnya. Kamu bilang, eh ternyata sang dukun beranak itu bukannya meluluskan permintaanmu, justru malah memberi nasihat kalau itu tidak usah dilakukan. Jagalah ia baik-baik. Dan sebelum pulang justru sang dukun beranak itu malah memberi rujak. Hmmm... aya-aya wae. Tahukah Sayang? Di balik semua itu ternyata ada jawaban yang besar dari Allah untuk kita agar kita tetap menjaganya karena ia akan membawa kebaikan buat kita.

Alhamdulillah... serasa terbebas dari bencana yang begitu besar. syukurku tidak akan pernah ada habisnya. Sang Mutiara itu, kini telah menjelma menjadi manusia sempurna yang membawa berjuta kebahagiaan. Ia begitu cerdas, shaleh, dan selalu membawa keceriaan buat hubungan kami. Dia menjadi perekat cinta kasih kita yang luar biasa. Dialah pahlawan kecil kita yang disayangi oleh orang-orang yang melihatnya. Seringkali air mata ini menetes saat mengingat betapa bodohnya sikap kita saat itu. Kini semua itu berganti dengan rasa syukur yang tak terkira. Dia, belahan hati kita, penyejuk hati kita, kini telah menjadi bagian dari pelukis matahari bersama kita. Dan, pada tanggal 15 Maret yang lalu ia telah menggoreskan satu kalimat yang membuat kita menangis dalam bahagia. Dia menulis,"Ihsan sayang Umi juga Abi, karena kan kita sekeluarga." 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar