Jumat, 27 April 2012

Menghadapi Ujian Nasional (UN) dengan Happy


Ujian Nasional (UN), sejak dari pertama diberlakukan sampai sekarang tidak pernah lepas dari kontroversi. Ada pihak yang mendukung terhadap pelaksanaan UN, tapi juga tidak sedikit pihak yang menghendaki  agar UN sebaiknya dihapuskan saja. Tetapi walau demikian pemerintah tetap keukeuh pada keputusan untuk melaksanakan UN sebagai salah satu standar kelulusan. Walaupun demikian kita patut bersyukur karena UN sudah bukan lagi satu-satunya standar kelulusan, tapi salah satu saja.

Saya merasa bahwa UN tetap diadakan sebenarnya tidak lebih dari sekedar "biar berasa sekolahnya". Karena mungkin bagi sebagian banyak orang tanda bahwa seorang anak sudah selesai sekolahnya, ya... kalau ia sudah menyelesaikan ujian nasional. Apakah ia sudah mencapai kompetensi yang diharapkan atau belum itu urusan nomor delapan belas. Membicarakan hal ini bagi kita bagaikan sedang mengurai benang kusut. Ini sudah seperti lingkaran setan yang tidak ada ujung pangkalnya. Makanya setiap kali saya dan teman-teman membahas keabsahan UN baik di perkuliahan atau di mana pun tidak pernah menemukan titik kepuasan, malah kadang ujung-ujungnya justru perasaan pesimis yang muncul.

Tapi, apapun keadaannya, ada atau tidak ada UN, terlepas dari polemik yang ada, sebagai orang tua maupun pendidik kita harus tetap mempersiapkan anak-anak kita untuk belajar dengan lebih baik. Sehingga nantinya ketika UN datang mereka sudah siap menghadapinya. Dan yang tidak kalah penting untuk diperhatikan, orang tua atau guru jangan memberi kesan bahwa UN itu sesuatu yang menakutkan dan menyeramkan. Karena pada dasarnya UN sama saja dengan ujian atau ulangan-ulangan yang lainnya. Seperti yang sudah biasa dilaksanakan pada waktu ulangan harian, mid semester ataupun ulangan umum semester ganjil atau genap. Karena yang membuat anak panik biasanya karena orang tua atau guru pada awalnya sudah panik duluan.

Nah, kalau begitu, bagaimana agar kita dan juga anak-anak kita tidak merasa panik dalam menghadapi ujian? Sebetulnya ini masalah habit (kebiasaan) saja. Kalau anak-anak sudah menjadikan belajar sebagai kebiasaan sehari-hari, maka pada saat ujian nanti mereka sudah siap tempur. Saya seringkali melontarkan sebuah pertanyaan kepada anak-anak,"Bagaimana caranya makan seekor sapi?" Anak-anak yang berpikir sekilas serentak menjawab,"Tidak mungkin lah Pak!!!" Saya bilang,"Anak-anak, kalian jangan berpikir kalau sapi itu dimakan sekaligus, karena itu tidak mungkin. Yang mungkin adalah, kalian potong-potong dulu menjadi kecil-kecil, setelah itu baru dimasak baru setelah itu dimakan sedikit-sedikit. Pada akhirnya akan habis juga." Begitu juga dengan mempelajari pelajaran buat ujian. Ilustrasi di atas menjadi gambaran bagaimana cara "memakan" bahan pelajaran yang begitu banyak dan bertumpuk. Caranya yaitu dengan mempelajari bahan pelajarn tersebut sedikit demi sedikit hari demi hari. Atur waktunya sedemikian rupa. Buat jadwal harian, kapan tidur, kapan bangun, kapan belajar dan kapan bermain. Kalau jadwal sudah dibuat dan dilaksanakan dengan disiplin insya Allah anak-anak akan bisa menyerap pelajaran dengan baik tanpa harus bersusah payah di akhir semester atau di akhir tahun.

Inti dari semua itu adalah bagaimana kita membangun budaya belajar dan budaya baca pada diri anak. Saya sering menyaksikan hal yang lucu dan sebuah fenomena yang terjadi pada anak-anak saat mereka mau ujian. Mereka membawa buku kemana-mana, membacanya, bahkan saat mereka upacara. Saya sering berandai-andai. Andaikan mereka membawa buku kemana-mana itu mereka lakukan setiap hari dan membacanya setiap saat, mantap kali rupanya ilmu mereka. Dan tidak perlu repot-repot belajar kala mereka mengahadapi ulangan/ujian. Saya dengar, kalau di Jepang budaya ini sudah demikian mengakar, sehingga kita bisa melihat hasilnya bagaimana Jepang saat ini bisa "menguasai" dunia.

Barangkali sebagai bukti yang bisa kita contoh, berikut saya kutip pengalaman Ryu & Yuka-chan no mama langsung dari Jepang yang ditulis dalam web/blognya yang beralamat di http://baltyra.com

Dear pembaca Baltyra,

Budaya membaca di Jepang terkenal di seantero dunia bahkan saya hingga detik ini sering melihat cukup banyak orang Jepang yang membaca (entah komik/novel/koran /majalah) di dalam kereta api listrik yang sedang melaju dengan kencang.

Pemandangan membaca di dalam kereta api listrik (bahasa Jepang : densha) adalah pemandangan yang jamak buat saya. Yang sering saya amati biasanya penumpangnya jarang mengobrol, biasanya sibuk membaca baik koran atau komik, bermain HP, ataupun mendengarkan musik. Itu yang biasa saya lihat, lumrah tidak berlebihan, namanya juga Jepang, budaya membacanya sudah mendarah daging.

Akan tetapi kalau membaca sambil berdiri itu yang luar biasa. Saya hanya membatin, " Sungguh mantap sekali manusia Jepang ini, bisa membaca sambil berdiri. Apakah tidak merasa mual, pusing atau muntah? Daya tahan tubuh yang luarbiasa ". Melihat orang Jepang membaca tanpa sedikitpun merasa terganggu konsentrasi membaca, bikin saya teringat dengan bikhu Shaolin yang sedang semedi. Kalau hanya membaca sambil berdiri kira-kira 10 menit, mungkin saya tidak terkagum-kagum seperti ini.

Kebetulan kereta api listrik (densha) yang saya tumpangi cukup jauh perjalanannya, sekitar 50-55 menit. Saat itu keadaan penuh sesak, sekitar pukul 17:00 dimana banyak pelajar atau pekerja berebut tempat didalam densha, rata-rata pun seperti saya terpaksa berdiri karena tidak memperoleh tempat duduk.

Densha ini berhenti di tiap stasiun, otomatis saya hanya sekedar mengamati keadaan penumpang, sembari berharap semoga cepat sampai di tempat tujuan. Orang Jepang yang saya amati tersebut tetap asyik masyuk membaca tanpa memperdulikan keadaan sekelilingnya. Lebih dari 5 kali stasiun masih juga tidak dapat tempat duduk, akhirnya saya pun memutuskan tetap bergelantungan alias berdiri berdesakan dengan penumpang yang lain, sembari asyik mengamati orang Jepang tersebut.



Saya amati setiap berhenti di stasiun, orang Jepang tersebut (Mr. X) tetap tidak terpengaruh dengan keadaan sekeliling, tetap asyik membaca tanpa merasa terganggu, luarbiasa. Dan yang saya lihat bukan hanya 1 manusia Jepang yang seperti ini, akan tetapi ada beberapa dalam gerbong kereta tersebut. Yang lain yang kebetulan beruntung dapat tempat duduk, tentu saja, membaca sambil duduk.

Mungkin anda heran apanya yang luar biasa dengan orang membaca? Saya yang sudah cukup lama tinggal di Jepang masih juga terheran-heran dengan budaya membaca di Jepang. Harus diakui budaya membaca orang-orang Jepang memang tinggi.

Ingat komik pasti ingat rajanya komik di dunia yaitu negara Jepang. Bahkan arti kata komik dalam bahasa Jepang yaitu Manga (baca: man-ga atau man-ng-ga) dikenal luas oleh penggemar komik Jepang diseluruh dunia. Sebut saja komik yang terkenal di dunia seperti, Naruto, Death Note, Dragon Ball, Detektif Conan, Azumanga Daioh, Area 88, Clamp no Kiseki (kelompok penulis kontroversial di Jepang-komik dewasa), Shin-chan, Uchi no sanshimai, dan masih banyak lagi. Tidak ada habis-habisnya bercerita tentang Komik di Jepang karena jumlahnya yang begitu banyak. Bagi seorang kutu buku pastilah Jepang terasa seperti " surga" buku/komik yang begitu banyak dan lengkap jumlahnya.

Salah satu toko buku yang sangat terkenal di berbagai lapisan rakyat Jepang adalah KINOKUNIYA shoten (Toko buku Kinokuniya). Tentu saja masih ada banyak toko buku di Jepang selain Kinokuniya shoten, akan tetapi Kinokuniya shoten merupakan salah satu pionir tok o buku di Jepang. Luarbiasa toko buku Kinokuniya yang telah berdiri sejak tahun 1927, koleksi bukunya sungguh lengkap, dijamin seorang kutu buku akan langsung jatuh cinta. Mulanya toko buku Kinokuniya pun hanya memiliki 1 toko buku yaitu di Shinjuku, Tokyo. Pendiri Kinokuniya shoten adalah Tanabe Moichi.

Saat ini kinokuniya shoten telah menjelma menjadi jaringan toko buku yang sangat familiar bagi rakyat Jepang. Kinokuniya shoten yang dioperasikan oleh Kinokuniya Company Ltd, saat ini telah sukses membuka 61 gerai toko buku di seluruh Jepang dan bahkan sukses pula merambah ke luarnegeri. Ada 23 gerai toko buku Kinokuniya yang berada di luarnegeri termasuk Indonesia.
Silakan buka websitenya, http://www.kinokuniya.co.jp/english/

Memang harus diakui orang Jepang sangat akrab dengan buku. Kegemaran membaca buku yang mendarah daging apalagi ditunjang dengan kemudahan dan fasilitas yang sangat mendukung hobi membaca ini. Misalnya, perpustakaan. Apalagi pemerintah dan juga Kaisar Jepang pun tergolong menyukai buku, klop sudah rakyat, pemerintah dan Kaisar pun sama-sama " gila " buku.

Saya paling terkesan saat membaca sejarah Jepang, pasca pengeboman Hiroshima-Nagasaki, tahun 1945. Jepang jelas-jelas hancur, luluh lantak, baik nyawa manusia yang terbunuh akibat jatuhnya bom atom juga harga diri sebagai bangsa yang berdaulat. Dalam kondisi yang serba hancur, Kaisar Hirohito (Kaisar Jepang saat itu) berusaha membangun kembali negaranya.

Kaisar Hirohito paham bahwa bangsanya berada di titik terendah, semangat dan harga diri sebagai bangsa telah jatuh. Walaupun Kaisar Hirohito pedih akan tetapi tidak sibuk berkutat untuk memerintahkan menghitung nyawa rakyat Jepang yang terbunuh, tentara yang gugur dalam medan peperangan atau armada perang yang tertembak musuh, dan lain-lain. TIDAK. Kaisar Hirohito paham dan sadar, yang paling penting adalah bangkit kembali dari keterpurukan dan berusaha melanjutkan hidup. Perintah Kaisar Hirohito sungguh mencengangkan " Kumpulkan jumlah guru yang masih tersisa/hidup."

Rakyat Jepang sangat mengagungkan Kaisar Jepang (bahkan hingga saat ini). Akibat perintah tersebut, rakyat Jepang sadar bahwa harus mampu bangkit dari keterpurukan. Jepang memang harus diakui sumber daya alam (SDA) sangat minim, akan tetapi untuk sumber daya manusia (SDM) boleh dibanggakan. Terbukti hampir 99 % rakyat Jepang melek huruf. Tidaklah mengherankan Jepang mampu bangkit kembali dari kehancuran di tahun 1945.

Akhir kata, moral artikel ini hanya satu, membaca dan pendidikan amatlah sangat penting. Jangan sekedar tergantung dengan sumber daya alam dalam membangun bangsa, yang terpenting justru sumber daya manusia. Dengan sumber daya manusia yang terdidik maka jalan menuju bangsa yang maju seperti Jepang akan semakin terbuka lebar. Sedangkan bila terlalu menggantungkan sumber daya alam maka hanya membuat rakyat menjadi malas, bagaimanapun sumber daya alam suatu saat akan habis. Ibarat kata, warisan sebanyak apapun akan habis, bila pewarisnya bodoh, suka berfoya-foya dan malas. Sialnya, saat tiba masa cucu-cicit hanya akan tersisa utang setumpuk gunung dan membebani hidup keturunan selanjutnya. Saya bukan bermaksud menggurui para pembaca, tetapi itulah yang cukup banyak saya lihat dalam pengalaman hidup.

Terimakasih buat semuanya yang telah membaca.

Salam hangat dari Jepang,
Ryu & Yuka-chan no mama

Mudah-mudahan pengalaman teman kita di atas dapat meningkatkan motivasi kita untuk mengembangkan budaya baca kepada keluarga kita dan anak-anak generasi masa depan kita. Sehingga bukan cuma ujian sekolah saja yang sanggup mereka hadapi, tapi juga ujian hidup dan ujian zaman yang semakin mengglobal ini. Tentunya dengan tetap dibalut nilai-nilai agama dan keyakinan yang kuat dan benar. Bukankah Agama kita lewat Al-Quran telah memerintahkan kita untuk membaca bahkan mambaca adalah perintah Allah yang paling pertama dalam wahyuNya yang pertama dalam Surah Al-'Alaq ayat 1-5.

Semoga kita semakin terpacu untuk maju dan sukses!!!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar