Kamis, 31 Oktober 2013

Anjuran Bekerja dalam Islam


 “Dari Miqdan r.a. dari Nabi Muhammad Saw, bersabda: Tidaklah seseorang makan lebih baik dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud a.s., makan dari hasil usahanya sendiri.” (H.R. Bukhari)

“Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw: Sesungguhnya Nabi Daud a.s., tidak makan kecuali dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari)

“Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian mencari kayu bakar dan memikul ikatan kayu itu, maka itu lebih baik, daripada ia meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberinya ataupun tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

“Dari Abu Abdullah Az-Zubair bin Al-‘Awwam r.a., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupmu, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi ataupun tidak.” (HR. Bukhari)

“Dalam sebuah hadits Rasul saw bersabda: Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni Allah” (Hadits Riwayat Ahmad & Ibnu Asakir )

“Rasulullah saw pernah ditanya, Pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau menjawab, Pekerjaan terbaik adalah usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perjualbelian yang dianggap baik,” (HR Ahmad dan Baihaqi).

Dalam hadits-hadits yang disebutkan di atas, menunjukkan bahwa bekerja merupakan perbuatan yang sangat mulia dalam ajaran Islam. Rasulullah saw memberikan pelajaran menarik tentang pentingnya bekerja. Dalam Islam bekerja bukan sekadar memenuhi kebutuhan perut, tapi juga untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi. Karenanya, bekerja dalam Islam menempati posisi yang teramat mulia. Islam sangat menghargai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri.

Ketika seseorang merasa kelelahan atau capai setelah pulang bekerja, maka Allah Swt mengampuni dosa-dosanya saat itu juga. Selain itu, orang yang bekerja, berusaha untuk mendapatkan penghasilan dengan tangannya sendiri baik untuk membiayai kebutuhannya sendiri ataupun kebutuhan anak dan isteri (jika sudah berkeluarga), dalam Islam orang seperti ini dikategorikan jihad fi sabilillah. Dengan demikian Islam memberikan apresiasi yang sangat tinggi bagi mereka yang mau berusaha dengan sekuat tenaga dalam mencari nafkah (penghasilan).

Kerja juga berkait dengan martabat manusia. Seorang yang telah bekerja dan bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya akan bertambah martabat dan kemuliannya. Sebaliknya, orang yang tidak bekerja alias menganggur, selain kehilangan martabat dan harga diri di hadapan dirinya sendiri, juga di hadapan orang lain. Jatuhnya harkat dan harga diri akan menjerumuskan manusia pada perbuatan hina. Tindakan mengemis, merupakan kehinaan, baik di sisi manusia maupun di sisi Allah SWT.

Seperti hadits di atas Rasulullah menuturkan bahwa orang yang pergi ke gunung dengan membawa seutas tali untuk mencari kayu bakar yang kemudian ia jual, maka apa yang dihasilkan dari menjual kayu bakar itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada sesama manusia.

Nabi Muhammad Saw serta para sahabat pekerja keras. Bahkan beberapa sahabat merupakan saudagar kaya yang kerap kali memberikan hartanya untuk membiayai pasukan Islam tatkala harus bertempur dengan musuh-musuh Islam.

Bekerja dalam Islam akan mendapatkan pahala, kenapa? Jawabannya sederhana, karena bekerja dalam konsep Islam merupakan kewajiban atau fardhu. Dalam kaidah fiqh, orang yang menjalankan kewajiban akan mendapatkan pahala, sedangkan mereka yang meninggalkannya akan terkena sanksi dosa. Tentang kewajiban bekerja, Rasulullah bersabda, Mencari rezeki yang halal itu wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa dan sebagainya), (HR ath-Thabrani dan al-Baihaqi)

Karena bekerja merupakan kewajiban, maka tak heran jika Umar bin Khaththab pernah menghalau orang yang berada di masjid agar keluar untuk mencari nafkah. Umar tak suka melihat orang yang pada siang hari tetap asyik duduk di masjid, sementara sang mentari sudah terpancar bersinar.

Akan tetapi perlu diingat bahwa yang dimaksud dalam hadits-hadits di atas adalah orang yang bekerja sesuai dengan ajaran Islam. Bekerja pada jalur halal dan bukan bekerja dengan pekerjaan yang diharamkan oleh Allah SWT.

Rabu, 30 Oktober 2013

Pendidikan Agama dalam Rumah tangga


Tatkala kita berbicara tentang metode pendidikan agama di sekolah, salah satu kesimpulan penting ialah bahwa kunci keberhasilan pendidikan agama di sekolah bukan semata-mata terletak pada metode pendidikan agama yang digunakan dan penguasaan bahan; kunci pendidikan agama di sekolah sebenarnya terletak pada pendidikan agama dalam rumah tangga. Oleh karena itu, pendidikan agama dalam rumah tangga sebenarnya tidak boleh terpisah dengan pendidikan agama di sekolah. Yang pertama adalah pendidikan agama dalam rumah tangga sebagai fondasi, kemudian dilanjutkan di sekolah sebagai pengembangannya. Karena itu maka perlu dibicarakan prinsip-prinsip pendidikan agama dalam rumah tangga.

Karena memahami pentingnya pembinaan kesejahteraan anak, pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan undang-undang tentang itu pada tahun 1979, bertepatan dengan Tahun Anak Internasional. Undang-undang itu menjadi landasan hukum bagi pembinaan anak Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Hal ini amat penting untuk Indonesia karena sejak semula, dengan pandangan hidup Pancasila, pembangunan Indonesia selalu memandang manusia sebagai titik sentral. Pembangunan itu berawal dan pembinaan anak, dan itu tentulah dalam rumah tangga.

Pengertian kesejahteraan anak dalam Undang-undang nomor 4 tahun 1979 itu, sebagaimana disebutkan dalam Bab I Pasal 1 (a), ialah sebagai benkut: “Kesejahteraan anak ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik segi rohani, jasmani, dan sosial.’ Jadi, pembinaan itu harus mencakup agama, kesehatan dan gizi, pendidikan, kependudukan, kehidupan berbangsa dan bernegara, ketenagakerjaan, kemampuan dan kesempatan kerja, lingkungan hidup, pangan, kesetiakawanan sosial, cinta tanah air, pertahanan-keamanan, dan lain-lain.” Dengan demikian, pembinaan kesejahteraan anak menyangkut usaha bangsa yang sangat strategis dan mendasar.

Berdasarkan uraian itu maka jelaslah bahwa pembangunan sumber daya manusia, termasuk pembinaan anak, erat sekali kaitannya dengan penumbuhan nilai-nilai seperti takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, jujur, berdisiplin, dan memiliki etos kerja yang tinggi. Hal ini bukanlah merupakan suatu proses sesaat, melainkan suatu proses yang panjang yang harus dimulai sedini mungkin, yaitu sejak masa anak-anak dengan adanya pendidikan agama dalam rumah tangga.

Dalam pandangan Islam, anak adalah amanat Allah. Amanat wajib dipertanggungjawabkan. Jelas, tanggung jawab orang tua terhadap anak tidaklah kecil. Secara umum inti tanggung jawab itu ialah penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak dalam rumah tangga. Tuhan memerintahkan agar setiap orang tua menjaga keluarganya dan siksa neraka:
“Jagalah dirimu dan keluargarnu dan siksaan neraka”.

Jadi, tanggung jawab itu pertama-tama adalah sebagai suatu kewajiban dari Allah, kewajiban harus dilaksanakan. Kewajiban itu dapat dilaksanakan dengan mudah dan wajar karena orang tua memang mencintai anaknya. lni merupakan sifat manusia yang dibawanya sejak lahir. Manusia mempunyai sifat mencintai anaknya. Ini terlihat dalam surat al-Kahfi:
 “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa manusia membawa sifat menyayangi harta dan anak-anak. Bila orang tua memang telah mencintai anaknya, maka tentulah ia tidak akan sulit mendidik anaknya. Dalam surat al-Furqan
Allah SWT berfirman:
“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”

Cinta kepada anak telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. kepada para sahabatnya. Itu berarti juga pelajaran untuk segenap Muslim.
“Seorang Badui datang kepada Nabi saw. dan bertanya, “Apakah engkau menciumi putra-putri engkau? Kami tidak pernah menciumi anak-anak kami.’ Nabi berkata, Apakah kamu tidak takut bila Allah mencabut kasih sayang dan hatimu?” (Al-Bukhari)

Berdasarkan kutipan itu jelaslah bahwa menurut Islam, orang tua wajib mendidik anaknya. Jika Nabi melihat sahabatnya tidak menyayangi anaknya, dia menegurnya dengan keras. Nabi sendiri amat sayang kepada anak-anak.
“Nabi pernah mencium cucunya, Hasan bin Ali. Waktu itu ada Aqra bin Habis al-Tamimi sedang duduk. Ia berkata, “Saya punya anak sepuluh, seorang pun tidak perriah saya cium.” Maka Nabi menoleh kepadanya dan berkata, “Orang yang tidak mengasihi tidak dikasihi.” (Al-Bukhari)

Al-Bukhari meriwayatkan dan Anas bin Malik bahwa telah datang kepada Aisyah seorang ibu bersama dua anaknya yang masih kecil. Aisyah memberian tiga potong kurma kepada wanita itu. Diberilah olehnya anak-anaknya masing-masing satu, dan yang satu lagi untuknya. Kedua kurma itu dimakan anaknya sampai habis, lalu mereka menoleh ke arah ibunya. Sang ibu membelah kurma (bagiannya) menjadi dua, dan diberikannya masing-masing sebelah kepada kedua anaknya. Tiba-tiba Nabi saw. datang, lalu diberi tahu oleh Aisyah tentang itu. Nabi saw. bersabda, “Apakah yang mengherankanmu dan kejadian itu, sesungguhnya Allah telah mengasihinya berkat kasih sayangnya kepada kedua anaknya.”

Uraian di atas itu menegaskan bahwa (1) wajib bagi orang tua menyelengarakan pedidikan dalam rumah tangganya, dan (2) kewajiban itu wajar (natural) karena Allah menciptakari orang tua yang bersifat mencintai anaknya. Jadi, pertama hukumriya wajib, kedua memang orang tua senang mendidik anak-anaknya. Inilah modal utama bagi pendidikan dalam keluarga.

Cinta kepada anak sering kali menyebabkan orang tua membanggakan anaknya. Perilaku orang tua seperti itu sebenarnya tidak terlalu salah; itu adalah salah satu kewajaran manusia. Jika orang menceritakan dengan bangga bahwa anaknya banyak, maka orang tahu hewan juga banyak anaknya. Jadi, rnembanggakan anak dan segi banyaknya tidak logis.

Hendaknya sadar bahwa membanggakan anak sering juga menjadi penyebab kita dibenci orang. Sebab, kebanyakan orang tidak senang bila kita menceritakan atau memperlihatkan kelebihan kita, lebih-lebih bila kélebihan kita itu dilebih-lebihkan. Dalam surat Saba ayat 35 :
Dan mereka berkata: "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak- anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab.”

Anak sering pula menyebabkan orang lupa kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka sibuk mengurus anak-anaknya. Mereka bekerja mati-matian untuk mencari uang agar semua permintaan anaknya dapat dipenuhi, ya, karena cinta kepada anak. Kadang-kadang permintaan yang tidak masuk akal pun dipenuhi, demi cinta kepada anak. Sayang anak menyebabkan orang korupsi atau mencuri. Semuanya itu menyebabkan orang dapat lupa kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kadang-kadang, karena orang merasa anak-anaknya kuat, cerdas, juara kelas, pemberani, maka orang tua merasa hidupnya akan aman. Oleh karena itu, mereka mulai tidak banyak lagi merasa bergantung pada Allah; lama kelamaan mereka meninggalkan Tuhan. Sering kali orang tua membela anaknya yang jelas-jelas berbuat salah sampai orang tua itu lupa bahwa membela yang salah adalah pelanggaran aturan Allah. Artinya, ia lupa kepada Allah.

Orang tua dapat juga menjadi budak anaknya; ia merasa wajib memenuhi segala keinginan anaknya, seperti dikatakan di atas, sampai Ia kalah oleh anaknya. Kewibawaan orang tua telah hilang; ia dibentak oleh anaknya karena terlambat atau tidak mampu memenuhi permintaan anaknya. Bila ia menyuruh anaknya salat pada pagi hari, ia tidak berani membangunkannya, takut anaknya kaget, atau khawatir anaknya marah. Amar makruf nahi munkar tidak dapat lagi dilakukannya terhadap anaknya, sekalipun kepada orang lain ia mampu. Dalam keadaan seperti itu, orang tua telah lupa kepada Allah karena anaknya. Kesibukan mencari nafkah dapat menyebabkan orang tua lupa mengerjakan ibadah seperti salat dan puasa, bahkan lupa pula bahwa ia wajib jujur. Ayat al-Quran berikut perlu direnungkan kembali oleh kita (orang tua): Surat Saba’: 37

“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka Itulah yang memperoleh Balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang Tinggi (dalam syurga).” (QS.Saba’:37)

Seseorang dikatakan telah melupakan Allah dan Rasul-Nya bila ia lebih mementingkan melakukan sesuatu untuk kepentingan anaknya ketimbang untuk kepentingan menegakkan ajaran Allah. Hendaknya diingat firman Allah dalam surat al-Taubah ayat 24:

“Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”

Boleh bangga bila anak kita memang hebat, itu adalah karena cinta pada anak, tetapi jangan berlebihan, cukup di dalam hati saja. Itu wajar. Cinta kepada anak jangan hendaknya menyebabkan lupa kepada Allah; cinta kepada Allah dan Rasulnya harus melebihi cinta kepada apa pun. Jika memang cinta kepada anak, didiklah anak sebaik-baiknya, sedini mungkin.

Orang tua mendidik anaknya karena kewajaran, karena kodratnya; selain itu karena cinta. Mengingat uraian di atas, maka secara sederhana tujuan pendidikan anak di dalam keluarga ialah agar anak itu menjadi anak yang saleh. Anak yang saleh itulah anak yang wajar dibanggakan. Tujuan lain ialah sebaliknya, yaitu agar anak itu kelak tidak menjadi musuh orang tuanya, yang akan mencelakakan orang tuanya. Anak yang saleh dapat mengangkat nama baik orang tuanya. Anak adalah dekorasi keluarga. Anak yang saleh tentu mendoakan orang tuanya. Bila tidak mendoakan orang tuanya, kesalehannya itu telah cukup merupakan bukti amal baik orang tuanya.

Anak dapat juga menjadi musuh orang tuanya. Itu dapat saja terjadi bila anak tidak dididik dengan benar. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani, Rasulullah saw. berkata:
“Bukanlah musuhmu orang yang bila kamu bunuh, kamu akan menjadi pemenang; dan kalau kamu terbunuh, kamu akan masuk surga; tetapi musuhmu terkadang adalah anak yang lahir dan tulang rusukmu sendiri. Kemudian musuhmu yang paling berat ialah harta bendamu sendiri.”

Anak yang menjadi musuh orang tuanya ialah anak yang durhaka. Anak seperti ini biasanya tidak mau mendengarkan nasihat orang tuanya. Mungkin ia diam tatkala diberi nasihat, tetapi nasihat itu masuk dan telinga kiri dan keluar dan telinga kanan, tidak ada bekasnya. Ia berani melawan orang tuanya, menyakitinya, bahkan membunuhnya. Dalam surat al-Taghabun ayat 14- 15 Allah berfirman:

“Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”

Saat memulai pendidikan agama rumah tangga, bila kita bertahan pada perlunya objek (peserta didik) dalam mendidik, maka pendidikan anak mestinya dimulai tatkala anak sudah ada. Anak itulah yang menjadi objek pendidikan tersebut. Akan tetapi, dalam Islam ternyata pendidikan anak harus dimulai jauh sebelum kelahirannya.

Selasa, 29 Oktober 2013

Kita adalah Pemimpin

"Setiap kalian adalah pemimpin...". Itulah yang disampaikan oleh Baginda Rasulullah Muhammad SAW., seorang pemimpin besar dunia suri tauladan ummat manusia. Setiap kita, apapun posisi, status sosial dan jabatannya, adalah pemimpin. Artinya, kita semua masing-masing punya tanggung jawab yang besar untuk melaksanakan amanah kepemimpinan tersebut. Posisi yang kita tempati saat ini bukan untuk membedakan mana yang lebih terhormat ataupun mana yang dari golongan biasa-biasa saja. Mana bangsawan mana rakyat jelata. Mana yang berkulit putih dan mana yang berkulit hitam. Mana tuan dan mana budak. Mana majikan dan mana pembantu. Sama sekali tidak! Tidak begitu. Nabi SAW pernah mengingatkan bahwa orang Arab tidak lebih unggul dari non Arab, begitupun sebaliknya, kecuali dengan ketaqwaannya.

Kita diciptakan dengan posisi berbeda hanya untuk berbagi tugas. Kita berperan sesuai tugas dan skenario yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT. Bahkan kita dibedakan penghidupan dan pendapatannya oleh Allah agar kita saling memanfaatkan antara satu dengan yang lainnya. Bukan memanfaatkan dalam konotasi negatif, tapi untuk saling membantu sebagai makhluk sosial yang tentu tidak bisa dan tidak mungkin hidup sendiri. Bayangkan kalau orang kaya semuanya apa yang akan terjadi? Begitupun kalau semuanya miskin, apa pula yang akan terjadi? Subhanallah... Maha Suci Allah yang telah mengatur semua dengan sebaik-baiknya. Sehingga roda kehidupan ini tetap berjalan dengan normal dan nyaman.

Apakah itu artinya kita harus nrimo saja denga semua yang kita terima tanpa berusaha untuk mendapatkan yang lebih baik? Tentu tidak. Kehidupan ini berputar bak roda pedati. Adakalanya kita di atas, adakalanya di bawah. Allah SWT memperputarkan semuanya dari waktu ke waktu. Kadang suatu waktu kita begitu berjaya, banyak harta, dengan kedudukan yang tinggi, tapi ada saatnya kita juga harus merasakan kondisi kesulitan, kekurangan harta, turun jabatan dan mungkin tidak dihormati orang. Yang paling penting bagi kita dalam posisi apapun adalah berusaha untuk mempersembahkan yang terbaik dengan penuh rasa tanggung jawab sesuai tugas kita saat ini. Mungkin kita tidak selamanya bisa kaya. Mungkin juga kita tidak selalu berada dalam jabatan yang tinggi dan dihormati. Tapi, kita sangat mungkin untuk selalu merasakan kebahagiaan dan kepuasan menjalani hidup ini. Bukan karena harta ataupun kedudukan, akan tetapi karena kita punya 2 kunci yang selalu kita pakai untuk meraih kebahagiaan hidup.

Kedua kunci itu adalah, yang pertama; karena kita pandai bersyukur. Syukur adalah kunci yang sangat ampuh untuk selalu merasa bahagia saat kita berada dalam kejayaan, dan menjadi rem yang pakem agar kita tidak sombong apalagi sampai lupa diri. Bahagia yang kita rasakan, dengan adanya rasa syukur ini merupakan kebahagiaan yang suci dan hakiki. Kebahagiaan yang tidak luntur kena hujan ataupun lekang kena panas. Kunci yang kedua; karena kita pandai bersabar. Dalam kondisi yang serba sulit, seorang mukmin tidak akan tercerabut dari kebahagiaannya karena ia punya kunci sabar di dalam dirinya. Ia tidak akan mengeluh dengan kekurangan, kesulitan, keterpurukan, dan rasa sakit yang menimpanya. Kalau sudah seperti ini, hidup ini akan terasa ringan, nikmat, bahkan akan menjadi surga sebelum surga. 

Dengan bermodal syukur dan sabar, maka dimana pun kita berada, kita akan mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap pekerjaannya. Sekecil apapun pekerjaan itu kalau dilakukan dengan tanggung jawab dan amanah sebagai seorang pemimpin di lingkup profesinya, ia akan sanggup melahirkan sesuatu yang luar biasa dan memberi kepuasan baik kepada dirinya sendiri maupun orang yang dipimpin di lingkungan kepemimpinannya.

Maka, tidak ada alasan bagi kita untuk kembali mengeluh. Tidak ada alasan bagi kita untuk merasa kecil atau dikecilkan. Tidak ada alasan untuk merasa rendah diri. Tidak ada alasan untuk mempersembahkan kerja yang asal-asalan. Semua harus kita lakukan dengan penuh tanggung jawab, kesungguhan, keseriusan, dan penuh dedikasi. Karena semua kita adalah pemimpin. 

Minggu, 27 Oktober 2013

Melukis Matahari (5)

Ukuran kebahagiaan seseorang memang tidak sama pada masing-masing orang atau masing-masing keluarga. Bagi orang lain dapat bertemu dengan orang-orang tercinta seperti anak atau istri mungkin merupakan hal biasa dan tidak begitu istimewa, karena barangkali itu hanya menjadi rutinitas biasa saja, apalagi kalau mereka tidak bisa meng-create itu sebagai pertemuan yang luar biasa. Tapi, bagi saya, anak saya, dan isteri saya pertemuan sehari atau dua hari saja merupakan kejadian yang istimewa dan sangat-sangat menggembirakan. Sungguh luar biasa. Saya sangat senang, isteri sangat bahagia, begitu juga anak kami begitu sangat ceria.

Sampai hari ini kami masih terus berdoa dan berharap untuk bisa berkumpul di satu rumah dengan penuh kenyamanan tanpa ada orang yang terus menghantui kehidupan keluarga kami. Tapi, dalam kondisi seperti sekarang ini kami berusaha untuk tetap merasakan betapa bahwa kita tetap bisa merasakan kebahagiaan yang tiada tara dalam kondisi masalah terberat sekalipun. Asalkan kita bisa mengelola hati kita dengan baik. 

Waktu awal Juli kemarin, anak dan isteri saya berkunjung ke rumah kontrakan saya yang lumayan sempit. hehe... Alhamdulillah. Kami semua merasa bahagia, apalagi Bapak dari kampung dan keponakan saya yang kerja di Senayan juga datang. Ditambah lagi malamnya ada acara tabligh akbar di Musholla Al-Falah depan kontrakan saya. Luar biasa senang.

Ada rasa bangga yang memenuhi dada melihat sang anak yang begitu baik, penuh pengertian, dan pintar. Saat kami orang tuanya mengeluh karena sesuatu hal dan anak kami tahu, hampir selalu dia mengatakan: "Ya, harus sabar." Kami seringkali sangat tersentuh dengan kata-kata sederhana itu. Kepolosan dan bahasanya yang tidak tendensius betul-betul menusuk dan masuk di hati kami.

Kami hampir tidak pasti kapan bisa bertemu, apalagi untuk mengaturnya dalam setiap berapa bulan sekali. Kadang 6 bulan sekali, bahkan kadang hanya setahun sekali. Itu pun hanya bertemu beberapa hari saja. Pertemuan yang berkualitaslah yang saya canangkan di dalam diri saya untuk mengobati semua rasa rindu yang membuncah di dada dan hati paling dalam. Kerelaan menerima setiap takdir Allah adalah menjadi kunci yang dahsyat untuk bisa menjalani semuanya. Rasa marah dan kesal tidak menjadikan semuanya menjadi lebih baik. Kami yakin kalau saatnya Allah memberikan jalan dimana kami bisa berkumpul bersama, maka tidak ada susahnya, pasti, 100% tidak susah.

Kesempatan ini memang harus benar-benar kami jadikan bahan introspeksi atas apa yang telah kami lakukan selama ini. Allah SWT memberikan waktu untuk kesadaran yang penuh. Banyak dosa yang masing-masing kami mungkin pernah melakukannya. Inilah saatnya flash back. Dosa apa yang mungkin pada masa yang lalu bahkan mungkin sampai saat ini pernah saya atau istri saya lakukan. Kesadaran ini harus menjadikan kami mampu menjadi manusia yang mau bertobat, berupaya sekuat tenaga untuk meninggalkan kesalahan, dosa, atau maksiat sekecil apapun itu. Karena dosa dan maksiat adalah salah satu penghalang dari keberkahan hidup.

Berikutnya, kami juga harus menimbang, sudahkah kita dengan konsisten melakukan kebaikan demi kebaikan. Siapa tahu ternyata kita memang orang yang pelit untuk berbuat baik. Maka kami harus mempertahankan kebaikan yang sudah biasa dilakukan dan mencoba terus meningkatkan kebaikan itu setiap hari dan setiap saat. Karena sabda Rasulullah SAW bahwa kebaikan yang kita lakukan setelah kita melakukan kesalahan maka ia akan bisa menghapus kesalahan yang sebelumnya kita lakukan. Maka mudah-mudahan dengan demikian rahmat dan keberkahan Allah SWT akan turun kepada kami. Aamiin...

*****

Apa sebenarnya yang mendekatkan kami bertiga? Pertama, tentu harus saling memahami dan memaklumi serta menjalani semua ini dengan ikhlas. Kedua, hampir setiap hari kami menyempatkan diri untuk saling menyapa lewat telpon atau pesan singkat. Bahkan, anak saya kadang kalau saya sudah telpon dia tidak mau atau lebih tepatnya seperti tidak rela kalau kami harus memutus telpon tersebut. Padahal kalau telpon kami bisa ngobrol minimal 25 menit sampai satu jam bahkan lebih.

Yang lebih megasyikkan dan membuat saya bahagia, seringkali ketika telpon di sore hari ba'da Asar kami menambah kedekatan itu dengan cara menyimak bacaan Al-Qur'an yang dibacakan anak saya sambil membetulkan bacaan yang masih salah. Syahduuu rasanya. Dekaaat sekali. Bahkan rasa haru tak jarang menyelimuti hati saya. Rasa syukur begitu penuh mengisi hati saya. Terima kasih ya Allah atas karunia yang luar biasa ini. 

Jumat, 25 Oktober 2013

Bahagia Setiap Saat

Adakah orang yang hidupnya selalu bahagia? Mungkin di antara kita banyak yang bilang "tidak ada", "tidak mungkin ada". Wajar saja, karena memang masing-masing kita punya sudut pandang yang berbeda-beda. Ada yang memandang bahwa bahagia itu kalau tampak lahirnya serba ada, serba punya, dan kaya. Ada juga yang memandang yang namanya bahagia itu ukurannya bukan harta, tahta dan status sosial, bahagia itu tergantung hatinya. Boleh jadi orang yang tampak luarnya kaya dan serba ada, tapi batinnya miskin merana. Boleh jadi pula ada orang yang tampak luarnya miskin, papa, sulit, dan merana, tapi ternyata hatinya tenang dan bahagia. Yang lebih parah lagi orang yang tidak punya apa-apa ditambah lagi kehidupannya tidak bahagia. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sakiiiiiittt....

Itu kalau ukurannya hanya duniawi semata. Kalau seseorang sudah mendasarkan hidupnya dengan iman, maka hasilnya akan lain. Seseorang yang imannya mantap dan istiqomah (konsisten) dalam keimanannya akan mendasari hidupnya dengan keyakinan yang penuh kepada Allah SWT. Orang yang semacam ini hidupnya akan senantiasa stabil, tak lapuk karena hujan, tak lekang karena panas, tak goyah karena badai. Dalam posisi ini, ia akan merasakan puncak manis dan lezatnya keimanan.
Seorang manusia akan merasakan manisnya iman manakala ia mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada yang lain. Di samping itu ia terus menghiasi cintanya dengan menambah ketaatan dari waktu ke waktu dengan manjalankan apa yang diperintahkan Allah SWT dan meninggalkan apa yang dilarang oleh-Nya. Orang yang sudah merasakan manisnya iman, maka akan muncul dalam dirinya rasa ridho Allah sebagai Tuahnnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulnya. Kalau seseorang sudah seperti ini, maka ia akan merasakan 2 hal: 

1)Ia akan merasakan Istildzadzut Tho'ah, lezat dan nikmatnya berada dalam ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT. Baik dalam shalatnya, baca Qur'annya, berpakaiannya, pergaulannya, dan segenap bentuk ketaatan yang dilakukannnya. Dia tidak hanya melakukan itu semua karena keterpaksaan, tapi didasarkan pada sami'naa wa atho'naa - kami dengar dan kami taat. Ia tidak akan mudah pecah konsentrasinya dalam beribadah dan ketaatan hanya karena godaan dan gangguan duniawi yang membisikinya. 

2)Ia akan merasakan Istildzadzul Masyaqoh, lezat dan nikmatnya berada dalam kesulitan, kesusahan, rintangan, dan halangan yang menghadangnya. Semua itu akan tetap ia jalani dengan senyuman, dan menganggap itu hanya kerikil kecil dalam perjalanan menuju sukses yang dicita-citakannya.Ia nikmati itu sebagai bagian dari nikmatnya jalan perjuangan. Karena sesungguhnya sulit dan susahnya jalan di hari ini akan menjadi cerita indah di masa yang akan datang.

Contoh orang-orang yang merasakan ketaatan kepada Allah adalah para wanita Muhajirin dan Anshor yang ketika turun kepada mereka ayat yang memerintahkan mereka berhijab, mereka langsung menyambut seruan itu tanpa membuat alasan ini dan itu. Mereka langsung memotong kain-kain mereka dan menutup kepala sampai ke dada mereka. Kadang hal itu kontras dengan kondisi yang ada sekarang, untuk melakukan sebuah kewajiban yang sudah jelas-jelas ada dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah kita sering sekali bilang belum siap lah, belum saatnya lah, dan berbagai macam alasan lainnya yang membuat kita tak kunjung melakukan kewajiban itu.

Begitu pun ketika Abu Ayub Al-Anshari mendengar perintah berjihad, walaupun sudah tua, beliau tetap menyambut perintah itu dengan semangat walau anak-anaknya sempat menghalanginya karena alasan usia. Sampai akhirnya ia mendapatkan syahidnya di medan jihad.

Sebagai contoh orang yang merasakan manisnya kesulitan dan kesusahan dalam perjuangan adalah Rasulullah SAW. Sepanjang beliau berdakwah menyebarkan agama Allah beliau tidak pernah sepi dari halangan, rintangan, kesulitan, kesusahan sampai ancaman pembunuhan kepada dirinya. Tapi, hal itu tidak membuat beliau surut langkah ke belakang. Beliau maju terus dengan semangat pantang menyerah. Bahkan saat beliau berdakwah selama 10 hari ke kota Thaif, bukannya sambutan yang beliau dapatkan, beliau malah mendapat sambitan. Bukannya pujian melainkan makian. Beliau dikejar, diusir, dan dilempari batu sampai beliau terluka. Bahkan Malaikan penjaga sebuah gunung di Thaif sempat menawari, andaikan Rasulullah mau dan mengizinkan, maka ia akan timpakan gunung itu kepada penduduk Thaif sebagai balasan atas perbuatannya yang kurang ajar.

Tapi, tahukan Anda, apa jawaban Rasulullah SAW yang mulia?

Dengan penuh kelembutan dan kasih sayang Rasulullah SAW menanggapinya seraya berkata, "Tetapi aku berharap semoga Allah mengeluarkan dari tulang rusuk mereka kelak orang-orang (generasi) yang beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun." Subhanallah...

Maka, kalau kedua hal itu sudah melekat dalam diri kita, insya Allah untuk merasakan bahagia kita tidak akan tergantung kepada apapun dan kepada siapapun. Karena hidupnya sudah menggantungkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Ia percaya Allah-lah yang mengatur semuanya. Ia menempatkan Allah di atas segala-galanya. Dan ia pun akan merasakan bahagia setiap saat. Insya Allah. 

Rabu, 23 Oktober 2013

Pemimpin dan Kepemimpinan

Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan memimpin, artinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan tertentu. George R. Terry (2006 : 124) mengemukakan 8 ciri mengenai kepemimpinan dari pemimpin, yaitu :
  1. Energik, mempunyai kekuatan mental dan fisik;
  2. Stabilitas emosi, tidak boleh mempunyai prasangka jelek terhadap bawahannya, tidak cepat marah dan harus mempunyai kepercayaan diri yang cukup besar;
  3. Mempunyai pengetahuan tentang hubungan antar manusia;
  4. Motivasi pribadi, harus mempunyai keinginan untuk menjadi pemimpin dan dapat memotivasi diri sendiri;
  5. Kemampuan berkomunikasi, atau kecakapan dalam berkomunikasi dan atau bernegosiasi;
  6. Kemampuan atau kecakapan dalam mengajar, menjelaskan dan mengembangkan bawahan;
  7. Kemampuan sosial atau keahlian rasa sosial, agar dapat menjamin kepercayaan dan kesetiaan bawahannya, suka menolong, senang jika bawahannya maju, peramah, dan luwes dalam bergaul;
  8. Kemampuan teknik, atau kecakapan menganalisis, merencanakan, mengorganisasikan wewenang, mengambil keputusan dan mampu menyusun konsep.

Selasa, 22 Oktober 2013

Jauhi Prasangka

Prasangka adalah sangkaan awal yang kita buat berdasarkan asumsi yang tidak berdasarkan pada fakta dan biasanya lebih mengarah kepada hal yang negatif. Dalam terminologi Islam perbuatan semacam ini disebut dengan su'udzdzon (buruk sangka). Atau dalam bahasa lain kita menyebutnya dengan negatif thinking. Entah apa itu disebutnya, yang jelas sifat ini seringkali membawa pelakunya pada keadaan yang tidak baik. 

Orang yang hidupnya penuh dengan prasangka, melihat apapun yang dilakukan oleh orang lain ia akan mengasumsikannya kepada hal yang negatif. Melihat orang tersenyum, ia anggap mentertawakan. Ada orang yang menatap, ia anggap menantang. Ada orang memberi kritik atau saran perbaikan, ia anggap sebagai upaya menjatuhkan. Dan banyak lagi yang lainnya. 

Sikap yang selalu negatif thinking ini akan membawa pelakunya pada perasaan yang selalu gelisah dan tidak tenang. Bagaimana ia mau tenang toh ia merasa bahwa siapapun yang berada di sekitarnya akan selalu dianggapnya sebagai ancaman. Siapapun akan dicurigainya sebagai lawan yang berusaha mengkerdilkan atau mengancam dirinya. Sifat ini bisa dimiliki oleh siapapun, baik oleh seseorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi, menengah, atau bahkan rakyat jelata. 

Bagi seorang pimpinan dari sebuah lembaga, prasangka ini akan membawanya untuk mengatakan atau mengasumsikan bahwa orang yang mengkritiknya sebagai orang yang sedang berusaha menjatuhkannya. Ia beranggapan bahwa orang-orang di bawahnya selalu tidak setuju dengan kebijakannya. Tidak menganggapnya sebagai pimpinan. Menganggap bahwa ia sebagai pemimpin yang gagal, tidak merakyat, dan lain-lain. Padahal kalau ditelisik lebih jauh kemungkinan besar mungkin sekitar 95 %-nya hanyalah sebuah sangkaan yang tidak berdasar.

Apa yang menyebabkan seorang pimpinan sebuah lembaga-misalnya- berprasangka buruk kepada bawahannya? Sangat mungkin ia adalah pimpinan yang tidak paham masalah manajemen, ia tidak ahli administrasi, ia tidak bisa komunikasi yang efektif dengan bawahannya. Sehingga prasangkanya itu ia pakai untuk menutupi kekurangannya itu. Kemarahannya di setiap rapat akan ia gunakan agar dia dianggap superior dalam pandangan bawahannya. Dengan demikian diharapkan tidak ada orang yang berani melawan ataupun mengkritiknya. 

Kalau bagi rakyat kecil, bisa kecil mentalnya ataupun kecil dari sisi ekonomi, ini bisa disebabkan karena rasa inferior atau rasa rendah diri yang berlebihan. Apa yang terjadi? Ia akan mengatakan kalau harta atau kekayaan yang dimiliki oleh orang lain sebagai hasil dari usaha yang tidak baik. Ia akan mengatakan bahwa tidak ada orang kaya yang baik. Semua orang kaya sombong, dan berbagai prasangka buruk lainnya. 

Kedua contoh di atas sama-sama tidak baiknya. Maka, agar hidup kita lebih nyaman dan lebih tenang, hilangkanlah sifat suudzdzon tersebut. Selalulah husnudzdzon atau berbaik sangka atas apa yang dilakukan atau didapatkan oleh orang lain. Kita harus ridho dengan pemberian Allah kepada kita. Merasa cukup (qonaah) dengan yang saat ini kita miliki dengan terus berusaha dengan segenap kemampuan yang kita miliki untuk mendapatkan yang terbaik. 

Wallahu a'lam.

Senin, 21 Oktober 2013

Akreditasi VS Kejujuran

Sudah dua kali saya menyaksikan dan mengalami bagaimana sibuknya sebuah sekolah yang akan diakreditasi. Berbagai cara dilakukan agar semua yang tertulis dalam buku pedoman akreditasi bisa terpenuhi. Segala barang atau sarana prasarana yang harusnya sudah ada dari sebelum akreditasi, sebagai perlengkapan sekolah, justru diadakannya menjelang akreditasi tersebut.

Sebuah sekolah seolah takut sekali kalau nilai akreditasinya "kurang" nanti peminat sekolahnya berkurang atau bahkan tidak ada lagi. Tentu perasaan itu sah-sah saja kalau jalan yang ditempuh benar. Tapi, kenyataannya yang terjadi saat ini, akreditasi menjadi ajang pembohongan dan kebohongan besar-besaran. Yang berbohong tidak tanggung-tanggung, dari mulai kepala sekolah, guru-guru, karyawan, OB sampai anak-anak didiknya sendiri diajak bersekongkol untuk berbohong. Na'udzubillahi min dzaalik...

Sebenarnya hakikat akreditasi-semestinya- menilai yang sudah ada dan sudah berjalan, bukan menilai yang diada-adakan. Adapun kalau ada kekurangan-kekurangan baik dari sisi manajerial, administrasi, sarana prasarana dan lain sebagainya, justru itu akan menjadi rekomendasi assesor sebagai bahan perbaikan bagi sekolah yang dimaksud. Makanya, semestinya normal saja seperti keadaan biasa yang memang semestinya berjalan. 

Delapan standar nasional pendidikan adalah pedoman yang harus terus dijadikan arah pembenahan dan pemenuhan kebutuhan sekolah dari waktu ke waktu. Sekolah mestinya mempunyai loker khusus untuk menyimpan administrasi dari masing-masing standar yang sudah ditetapkan, dengan bukti fisik yang harus senantiasa terjaga. Mau ada akreditasi ataupun tidak kedelapan standar ini harus selalu siap untuk dilihat, ditinjau atau diambil ketika diperlukan. Jadi, tidak perlu adanya lembur-lembur hanya untuk mempersiapkan kebohongan dalam rangka mencapai nilai bohong tertinggi atau kebohongan dengan nilai A kalau perlu A plus. Hehehe... jadi lucu Soddara Soddara...

Inilah ironi-nya. Sekolah yang merupakan salah satu pengawal moral anak bangsa sudah mengorbankan nilai-nilai kebenaran untuk mendapatkan nilai di atas kertas. Di antara nilai kebenaran itu adalah nilai kejujuran. Memang, banyak lembaga sekolah kita (baca: orang-orangnya) saat ini yang sudah lupa hakikat sebuah pembelajaran atau tujuan sebuah lembaga pendidikan. Penanaman nilai-nilai karakter akhirnya hanya jadi bualan saja tanpa bukti yang nyata. Lebih tragis lagi mereka yang bersekongkol itu adalah orang-orang yang paham agama dan paham hukum suatu perbuatan. Maka, kalau sudah begitu, dimanakah keteladanan para guru dan pengelola pendidikan. Pantas saja kalau selama ini nilai-nilai kebaikan yang disampaikan kepada anak-anak tidak membekas sama sekali. Karena kitanya (guru-guru) banyak yang tidak pantas untuk diteladani. Kita terlalu sering mengatakan sesuatu yang kita sendiri tidak melakukannya.

Tentang hal ini kita bisa menemukannya dalam firman Allah Surah Ash-Shaf yang intinya memfirmankan : "Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan? Amat besar kemurkaan Allah karena kamu mengatakan sesuatu (perbuatan) yang tidak kamu lakukan." Kita menyuruh anak-anak jujur tapi kita sendiri tidak jujur. Maka, apa yang kita sampaikan sebenar apapun itu ia tidak akan membawa efek perubahan apapun.

Belum lagi yang menambah parah "kejahatan" ini adalah "risywah" atau suap yang diberikan oleh pihak sekolah kepada assesor agar prosesnya lancar, tidak berbelit-belit dan mendapat nilai sesuai dengan yang diharapkan. Kalau perlu bahkan assesor dan tim dijamu saja dengan makanan yang serba enak agar mereka merasa berhutang budi, kekenyangan dan malas untuk memeriksa secara detil ragam pointer akreditasi. 

Inilah kenyataan, mungkin masih banyak di tempat-tempat lain. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa yang mebuat berjalan sebuah lembaga pendidikan itu karena Allah SWT sendiri yang menjalankannya. Yang paling penting bagi kita yang berada di lembaga pendidikan adalah menyiapkan sebuah lembaga pendidikan yang lengkap sesuai dengan kebutuhan dan dana yang dimiliki, sepanjang waktu. Bukan karena alasan akreditasi atau karena akan ada pengawas. Layani orang tua dan anak-anak mereka dengan pendidikan yang prima. Beri mereka pendidikan terbaik. Kerahkan semua kemampuan untuk mencapai tujuan pendidikan tertinggi, di antaranya menjadikan anak-anak yang beriman, bertaqwa, terampil dan dewasa dalam bertindak dan tentunya menjadi anak yang shalih dan shalihah. Hindari perbuatan-oerbuatan tercela yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang guru yang seharusnya menjadi teladan atau uswah dalam hal kebaikan. Wallahu a'lam...

Sabtu, 19 Oktober 2013

Jangan Pernah Menyerah

Saya sempat menaruh asa saat salah satu penerbit di Solo merespon kiriman sinopsis naskah buku saya dan meminta agar saya mengirim naskah full. Dua bulan menunggu dengan harap-harap cemas, akhirnya awal Oktober yang lalu saya mendapat surat resmi dari pihak penerbit tersebut bahwa naskah saya belum bisa diterbitkan karena tidak ada sesuatu yang baru yang ditawarkan naskah tersebut. Kecewa memang, tapi saya lalu teringat dengan beberapa kisah orang-orang sukses yang harus jatuh bangun dalam meraih suksesnya. 

Dengan demikian, saya bisa menekan rasa kecewa saya. "Toh saya baru sekali mengirimkan naskah, sudah untung ada respon juga". Begitu batin saya. Kalau satu penerbit menolak, bukan berarti penerbit yang lain juga melakukan penolakan yang sama. Kalau penerbitan yang sudah bonafid menolak. masih ada penerbit indi atau self publishing yang mungkin masih bisa menerima. Kata peribahasa: Banyak jalan menuju Roma. Yang terpenting sekarang adalah terus dan terus mencoba. Karena boleh jadi saat kita menyerah sesungguhnya kita tinggal selangkah lagi menuju kesuksesan. Oleh karena itu, jangan pernah menyerah sampai kesuksesan itu bisa diraih.

Moammar Emka, saat ini merupakan salah satu penulis yang disegani di jagat perbukuan. Apakah dia dikenal karena bukunya diterbitkan oleh penerbit terkenal? Ternyata tidak. Naskah buku Jakarta Under Cover-nya awalnya ditawarkan kepada penerbit terkenal, bagaimana hasilnya? Naskahnya ditolak dengan alasan terlalu berani, bahkan mungkin terlalu vulgar dan menyajikan cerita yang menjurus ke arah sana. Tapi kemudian naskahnya diapresiasi oleh penerbit indi yang tidak dikenal. Yang terjadi kemudian bukunya laris manis, karena menyajikan data dan fakta yang tidak biasa. Fenomenal!!!

Beberapa buku yang akhirnya best seller pun, baik di dalam maupun di luar negeri, bahkan ada yang sampai difilmkan, ternyata banyak yang tidak semulus apa yang kita tahu setelah suksesnya. Banyak penolakan, banyak diremehkan, bahkan dihina dan dikecilkan. Tapi, fakta membuktikan, bagi siapa yang mau berjuang tanpa kenal lelah, bagi setiap orang yang mau berusaha sekuat tenaga, ada bayaran yang setimpal dengan usahanya. Tetaplah konsisten dan persisten. Tetaplah semangat dan terus berjuang. Sebuah mahfudzat berbahasa Arab mengatakan مَنْ جَدَّ وَجَد "Barangsiapa yang bersungguh-sungguh, maka ia akan mendapatkan (apa yang ia usahakan)". Satu lagi peribahasa yang mengatakan Man Shobaro Dzafiro (Barangsiapa yang bersabar -berupaya terus dengan sabar- maka ia akan memetik dari hasil kesabarannya itu. Maka dari itu, never give up!! Jangan pernah menyerah. Teruslah berusaha dan jangan lupa berdo'a. 

Jumat, 18 Oktober 2013

Pemimpin Yang Bijaksana

Seorang boss menimbullkan ketakutan; tetapi seorang pemimpin memancarkan kasih. Seorang boss mengatakan AKU; tetapi seorang pemimpin mengatakan KITA.Seorang boss menunjuk siapa yang bersalah; tetapi seorang pemimpin menunjuk apa yang salah. Seorang boss tahu bagaimana sesuatu dikerjakan; tetapi seorang pemimpin tahu bagaimana mengerjakannya. Seorang boss menuntut rasa hormat; tetapi seorang pemimpin membangkitkan rasa hormat. Seorang boss mengatakan PERGI!!!; tetapi seorang pemimpin berkata MARI KITA PERGI!!!

Maka jadilah anda seorang Pemimpin dan bukan seorang boss.



Bila anda menjadi seorang pemimpin atau anda mendapat amanah menjadi seorang pemimpin, maka anda harus mampu mawas diri. Tidak sombong, dan memiliki kerendahan hati. Harus berani dikritik, dan siap menerima kecaman dari bawahan. Tetapi yakinlah bila anda mampu memberikan keteladanan atau contoh yang baik kepada orang-orang yang anda pimpin, maka mereka pun akan sungkan dengan anda. Merekapun akan malu bila tak seide dengan pemimpinnya. Sebab keteladanan adalah cara jitu dalam memimpin.

Sekarang ini, banyak pemimpin yang mau benarnya sendiri. Tak peduli dengan omongan orang bawahan. Padahal, seorang pemimpin itu harus lebih banyak mendengar, dan melayani dengan sepenuh hati orang-orang yang dipimpinnya. Bukan justru minta dilayani, dan banyak ngomongnya.
Bila kita mampu memberikan contoh yang baik, dan satu kata antara perkataan dan perbuatan, maka orang yang dipimpin oleh anda akan takluk dan tunduk dengan kepemimpinan anda. Tetapi bila anda tak banyak memberikan contoh, lalu selalu menyalahkan bawahan anda, maka apapun yang anda katakan akan disepelekan. Orang betawi bilang, “Kagak Ngepek”. Artinya, omongan pemimpin sudah tidak didengar lagi oleh orang yang dipimpinnya. Kalau sudah begitu, seorang pemimpin harus instrospeksi diri. Bacalah istighfar memohon ampun kepada Allah.

Keteladanan seorang pemimpin saat ini mungkin menjadi barang langka di negeri ini. Menjadi pemimpin di negeri ini bukan untuk melayani, tetapi justru minta dilayani. Kalau ada urusan duit, maka pemimpin yang seperti itu akan berdiri di depan, dan bila tak ada duitnya dia akan lesu tak bernafsu.
Keteladanan seorang pemimpin sebenarnya ada dalam diri kita. Misalnya bila kita beragama Islam, maka setiap kali mendengar suara adzan dilantunkan dari rumah Allah, maka segeralah berhenti dari pekerjaan. Lalu lakukan sholat berjamaah. Dengan sholat berjamaah selain pahalanya berlipat ganda, di situ ada kedispilinan soal waktu. Kita menjadi tepat waktu dalam menegakkan sholat. Bila pemimpin yang tak amanah, maka cuek saja bila suara adzan terdengar. Baginya, pekerjaannya adalah Tuhannya.

Contoh pemimpin yang baik adalah tepat waktu, dan tidak membiarkan orang lain menunggu. Baginya waktu bagaikan pedang. Bila tak tepat waktu, maka dia tak akan memberikan keteladanan yang baik. Itu baru soal waktu, dan belum soal lainnya. Tidak mudah menjadi seorang pemimpin yang tepat waktu.
Keteladanan adalah kunci pendidikan sepanjang masa. Siapa yang mampu memberikan contoh yang baik, maka dia akan menjadi seorang pemimpin yang sejati. Tak perlu banyak omong cukup keteladanan saja.
Menjadi seorang pemimpin selain memberikan contoh dan tauladan yang baik, Dia juga sudah harus siap untuk mendapatkan masukan dan saran dari bawahan ke arah perbaikan kinerjanya. Bila ada bawahan yang mengkritiknya, justru dia bersyukur. Bukan justru mencari-cari kesalahan orang yang mengkritiknya.
Barang siapa yang memberikan contoh yang baik dalam Islam maka baginya pahala atas perbuatan baiknya dan pahala orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Yang demikian itu tidak menghalangi pahala orang-orang yang mengikutinya sedikitpun. Dan barang siapa yang memberikan contoh yang buruk didalam Islam maka baginya dosa atas perbuatannya dan dosa orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Yang demikian itu tanpa mengurangi sedikitpun dosa orang-orang yang mengikutinya” (HR Muslim).
Sungguh hadits ini mengingatkan kita untuk selalu berhati-hati dalam memberikan contoh, apalagi sebagai orang tua yang telah memiliki anak. Kita dituntut lebih hati-hati dalam memberikan contoh. Sengaja atau tidak, ada efek negatif maupun positif. Kesalahan dalam membentuk karakter anak misalnya tanpa sengaja dapat terjadi dengan keteladanan yang buruk. Akibatnya bisa fatal, yaitu membentuk karakter yang rusak. Anak kita pun tak menjadi anak yang sholeh.
Sebagai seorang pendidik saya berusaha keras untuk memberikan keteladanan di depan peserta didik. Bila saya tak memberikan contoh yang baik, maka anak-anakpun akan “mencla-mencle” bila bertemu dengan saya. Keteladanan dalam dunia pendidikan adalah sangat penting, apalagi kita sebagai orang tua yang diamanahi Allah berupa anak-anak, maka kita harus menjadi teladan yang baik buat anak-anak. Kita harus bisa menjadi figur yang ideal bagi anak-anak. Kita harus menjadi panutan yang bisa mereka andalkan dalam mengarungi kehidupan ini.
Para pembaca yang saya banggakan. Keteladanan seorang pemimpin akan terlihat ketika dia marah. Pada saat itulah sebenarnya musuh utamanya. Seorang pemimpin yang tak mampu menahan marah, maka sesungguhnya dia bukanlah seorang pemimpin.

Keteladanan sangat kita butuhkan sekarang di semua sisi kehidupan, baik berkaitan dengan diri sendiri, keluarga, lingkungan sekitar, sekolah, masyarakat,umat, negara dan bangsa. Keteladanan yang kita lihat saat ini sudah mulai berkurang sehingga tatanan negara, bangsa, umat dan keluarga akhir-akhir ini menjadi sangat buruk. Tentu kita prihatin akan hal ini.
Solusinya adalah mari menjadi seorang pemimpin yang mampu memberikan keteladanan, dan itu dimulai dari diri kita sendiri. Tak perlu sibuk mencari kesalahan orang lain, karena sesungguhnya kita yang masih banyak kekurangannya dalam memimpin. Terutama memimpin diri kita sendiri.

Bila anda sudah menjadi orang tua, maka jadilah orang tua yang mampu memberikan keteladanan untuk anak-anak kita. Karena keteladanan seorang ayah dan ibu yang baik, maka sang anak bisa menjadi anak yang shaleh, berbakti dan mampu menyenangkan kedua orang tuanya.
Bila anda seorang guru, maka jadilah guru yang mampu memberikan keteladanan. Karena keteladanan seorang guru dan pengajar, seorang murid/siswa mampu dididik menjadi pelajar yang tidak hanya pintar dalam hal akademik namun berbudi luhur. Cerdas Otak dan cerdas watak.

Bila anda pemimpin instansi, berilah keteladanan bawahan anda. Karena keteladanan seorang pimpinan di instansi, seorang bawahan akan mengerti cara-cara bekerja yang baik dan efektif untuk melayani kepentingan masyarakat. Bila anda seorang dai, berilah keteladan yang baik berupa tindakan dan bukan ucapan semata. Karena keteladanan pulalah dari seorang dai, umat akan merasakan langsung aplikasi dari semua ceramah ataupun tausyiah yang telah disampaikan oleh dai tersebut.
Bila anda seorang presiden, maka jadilah presiden yang mampu memberikan keteladanan. Karena keteladanan dari seorang pemimpin bangsa, maka rakyat akan bersemangat dalam membangun bangsanya menyongsong pembangunan di era sekarang. Terkadang, tidak dibutuhkan sesuatu yang sulit untuk memberi contoh kepada orang lain selain modal Keteladanan.
Oleh karena itu keteladanan seorang pemimpin harus ada dalam diri kita masing-masing. Setiap diri kita adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Mari mencontoh baginda nabi Muhammad SAW dalam memberikan keteladanan. Jadikan sifat Siddiq, tabligh, amanah, dan fathonah (STAF) ada dalam diri kita sebagai seorang pemimpin.

Kamis, 17 Oktober 2013

Menulis Kata Membuka Dunia

Menjadi penulis itu mudah. Itu yang harus diyakini pertama kali agar kita benar-benar full motivasi dalam menulis. Kenapa kita perlu motivasi dalam menulis? Karena banyak -mungkin banyak sekali- orang yang mempunyai keinginan untuk menjadi penulis tapi kemudian mentok di tengah jalan. 

Waktu saya melihat rekaman workshop Asma Nadia tentang kepenulisan, rasanya setiap kita pasti bisa menulis. Dengan mudahnya, Asma Nadia meminta peserta workshop untuk mengambil satu barang yang dibawanya, apapun itu. Kemudian, Asma meminta beberapa orang untuk maju ke depan dengan membawa barang yang sudah diambilnya tadi. Ada yang bawa pulpen, HP, buku, tas, dan lain-lain. Mereka yang maju diminta untuk bercerita tentang benda/barang yang dibawanya. Asma mengatakan,"semudah kita berbicara tentang sesuatu, semudah itulah kita menulis." Menulis, menurutnya, adalah memindahkan bahasa lisan ke dalam bahasa tulisan. Itulah yang membuat kita mudah untuk menuliskan ide-ide kita.

Jangan pernah berpikir pakem-pakem penulisan terlebih dahulu ketika kita menuangkan apa yang kita pikirkan. Lupakan dulu aturan-aturan penulisan, karena hal itu akan membuat kita menghentikan tulisan kita saat melihat tulisan kita sepertinya kurang bagus. Dan sampai kapan pun kita tidak akan pernah bisa menyelesaikan tulisan kita. Inilah belenggu yang harus kita enyahkan jauh-jauh. Jadi, untuk bisa menulis kuncinya adalah 3 T : 1) Tulis; 2) Tulis; dan 3) Tulis. Intinya "Action!". Kalau kita tidak pernah memulai untuk menulis maka kita tidak akan pernah bisa menyelesaikan satu tulisan pun. Suatu peribahasa mengatakan: Pekerjaan yang paling sulit diselesaikan adalah pekerjaan yang tidak pernah dimulai."

Menulis merupakan cara paling baik agar kita lebih banyak belajar. Menulis memaksa kita untuk terus belajar dan membaca. Sehingga dengan demikian otomatis ilmu kita pun akan cepat bertambah dibanding dengan orang-orang yang tidak pernah menulis. Seorang penulis akan mempunyai pemahaman yang mendalam tentang konsep yang ditulisnya. Jadilah ia pembuka dunia bagi pelakunya.
Banyak kita yang mempunyai beribu alasan untuk memulai menulis, tapi ia tidak akan punya alasan yang mampu menghindar akibat dari penundaannya untuk menulis. Sejelek apapun tulisan kita pada awalnya, semakin sering kita menulis semakin baguslah tulisan kita. Peribahasa mengatakan "alah bisa karena biasa". Seseorang akan menjadi expert dalam penulisan kalau dia konsisten untuk terus berlatih setiap hari. Jangan pernah lewatkan satu hari pun tanpa menulis.

Saat ini, untuk menjadi penulis yang dikenal banyak orang sangat banyak caranya. Media sudah cukup berlimpah untuk menjadikan kita "artis" dalam bidang kepenulisan. Bisa melalui koran, majalah, jejaring sosial, media online, blog, website dan lain-lain. Banyak-banyaklah bersosialisasi dengan mempublikasikan tulisan kita. Jangan menunggu tulisan kita bagus. Kalau perlu mintalah kepada teman facebook, followers twitter, ataupun followers blog kita untuk mengkritisi tulisan-tulisan kita dan mengoreksinya. Apa keuntungannya? Siapa tahu apa yang kita tulis terus-menerus di blog, fb, atau twitter pada saatnya bisa kita jadikan bahan untuk kita buat menjadi buku. Dan teman-teman kita di dunia maya itu tentu akan menjadi pembeli pertama dari buku-buku kita. Manthep tho...???

Selamat belajar menulis, dan tetaplah konsisten dengan niat awal kita.
Sukses!!!

Senin, 07 Oktober 2013

Menulis apa ya?

Entah apa yang harus saya tulis saat ini. Saya benar-benar blank. Saya kadang iri kepada mereka para penulis yang mampu menghasilkan tulisan yang banyak dan berbobot. Struktur tulisan mereka begitu runut dan enak untuk dinikmati (dibaca). Keinginan untuk menulis memang menggebu dalam diri saya, tapi kadang sering sekali "malas" menghampiri tanpa permisi. 

Untuk tahap awal, rasanya saya perlu paksaan dari orang lain untuk membantu menyemangati. Caranya? Ya, bisa dengan mengikuti kursus atau pelatihan menulis atau dengan berkolaborasi untuk menulis satu tema tertentu. Saya harus menancapkan tekad "sulit tapi bisa, bukan bisa tapi sulit". Sesulit apapun sebenarnya kalau kita mau berlatih setiap hari ide-ide itu akan mengalir dengan sendirinya, dan kita akan mampu menulis dengan sangat mudah semudah dan senikmat makan kacang atau pizza.

Benar kata pepatah, "Alah bisa karena biasa". Kita tidak menjadi trampil karena menghafal semata, tapi kita bisa berhasil membuat tulisan yang bermutu karena kita terbiasa menjaring ide dengan praktik untuk menuliskannya. Gak percaya? Coba saja, nanti juga ketagihan. Kalau sudah ketagihan, mau buat buku berapa jilid pun insya Allah kita akan enjoy saja. Dan secara otomatis kita akan bergerak mencari referensi atau bahan-bahan yang relevan untuk menunjang kualitas tulisan kita.

Jadi, yang terpenting sekarang adalah kita mau memulainya. Karena, kata si empunya kata bijak : Pekerjaan yang paling sulit diselesaikan adalah pekerjaan yang tidak pernah dimulai. Betul apa betul? Ya iyalaah... Mau selesai bagaimana wong dimulai saja tidak. Mulailah dulu maka kita akan tahu bagaimana cara menyelesaikannya. Begitu pula dengan menulis. Kita tidak akan punya tulisan secuil pun kalau kita tidak pernah menulis. Maka tulislah dan selesaikanlah, kita akan punya tulisan. Masalah kualitas, jangan menilai dulu. Kalau tulisannya sudah ada apalagi sudah ada beberapa tulisan, kita akan bisa membandingkan antara tulisan pertama, kedua, ketiga , dan seterusnya, apakah ada progres atau tidak. Tapi, yakinlah, semakin sering kita menulis akan semakin baguslah tulisan kita.  Sure!