Adakah orang yang hidupnya selalu bahagia? Mungkin di antara kita banyak yang bilang "tidak ada", "tidak mungkin ada". Wajar saja, karena memang masing-masing kita punya sudut pandang yang berbeda-beda. Ada yang memandang bahwa bahagia itu kalau tampak lahirnya serba ada, serba punya, dan kaya. Ada juga yang memandang yang namanya bahagia itu ukurannya bukan harta, tahta dan status sosial, bahagia itu tergantung hatinya. Boleh jadi orang yang tampak luarnya kaya dan serba ada, tapi batinnya miskin merana. Boleh jadi pula ada orang yang tampak luarnya miskin, papa, sulit, dan merana, tapi ternyata hatinya tenang dan bahagia. Yang lebih parah lagi orang yang tidak punya apa-apa ditambah lagi kehidupannya tidak bahagia. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sakiiiiiittt....
Itu kalau ukurannya hanya duniawi semata. Kalau seseorang sudah mendasarkan hidupnya dengan iman, maka hasilnya akan lain. Seseorang yang imannya mantap dan istiqomah (konsisten) dalam keimanannya akan mendasari hidupnya dengan keyakinan yang penuh kepada Allah SWT. Orang yang semacam ini hidupnya akan senantiasa stabil, tak lapuk karena hujan, tak lekang karena panas, tak goyah karena badai. Dalam posisi ini, ia akan merasakan puncak manis dan lezatnya keimanan.
Seorang manusia akan merasakan manisnya iman manakala ia mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada yang lain. Di samping itu ia terus menghiasi cintanya dengan menambah ketaatan dari waktu ke waktu dengan manjalankan apa yang diperintahkan Allah SWT dan meninggalkan apa yang dilarang oleh-Nya. Orang yang sudah merasakan manisnya iman, maka akan muncul dalam dirinya rasa ridho Allah sebagai Tuahnnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulnya. Kalau seseorang sudah seperti ini, maka ia akan merasakan 2 hal:
1)Ia akan merasakan Istildzadzut Tho'ah, lezat dan nikmatnya berada dalam ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT. Baik dalam shalatnya, baca Qur'annya, berpakaiannya, pergaulannya, dan segenap bentuk ketaatan yang dilakukannnya. Dia tidak hanya melakukan itu semua karena keterpaksaan, tapi didasarkan pada sami'naa wa atho'naa - kami dengar dan kami taat. Ia tidak akan mudah pecah konsentrasinya dalam beribadah dan ketaatan hanya karena godaan dan gangguan duniawi yang membisikinya.
2)Ia akan merasakan Istildzadzul Masyaqoh, lezat dan nikmatnya berada dalam kesulitan, kesusahan, rintangan, dan halangan yang menghadangnya. Semua itu akan tetap ia jalani dengan senyuman, dan menganggap itu hanya kerikil kecil dalam perjalanan menuju sukses yang dicita-citakannya.Ia nikmati itu sebagai bagian dari nikmatnya jalan perjuangan. Karena sesungguhnya sulit dan susahnya jalan di hari ini akan menjadi cerita indah di masa yang akan datang.
Contoh orang-orang yang merasakan ketaatan kepada Allah adalah para wanita Muhajirin dan Anshor yang ketika turun kepada mereka ayat yang memerintahkan mereka berhijab, mereka langsung menyambut seruan itu tanpa membuat alasan ini dan itu. Mereka langsung memotong kain-kain mereka dan menutup kepala sampai ke dada mereka. Kadang hal itu kontras dengan kondisi yang ada sekarang, untuk melakukan sebuah kewajiban yang sudah jelas-jelas ada dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah kita sering sekali bilang belum siap lah, belum saatnya lah, dan berbagai macam alasan lainnya yang membuat kita tak kunjung melakukan kewajiban itu.
Begitu pun ketika Abu Ayub Al-Anshari mendengar perintah berjihad, walaupun sudah tua, beliau tetap menyambut perintah itu dengan semangat walau anak-anaknya sempat menghalanginya karena alasan usia. Sampai akhirnya ia mendapatkan syahidnya di medan jihad.
Sebagai contoh orang yang merasakan manisnya kesulitan dan kesusahan dalam perjuangan adalah Rasulullah SAW. Sepanjang beliau berdakwah menyebarkan agama Allah beliau tidak pernah sepi dari halangan, rintangan, kesulitan, kesusahan sampai ancaman pembunuhan kepada dirinya. Tapi, hal itu tidak membuat beliau surut langkah ke belakang. Beliau maju terus dengan semangat pantang menyerah. Bahkan saat beliau berdakwah selama 10 hari ke kota Thaif, bukannya sambutan yang beliau dapatkan, beliau malah mendapat sambitan. Bukannya pujian melainkan makian. Beliau dikejar, diusir, dan dilempari batu sampai beliau terluka. Bahkan Malaikan penjaga sebuah gunung di Thaif sempat menawari, andaikan Rasulullah mau dan mengizinkan, maka ia akan timpakan gunung itu kepada penduduk Thaif sebagai balasan atas perbuatannya yang kurang ajar.
Tapi, tahukan Anda, apa jawaban Rasulullah SAW yang mulia?
Dengan penuh kelembutan dan kasih sayang Rasulullah SAW menanggapinya seraya berkata, "Tetapi aku berharap semoga Allah mengeluarkan dari tulang rusuk mereka kelak orang-orang (generasi) yang beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun." Subhanallah...
Maka, kalau kedua hal itu sudah melekat dalam diri kita, insya Allah untuk merasakan bahagia kita tidak akan tergantung kepada apapun dan kepada siapapun. Karena hidupnya sudah menggantungkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Ia percaya Allah-lah yang mengatur semuanya. Ia menempatkan Allah di atas segala-galanya. Dan ia pun akan merasakan bahagia setiap saat. Insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar