Rabu, 30 Oktober 2013

Pendidikan Agama dalam Rumah tangga


Tatkala kita berbicara tentang metode pendidikan agama di sekolah, salah satu kesimpulan penting ialah bahwa kunci keberhasilan pendidikan agama di sekolah bukan semata-mata terletak pada metode pendidikan agama yang digunakan dan penguasaan bahan; kunci pendidikan agama di sekolah sebenarnya terletak pada pendidikan agama dalam rumah tangga. Oleh karena itu, pendidikan agama dalam rumah tangga sebenarnya tidak boleh terpisah dengan pendidikan agama di sekolah. Yang pertama adalah pendidikan agama dalam rumah tangga sebagai fondasi, kemudian dilanjutkan di sekolah sebagai pengembangannya. Karena itu maka perlu dibicarakan prinsip-prinsip pendidikan agama dalam rumah tangga.

Karena memahami pentingnya pembinaan kesejahteraan anak, pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan undang-undang tentang itu pada tahun 1979, bertepatan dengan Tahun Anak Internasional. Undang-undang itu menjadi landasan hukum bagi pembinaan anak Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Hal ini amat penting untuk Indonesia karena sejak semula, dengan pandangan hidup Pancasila, pembangunan Indonesia selalu memandang manusia sebagai titik sentral. Pembangunan itu berawal dan pembinaan anak, dan itu tentulah dalam rumah tangga.

Pengertian kesejahteraan anak dalam Undang-undang nomor 4 tahun 1979 itu, sebagaimana disebutkan dalam Bab I Pasal 1 (a), ialah sebagai benkut: “Kesejahteraan anak ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik segi rohani, jasmani, dan sosial.’ Jadi, pembinaan itu harus mencakup agama, kesehatan dan gizi, pendidikan, kependudukan, kehidupan berbangsa dan bernegara, ketenagakerjaan, kemampuan dan kesempatan kerja, lingkungan hidup, pangan, kesetiakawanan sosial, cinta tanah air, pertahanan-keamanan, dan lain-lain.” Dengan demikian, pembinaan kesejahteraan anak menyangkut usaha bangsa yang sangat strategis dan mendasar.

Berdasarkan uraian itu maka jelaslah bahwa pembangunan sumber daya manusia, termasuk pembinaan anak, erat sekali kaitannya dengan penumbuhan nilai-nilai seperti takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, jujur, berdisiplin, dan memiliki etos kerja yang tinggi. Hal ini bukanlah merupakan suatu proses sesaat, melainkan suatu proses yang panjang yang harus dimulai sedini mungkin, yaitu sejak masa anak-anak dengan adanya pendidikan agama dalam rumah tangga.

Dalam pandangan Islam, anak adalah amanat Allah. Amanat wajib dipertanggungjawabkan. Jelas, tanggung jawab orang tua terhadap anak tidaklah kecil. Secara umum inti tanggung jawab itu ialah penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak dalam rumah tangga. Tuhan memerintahkan agar setiap orang tua menjaga keluarganya dan siksa neraka:
“Jagalah dirimu dan keluargarnu dan siksaan neraka”.

Jadi, tanggung jawab itu pertama-tama adalah sebagai suatu kewajiban dari Allah, kewajiban harus dilaksanakan. Kewajiban itu dapat dilaksanakan dengan mudah dan wajar karena orang tua memang mencintai anaknya. lni merupakan sifat manusia yang dibawanya sejak lahir. Manusia mempunyai sifat mencintai anaknya. Ini terlihat dalam surat al-Kahfi:
 “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa manusia membawa sifat menyayangi harta dan anak-anak. Bila orang tua memang telah mencintai anaknya, maka tentulah ia tidak akan sulit mendidik anaknya. Dalam surat al-Furqan
Allah SWT berfirman:
“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”

Cinta kepada anak telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. kepada para sahabatnya. Itu berarti juga pelajaran untuk segenap Muslim.
“Seorang Badui datang kepada Nabi saw. dan bertanya, “Apakah engkau menciumi putra-putri engkau? Kami tidak pernah menciumi anak-anak kami.’ Nabi berkata, Apakah kamu tidak takut bila Allah mencabut kasih sayang dan hatimu?” (Al-Bukhari)

Berdasarkan kutipan itu jelaslah bahwa menurut Islam, orang tua wajib mendidik anaknya. Jika Nabi melihat sahabatnya tidak menyayangi anaknya, dia menegurnya dengan keras. Nabi sendiri amat sayang kepada anak-anak.
“Nabi pernah mencium cucunya, Hasan bin Ali. Waktu itu ada Aqra bin Habis al-Tamimi sedang duduk. Ia berkata, “Saya punya anak sepuluh, seorang pun tidak perriah saya cium.” Maka Nabi menoleh kepadanya dan berkata, “Orang yang tidak mengasihi tidak dikasihi.” (Al-Bukhari)

Al-Bukhari meriwayatkan dan Anas bin Malik bahwa telah datang kepada Aisyah seorang ibu bersama dua anaknya yang masih kecil. Aisyah memberian tiga potong kurma kepada wanita itu. Diberilah olehnya anak-anaknya masing-masing satu, dan yang satu lagi untuknya. Kedua kurma itu dimakan anaknya sampai habis, lalu mereka menoleh ke arah ibunya. Sang ibu membelah kurma (bagiannya) menjadi dua, dan diberikannya masing-masing sebelah kepada kedua anaknya. Tiba-tiba Nabi saw. datang, lalu diberi tahu oleh Aisyah tentang itu. Nabi saw. bersabda, “Apakah yang mengherankanmu dan kejadian itu, sesungguhnya Allah telah mengasihinya berkat kasih sayangnya kepada kedua anaknya.”

Uraian di atas itu menegaskan bahwa (1) wajib bagi orang tua menyelengarakan pedidikan dalam rumah tangganya, dan (2) kewajiban itu wajar (natural) karena Allah menciptakari orang tua yang bersifat mencintai anaknya. Jadi, pertama hukumriya wajib, kedua memang orang tua senang mendidik anak-anaknya. Inilah modal utama bagi pendidikan dalam keluarga.

Cinta kepada anak sering kali menyebabkan orang tua membanggakan anaknya. Perilaku orang tua seperti itu sebenarnya tidak terlalu salah; itu adalah salah satu kewajaran manusia. Jika orang menceritakan dengan bangga bahwa anaknya banyak, maka orang tahu hewan juga banyak anaknya. Jadi, rnembanggakan anak dan segi banyaknya tidak logis.

Hendaknya sadar bahwa membanggakan anak sering juga menjadi penyebab kita dibenci orang. Sebab, kebanyakan orang tidak senang bila kita menceritakan atau memperlihatkan kelebihan kita, lebih-lebih bila kélebihan kita itu dilebih-lebihkan. Dalam surat Saba ayat 35 :
Dan mereka berkata: "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak- anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab.”

Anak sering pula menyebabkan orang lupa kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka sibuk mengurus anak-anaknya. Mereka bekerja mati-matian untuk mencari uang agar semua permintaan anaknya dapat dipenuhi, ya, karena cinta kepada anak. Kadang-kadang permintaan yang tidak masuk akal pun dipenuhi, demi cinta kepada anak. Sayang anak menyebabkan orang korupsi atau mencuri. Semuanya itu menyebabkan orang dapat lupa kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kadang-kadang, karena orang merasa anak-anaknya kuat, cerdas, juara kelas, pemberani, maka orang tua merasa hidupnya akan aman. Oleh karena itu, mereka mulai tidak banyak lagi merasa bergantung pada Allah; lama kelamaan mereka meninggalkan Tuhan. Sering kali orang tua membela anaknya yang jelas-jelas berbuat salah sampai orang tua itu lupa bahwa membela yang salah adalah pelanggaran aturan Allah. Artinya, ia lupa kepada Allah.

Orang tua dapat juga menjadi budak anaknya; ia merasa wajib memenuhi segala keinginan anaknya, seperti dikatakan di atas, sampai Ia kalah oleh anaknya. Kewibawaan orang tua telah hilang; ia dibentak oleh anaknya karena terlambat atau tidak mampu memenuhi permintaan anaknya. Bila ia menyuruh anaknya salat pada pagi hari, ia tidak berani membangunkannya, takut anaknya kaget, atau khawatir anaknya marah. Amar makruf nahi munkar tidak dapat lagi dilakukannya terhadap anaknya, sekalipun kepada orang lain ia mampu. Dalam keadaan seperti itu, orang tua telah lupa kepada Allah karena anaknya. Kesibukan mencari nafkah dapat menyebabkan orang tua lupa mengerjakan ibadah seperti salat dan puasa, bahkan lupa pula bahwa ia wajib jujur. Ayat al-Quran berikut perlu direnungkan kembali oleh kita (orang tua): Surat Saba’: 37

“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka Itulah yang memperoleh Balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang Tinggi (dalam syurga).” (QS.Saba’:37)

Seseorang dikatakan telah melupakan Allah dan Rasul-Nya bila ia lebih mementingkan melakukan sesuatu untuk kepentingan anaknya ketimbang untuk kepentingan menegakkan ajaran Allah. Hendaknya diingat firman Allah dalam surat al-Taubah ayat 24:

“Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”

Boleh bangga bila anak kita memang hebat, itu adalah karena cinta pada anak, tetapi jangan berlebihan, cukup di dalam hati saja. Itu wajar. Cinta kepada anak jangan hendaknya menyebabkan lupa kepada Allah; cinta kepada Allah dan Rasulnya harus melebihi cinta kepada apa pun. Jika memang cinta kepada anak, didiklah anak sebaik-baiknya, sedini mungkin.

Orang tua mendidik anaknya karena kewajaran, karena kodratnya; selain itu karena cinta. Mengingat uraian di atas, maka secara sederhana tujuan pendidikan anak di dalam keluarga ialah agar anak itu menjadi anak yang saleh. Anak yang saleh itulah anak yang wajar dibanggakan. Tujuan lain ialah sebaliknya, yaitu agar anak itu kelak tidak menjadi musuh orang tuanya, yang akan mencelakakan orang tuanya. Anak yang saleh dapat mengangkat nama baik orang tuanya. Anak adalah dekorasi keluarga. Anak yang saleh tentu mendoakan orang tuanya. Bila tidak mendoakan orang tuanya, kesalehannya itu telah cukup merupakan bukti amal baik orang tuanya.

Anak dapat juga menjadi musuh orang tuanya. Itu dapat saja terjadi bila anak tidak dididik dengan benar. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani, Rasulullah saw. berkata:
“Bukanlah musuhmu orang yang bila kamu bunuh, kamu akan menjadi pemenang; dan kalau kamu terbunuh, kamu akan masuk surga; tetapi musuhmu terkadang adalah anak yang lahir dan tulang rusukmu sendiri. Kemudian musuhmu yang paling berat ialah harta bendamu sendiri.”

Anak yang menjadi musuh orang tuanya ialah anak yang durhaka. Anak seperti ini biasanya tidak mau mendengarkan nasihat orang tuanya. Mungkin ia diam tatkala diberi nasihat, tetapi nasihat itu masuk dan telinga kiri dan keluar dan telinga kanan, tidak ada bekasnya. Ia berani melawan orang tuanya, menyakitinya, bahkan membunuhnya. Dalam surat al-Taghabun ayat 14- 15 Allah berfirman:

“Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”

Saat memulai pendidikan agama rumah tangga, bila kita bertahan pada perlunya objek (peserta didik) dalam mendidik, maka pendidikan anak mestinya dimulai tatkala anak sudah ada. Anak itulah yang menjadi objek pendidikan tersebut. Akan tetapi, dalam Islam ternyata pendidikan anak harus dimulai jauh sebelum kelahirannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar