Senin, 21 Oktober 2013

Akreditasi VS Kejujuran

Sudah dua kali saya menyaksikan dan mengalami bagaimana sibuknya sebuah sekolah yang akan diakreditasi. Berbagai cara dilakukan agar semua yang tertulis dalam buku pedoman akreditasi bisa terpenuhi. Segala barang atau sarana prasarana yang harusnya sudah ada dari sebelum akreditasi, sebagai perlengkapan sekolah, justru diadakannya menjelang akreditasi tersebut.

Sebuah sekolah seolah takut sekali kalau nilai akreditasinya "kurang" nanti peminat sekolahnya berkurang atau bahkan tidak ada lagi. Tentu perasaan itu sah-sah saja kalau jalan yang ditempuh benar. Tapi, kenyataannya yang terjadi saat ini, akreditasi menjadi ajang pembohongan dan kebohongan besar-besaran. Yang berbohong tidak tanggung-tanggung, dari mulai kepala sekolah, guru-guru, karyawan, OB sampai anak-anak didiknya sendiri diajak bersekongkol untuk berbohong. Na'udzubillahi min dzaalik...

Sebenarnya hakikat akreditasi-semestinya- menilai yang sudah ada dan sudah berjalan, bukan menilai yang diada-adakan. Adapun kalau ada kekurangan-kekurangan baik dari sisi manajerial, administrasi, sarana prasarana dan lain sebagainya, justru itu akan menjadi rekomendasi assesor sebagai bahan perbaikan bagi sekolah yang dimaksud. Makanya, semestinya normal saja seperti keadaan biasa yang memang semestinya berjalan. 

Delapan standar nasional pendidikan adalah pedoman yang harus terus dijadikan arah pembenahan dan pemenuhan kebutuhan sekolah dari waktu ke waktu. Sekolah mestinya mempunyai loker khusus untuk menyimpan administrasi dari masing-masing standar yang sudah ditetapkan, dengan bukti fisik yang harus senantiasa terjaga. Mau ada akreditasi ataupun tidak kedelapan standar ini harus selalu siap untuk dilihat, ditinjau atau diambil ketika diperlukan. Jadi, tidak perlu adanya lembur-lembur hanya untuk mempersiapkan kebohongan dalam rangka mencapai nilai bohong tertinggi atau kebohongan dengan nilai A kalau perlu A plus. Hehehe... jadi lucu Soddara Soddara...

Inilah ironi-nya. Sekolah yang merupakan salah satu pengawal moral anak bangsa sudah mengorbankan nilai-nilai kebenaran untuk mendapatkan nilai di atas kertas. Di antara nilai kebenaran itu adalah nilai kejujuran. Memang, banyak lembaga sekolah kita (baca: orang-orangnya) saat ini yang sudah lupa hakikat sebuah pembelajaran atau tujuan sebuah lembaga pendidikan. Penanaman nilai-nilai karakter akhirnya hanya jadi bualan saja tanpa bukti yang nyata. Lebih tragis lagi mereka yang bersekongkol itu adalah orang-orang yang paham agama dan paham hukum suatu perbuatan. Maka, kalau sudah begitu, dimanakah keteladanan para guru dan pengelola pendidikan. Pantas saja kalau selama ini nilai-nilai kebaikan yang disampaikan kepada anak-anak tidak membekas sama sekali. Karena kitanya (guru-guru) banyak yang tidak pantas untuk diteladani. Kita terlalu sering mengatakan sesuatu yang kita sendiri tidak melakukannya.

Tentang hal ini kita bisa menemukannya dalam firman Allah Surah Ash-Shaf yang intinya memfirmankan : "Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan? Amat besar kemurkaan Allah karena kamu mengatakan sesuatu (perbuatan) yang tidak kamu lakukan." Kita menyuruh anak-anak jujur tapi kita sendiri tidak jujur. Maka, apa yang kita sampaikan sebenar apapun itu ia tidak akan membawa efek perubahan apapun.

Belum lagi yang menambah parah "kejahatan" ini adalah "risywah" atau suap yang diberikan oleh pihak sekolah kepada assesor agar prosesnya lancar, tidak berbelit-belit dan mendapat nilai sesuai dengan yang diharapkan. Kalau perlu bahkan assesor dan tim dijamu saja dengan makanan yang serba enak agar mereka merasa berhutang budi, kekenyangan dan malas untuk memeriksa secara detil ragam pointer akreditasi. 

Inilah kenyataan, mungkin masih banyak di tempat-tempat lain. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa yang mebuat berjalan sebuah lembaga pendidikan itu karena Allah SWT sendiri yang menjalankannya. Yang paling penting bagi kita yang berada di lembaga pendidikan adalah menyiapkan sebuah lembaga pendidikan yang lengkap sesuai dengan kebutuhan dan dana yang dimiliki, sepanjang waktu. Bukan karena alasan akreditasi atau karena akan ada pengawas. Layani orang tua dan anak-anak mereka dengan pendidikan yang prima. Beri mereka pendidikan terbaik. Kerahkan semua kemampuan untuk mencapai tujuan pendidikan tertinggi, di antaranya menjadikan anak-anak yang beriman, bertaqwa, terampil dan dewasa dalam bertindak dan tentunya menjadi anak yang shalih dan shalihah. Hindari perbuatan-oerbuatan tercela yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang guru yang seharusnya menjadi teladan atau uswah dalam hal kebaikan. Wallahu a'lam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar