Sabtu, 30 November 2013

Melukis Matahari (6)

Aku tidak pernah mengira, kehidupanku akan sekeras ini. Entah berapa telaga air mata yang sudah aku tumpahkan. Tapi, semua itu telah menjadikanku lebih kuat mengarungi kerasnya hidup ini. Aku sempat menjadi begitu rapuh. Kemarahan seolah menjadi bagian dari keseharianku saat itu. Marah yang aku konversi menjadi air mata. Aku tidak mau marahku menyebabkan kerusakan bagi siapapun. Biarkan aku dan Tuhan saja yang tahu betapa gulananya hati ini. Betapa terlukanya jiwa ini. Betapa hancur remuknya diri nan merasa terhina ini. Badan kurusku bertambah kurus, tinggal kulit yang membalut tulang tanpa daging. Muka kucel, kumel, dan kusut menjadi hiasan menambah jeleknya diri yang sedang dirundung berjuta nestapa kala itu.

Untung, keterpurukan itu pada akhirnya membuahkan kesadaran diri yang tidak pernah aku miliki sebelumnya. Aku mulai sadar dan tambah sadar sepenuhnya, bahwa tidak ada satu pernikahan pun yang terbebas dari kerikil tajam yang akan merintangi. Setelah sebuah pengakuan yang hampir membuat jantungku copot, aku mulai sadar bahwa semua keputusan hidup ini semuanya ada di tangan Allah SWT. Berupaya menjadi lebih baik adalah hak kita setiap insan yang Dia beri nyawa. Dan setelahnya kita tinggal punya satu senjata, tawakkal, berserah diri hanya kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Aku mulai ambil keputusan agar isteriku menjalani kehamilannya di kampung halamannya di Jawa Timur. Keputusan itu diambil semata untuk kebaikan semuanya. 

Mulai saat itu, jiwaku mulai mengalami perbaikan, pikiranku mulai jernih kembali, diriku mulai kuat menghadapi berbagai cobaan dan rintangan besar yang terus menghadang. Alhamdulillah... Aku mulai yakin sepenuhnya bahwa tidak ada bahagia yang bisa dialami seseorang, sekuat apapun, sekaya apapun, setampan atau secantik apapun, tanpa dia mengizinkan dirinya untuk bahagia. Aku meretas banyak kebijakan, mengumpulkan banyak hikmah dari pahitnya kehidupan yang aku rasakan. "Habis gelap terbitlah terang", mungkin itu kalimat yang pas untuk menggambarkan kehidupanku yang mulai pulih menemukan hakikatnya. 

Awalnya, sebelum semua itu terjadi, kehidupanku memang lurus-lurus saja. Tidak ada satu kejadian tak enak pun yang aku alami. Maka, begitulah jadinya, sok rasanya menghadapi cobaan itu, aku tidak siap saat itu. Aku sempat diidentifikasi orang-orang sebagai orang yang baik, tidak neko-neko, pendiam, dan lain sebagainya. Bahkan untuk sekedar nonton TV pun saat itu aku tidak pernah. Maka, wajar kalau kemudian muncul sebuah pertanyaan konyol,"Kenapa harus saya yang terkena cobaan ini?" yang mungkin pertanyaan itu tidak akan muncul saat ini. Karena sudah dengan sangat jelas Allah mengingatkan kepada kita bahwa tidak ada satupun orang yang mengaku beriman yang tidak akan diuji oleh Allah SWT. Nah, kalau ini sudah menjadi sebuah keniscayaan, kenapa aku harus risau, galau, gelisah, dan marah?  

Jumat, 29 November 2013

Iman dan Amal Shalih

Setiap manusia mempunyai kebutuhan untuk menjalani kehidupan ini. Kebutuhan akan makanan, minuman, air, udara, matahari, obat-obatan dan lain sebagainya. Akan tetapi ada kebutuhan yang lebih penting dari semua itu, ia lebih penting dibanding sekedar kebutuhan fisik material semata. Sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari hidup manusia, karena segala urusan tidak bisa berjalan baik tanpa keberadaannya. Dan apabila manusia tidak memilikinya maka ia akan rugi di dunia maupun di akhirat. Kebutuhan itu adalah kebutuhan iman. Karena, tanpa iman apapun yang kita lakukan di dunia ini, sebaik apapun amal kita dalam pandangan manusia ia tidak akan berarti tanpa hadirnya iman di dalam dadanya.

Iman menjadi ikatan dan pondasi penting bagi setiap muslim, baik dalam tataran ilmu, amal, maupun dakwah. Belakangan ini tentu kita menyaksikan dengan kasat mata, betapa virus-virus perusak iman sudah merasuk ke dalam diri, keluarga, dan rumah kita. Ia sudah sampai pada tahap yang sangat mengkhawatirkan. Betapa sering kita melihat saudara-saudara kita, anak-anak generasi penerus kita yang dengan sangat mudah mengikuti trend-trend kekinian yang disadari atau tidak sudah menurunkan kadar keimanannya. Banyak sekali godaan, syahwat, dan syubhat menyebar luas, serangan dan tantangan semakin besar, kesulitan dan krisis pun semakin berat.

Oleh karena itu, kita harus membekali diri dengan senjata keimanan dan aqidah yang benar. Karena, di bumi ini tak ada satupun kekuatan yang bisa menandingi kekuatan iman dan aqidah dalam menjamin keshalihan pribadi dan sosial. Ia adalah klep pengaman dari kekacauan, kekosongan jiwa, dan kehampaan rohani.

Kita membutuhkan generasi penerus yang memiliki senjata iman. Mereka hidup dengan dan untuk imannya. Iman menjadi mercusuar dalam ilmu dan amal, dalam senang dan sedih, dalam gundah dan tenang, dan menjadi undang-undang dalam mendidik dan memperbaiki. Mereka membersihkan imannya agar tidak terkontaminasi oleh kedzaliman dan syirik.

Kita harus yakin betul bahwa kehidupan yang nyaman, aman, tenteram, senang, tenang, dan bahagia tidak akan bisa kita raih tanpa iman dan amal shalih. Allah SWT berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيوةً طَيّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَاكَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Artinya:
"Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang sebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (Q.S. An-Nahl : 97)

Begitupun dalam Surah Al-An'am ayat 82, Allah SWT menegaskan bahwa orang-orang yang beriman dengan keimanan yang murni tanpa dicampuradukkan dengan kemusyrikan maka ia akan memperoleh kehidupan yang aman dan mendapat petunjuk dari Allah SWT.

Iman tanpa amal shalih tentu kosong. Begitu juga amal shalih tanpa iman menjadi tidak berarti dalam pandangan Allah SWT. Kedua-duanya harus senantiasa berjalan beriringan. Dan Allah menegaskan hal ini dengan selalu menggandengkan penyebutan iman dan amal shalih dalam firman-firman-Nya. Oleh karenanya, pengertian iman yang sesungguhnya tidak hanya sekedar yakin dan percaya tapi ia harus termanifestasi dalam tingkah laku dan amal perbuatan kita. Iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan kita. Inilah iman yang sesungguhnya.

Iman dan amal shalihlah yang akan menemani kita saat kita meninggal, masuk ke alam kubur hingga hari kiamat nanti. Harta yang melimpah, rumah yang indah, mobil yang mewah, tanah yang luas terbentang, angka-angka yang panjang di deposito bank kita, semua itu tidak akan menemani kita di alam kubur. Alih-alaih menjadi kebaikan, bisa jadi kekayaan hanya akan memberatkan hisab kita nanti di akhirat. Sebaliknya di tangan orang yang beriman, seluruh kekayaan justru akan menjadi kebaikan yang akan mendorong dia masuk ke dalam surganya Allah SWT. 

Oleh karena itu, mari kita tata kembali iman kita. Perbaharui iman kita setiap hari dengan mengucapkan Laa ilaaha illallah sebagai sebuah upaya penyadaran dan mempertebal iman kita. Agar iman kita jangan terdistorsi oleh kehidupan modern yang membawa nilai-nilai kebatilan, kemaksiatan dan upaya-upaya melawan hukum Allah SWT. Ingatlah selalu Allah dalam setiap waktu dan kesempatan, niscaya iman kita akan terus bertambah dan bertambah. Insya Allah...

Wallahu a'lam.

Minggu, 24 November 2013

Kriteria Guru yang Baik Menurut Al-Ghazali


Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali berpendapat bahwa guru yang dapat diserahi tugas mendidik adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya dengan prima.

Selain sifat-sifat umum yang harus dimiliki guru sebagaimana disebutkan di atas, seorang guru juga harus memiliki sifat-sifat khusus atau tugas-tugas tertentu sebagai berikut :

Pertama; Rasa kasih sayang. Sifat ini dinilai penting karena akan dapat menimbulkan rasa percaya diri dan rasa tenteram pada diri murid terhadap gurunya. Hal ini pada gilirannya dapat menciptakan situasi yang mendorong murid untuk menguasai ilmu yang diajarkan oleh seorang guru. Kasih sayang yang ditunjukkan oleh seorang guru akan menjadi motivasi yang besar bagi murid untuk menguasai pelajaran yang diajarkan. Sebaliknya, guru yang mengajar hanya sebatas melaksanakan tugas tanpa diiringi kasih sayang maka ia akan mengajar dengan semaunya, bahkan bisa jadi ia menggunakan cara-cara yang keras agar murid-murid mau melaksanakan tugas yang diberikannya.

Kedua; Karena mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap orang alim (berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payah mengajarnya itu. Seorang guru harus meniru Rasulullah SAW. yang mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat bertaqarrub kepada Allah. Demikian pula seorang guru tidak dibenarkan minta dikasihani oleh muridnya, melainkan sebaliknya ia harus berterima kasih kepada muridnya atau memberi imbalan kepada muridnya apabila ia berhasil membina mental dan jiwa. Murid telah memberi peluang kepada guru untuk dekat pada Allah SWT. Namun hal ini bisa terjadi jika antara guru dan murid berada dalam satu tempat, ilmu yang diajarkan terbatas pada ilmu-ilmu yang sederhana, tanpa memerlukan tempat khusus, sarana dan lain sebagainya. Namun jika guru yang mengajar harus datang dari tempat yang jauh, segala sarana yang mendukung pengajaran harus diberi dengan dana yang besar, serta faktor-faktor lainnya harus diupayakan dengan dana yang tidak sedikit, maka akan sulit dilakukan kegiatan pengajaran apabila gurunya tidak diberikan imbalan kesejahteraan yang memadai. 

Menurut saya, ini bukan dikasih upah/gaji atau tidak, ini berkaitan erat dengan masalah mental guru itu sendiri. Keikhlasan dengan upah adalah dua hal yang tidak harus selalu dipertentangkan. Kita bisa melihat dari sudut pandang kepantasannya. Segala sesuatu tentu kembali kepada niat awalnya, kalau seorang guru mempunyai niat mengajar karena Allah dan Rasul-Nya maka ia akan mendapatkan bagian yang besar yang Allah berikan untuknya. Sebaliknya kalau niat awalnya mengajar semata-mata untuk harta yang ingin ia dapatkan, maka ia hanya akan mendapatkan harta/gaji yang ia inginkan, tidak lebih dari itu.

Ketiga; Seorang guru yang baik hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar di hadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum menguasai pelajaran yang sebelumnya. Ia juga tidak boleh membiarkan waktu berlalu tanpa peringatan kepada muridnya bahwa tujuan pengajaran itu adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT,. Dan bukan untuk mengejar pangkat, status dan hal-hal yang bersifat keduniaan. Seorang guru tidak boleh tenggelam dalam persaingan, perselisihan dan pertengkaran dengan sesama guru lainnya. Inilah fungsi pengarahan dan keteladanan yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru. Ia mempunyai tanggung jawab yang besar bukan hanya sebatas keterampilan untuk duniawi semata, tapi yang paling penting adalah memahamkan kepada anak tentang siap Tuhannya? Apa yang harus mereka lakukan dalam kaitannya sebagai hamba Allah? Seorang guru juga harus menanamkan kesadaran tentang eksistensi kita sebagai manusia. Dari manakah kita berasal? Sedang dimana saat ini kita berada? Dan akan kemana nanti kita kembali?

Keempat; Dalam kegiatan mengajar seorang guru hendaknya menggunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan sebagainya. Dalam hubungan ini seorang guru hendaknya jangan mengekspose atau menyebarluaskan kesalahan muridnya di depan umum, kerana cara itu dapat menyebabkan anak murid yang memiliki jiwa yang keras, menentang, membangkang dan memusuhi gurunya. Dan jika keadaan ini terjadi dapat menimbulkan situasi yang tidak mendukung bagi terlaksananya pengajaran yang baik.

Kelima; Seorang guru yang baik juga harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik di hadapan murid-muridnya. Dalam hubungan ini seorang guru harus bersikap toleran dan mau menghargai keahlian orang lain. Seorang guru hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang bukan keahliannnya atau spesialisasinya. Kebiasaan seorang guru yang mencela guru ilmu fiqih dan guru ilmu fiqih mencela guru hadis dan tafsir, adalah guru yang tidak baik. (Al-Ghazali, t.th:50)

Keenam;  Seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya itu. Inilah yang saat ini dikenal dengan Multiple Intelligences. Tidak ada murid yang bodoh atau kalah, semua anak pintar dan juara di bidangnya masing-masing. Dalam hubungan ini, Al-Ghazali menasehatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan batas kemampuan pemahaman muridnya, dan ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya, karena hal itu dapat menimbulkan rasa antipati atau merusak akal muridnya. (Al-Ghazali, t.th:51)

Ketujuh; Seorang guru yang baik adalah guru yang di samping memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, juga memahami bakat, tabiat dan kejiawaannya muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan usianya. Kepada murid yang kemampuannya kurang, hendaknya seorang guru jangan mengajarkan hal-hal yang rumit sekalipun guru itu menguasainya. Jika hal ini tidak dilakukan oleh guru, maka dapat menimbulkan rasa kurang senang kepada guru, gelisah dan ragu-ragu.

Kedelapan; Seorang guru yang baik adalah guru yang berpegang teguh kepada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikian rupa. Dalam hubungan ini Al-Ghazali mengingatkan agar seorang guru jangan sekali-kali melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip yang dikemukakannya. Sebaliknya jika hal itu dilakukan akan menyebabkan seorang guru kehilangan wibawanya. Ia akan menjadi sasaran penghinaan dan ejekan yang pada gilirannya akan menyebabkan ia kehilangan kemampuan dalam mengatur murid-muridnya. Ia tidak akan mampu lagi mengarahkan atau memberi petunjuk kepada murid-muridnya. Oleh karenanya, kesesuaian antara perkataan dan perbuatan dari seorang guru itu mutlak adanya. Lakukan apa yang dikatakan, katakan apa yang dilakukan.

Inilah kedelapan kriteria seorang guru yang yang pantas untuk menjadi seorang pendidik yang baik menurut Al-Ghazali yang tentunya masih sangat relevan dengan teori-teori modern sekalipun. Semoga bisa kita jadikan bahan renungan buat kita semua, terutama yang berprofesi sebagai guru. Aamiin...

Wallahu a'lam...

Sabtu, 23 November 2013

Menjadi Guru Jempolan (2-Habis)


4. Contribution (Kontribusi); Mengajar pada dasarnya adalah berbagi ilmu. Maka kontribusi utama  seorang guru adalah memberi kontribusi untuk kebaikan anak didiknya di masa yang akan datang. Akan tetapi sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas, seorang guru tidaklah hanya terpaku untuk memberi kontribusi kepada peserta didiknya saja di sekolah, ia juga harus bisa memberi warna kepada lingkungan masyarakat yang lebih luas. Karena biasanya seorang guru tidak hanya menjadi tokoh panutan di sekolah saja, tapi ia juga merupakan tokoh panutan untuk masyarakat dimana ia tinggal. Guru yang baik tentu akan senantiasa berpikir manfaat apa yang dapat ia berikan untuk orang lain. Bagaimana memberi manfaat kepada lingkungan, baik lingkungan kecil maupun lingkungan dalam scop yang lebih besar. Karena "Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling banyak manfaatnya untuk orang lain." Itulah yang disinyalir oleh Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya. Hal ini meniscayakan seorang guru untuk terus berlomba memberikan yang terbaik kepada pihak yang berhubungan dengannya. 

5. Class Sample (Menjadi contoh di kelas); Guru merupakan sosok yang diguru dan ditiru. Guru adalah uswah atau teladan bagi para peserta didiknya. Sekecil apapun yang dilakukan oleh seorang guru, ini akan menjadi sebuah model yang akan diikuti oleh anak-anak. Baik buruknya perilaku anak sedikit banyak juga dipengaruhi oleh keteladanan kita di hadapan mereka. Maka, kehati-hatian dalam berucap dan bertingkah laku mutlak harus dipegang. Kita dituntut untuk berbuat sejujurnya dalam perilaku keseharian kita, jangan sampai apa yang kita katakan tidak sesuai dengan apa yang kita lakukan. Atau jangan sekali-kali kita bermuka dua, di depan anak-anak kita kalem, baik, shalih, tapi di luar itu kita menjadi seseorang yang serampangan. 
Mengapa demikian?
Karena ternyata, kalau apa yang kita katakan tidak sesuai dengan apa yang kita lakukan, biasanya kata-katanya akan terasa tumpul dan tidak bertenaga. Ia akan menyampaikannya dengan setengah hati. Sebagai contoh, seorang guru yang menganjurkan anak-anak didiknya untuk rajin membaca Al-Qur'an setiap hari sedangkan dia sendiri tidak pernah baca Qur'an, maka kata-katanya akan terasa hambar di mata mereka. Karenanya, Allah mengingatkan kepada kita dengan sebuah pertanyaan retoris: "Wahai orang-orang yang beriman, mengapakah kalian mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan? Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah kalau kalian mengatakan apa yang tidak kalian lakukan." Na'udzubillah. Dari itulah muncullah sebuah ungkapan "Lakukan apa yang kamu katakan, katakan apa yang kamu lakukan."

Wallahu a'lam... 

Sabtu, 16 November 2013

Menjadi Guru Jempolan (1)

Seorang guru merupakan figur yang punya pengaruh besar kepada anak didiknya. Bahkan, kita sering mendengar banyak anak yang kurang mendengar kata-kata orang tuanya tapi lebih mendengar kata-kata gurunya. Ini membuktikan bahwa pengaruh guru begitu besar. Oleh karena itu, janganlah anggap sepele peran kita. Kita harus mengupayakan agar apa yang kita lakukan betul-betul membawa nilai positif bagi anak didik kita. Apa yang kita tampilkan juga harus memberi kesan yang mendalam bagi peserta didik, bukan hanya untuk saat ini saja, tapi mungkin sampai kapanpun kesan itu akan tetap terbawa.



Agar peran kita sebagai guru bisa maksimal, paling tidak ada 5 hal yang harus kita perhatikan dalam mendidik anak-anak didik kita. Agar lebih mudah dihafal, lima hal tersebut bisa kita singkat menjadi 5 C.
  1. Casing (Penampilan); Seorang guru merupakan “model” bagi siswanya, maka tidak heran bila sebagian siswa menilai positif bagi guru yang berpenampilan rapi dan menarik. Dengan selalu menggunakan busana dan mengenakan penampilan yang bersahaja sebagai figur yang diteladani dari segala aspek. Sehingga siswa akan merasa nyaman ketika belajar dengan guru tersebut. Selain pakaian, seorang guru juga harus selalu memperhatikan - dalam bahasa Aa Gym disebut sebagai - 5 S yaitu senyum, salam, sapa, sopan, santun. Seorang guru harus murah senyum dan selalu mengucapkan salam ketika bertemu siapapun hatta kalau ia bertemu dengan anak didiknya. Sapalah anak-anak dengan hangat dan upayakan menyapa dengan menyebut namanya. Selain itu, agar penampilannya memikat, seorang guru juga harus berprilaku sopan dan juga santun.
  2. Communication (Komunikasi); Guru yang baik tentu punya kemampuan komunikasi yang baik dengan anak didiknya. Pendidikan adalah komunikasi, artinya dalam proses mendidik terlibat dua komponen dimana guru sebagai komunikator dan peserta didik sebagai komunikan. Pembelajaran akan efektif kalau dalam pelaksanaannya dilakukan dengan komunikatif. Dalam bahasa Al-Qur'an kita mengenal beberapa kriteria bahasa komunikasi yang baik yang harus kita miliki terutama sebagai seorang guru. 1) Qoulan sadiida (kata-kata yang benar); dalam berkomunikasi seorang guru harus memastikan bahwa kata-kata yang dia ucapkan benar adanya. Tidak mengada-ada, apalagi berbohong. 2) Qoulan kariima (kata-kata yang mulia); seorang guru harus mampu menyampaikan materi ajarnya dengan kata-kata yang baik dan mulia. Kata-katanya tidak memojokkan, melecehkan, apalagi menghina anak. Ia harus mencerminkan bahwa apa yang ia ucapkan patut ditiru oleh anak didiknya. 3) Qoulan layyina (kata-kata yang lemah lembut); bagi seorang guru pantang mengucapkan kata-kata kasar sejengkel apapun dia dengan kondisi anak atau situasi yang terjadi di dalam kelas. Ia harus tetap lemah lembut dan memperlakukan peserta didik dengan penuh kasih sayang. 4) Qoulan maisuura (kata-kata yang mudah dipahami); seringkali muncul dalam diri kita sebagai seorang guru ingin menunjukkan superioritas kita kepada anak-anak. Kadang terlintas dibenak kita untuk menunjukkan bahwa kita ini mempunyai ilmu yang banyak dan lebih dari anak-anak. Sehingga kita menunjukkannya dengan bahasa pengajaran yang "sok ilmiah", banyak bahasa-bahasa yang sulit dipahami. Padahal, hakikatnya seorang guru itu mengajar dalam rangka memberi pemahaman kepada anak didik, maka yang ia sampaikan semestinya bahasa yang mudah dipahami sesuai dengan tingkat kemampuan para peserta didik. 5) Qoulan Tsaqiila (kata-kata yang berbobot); artinya, apa yang disampaikan seorang guru itu haruslah sesuatu yang penting, tidak hanya sekedar kata-kata tanpa arti dan tidak ada gunanya. Kata-kata seorang guru harus penuh hikmah dan pelajaran untuk digunakan anak dalam keseharian dan dalam menjalani hidupnya di masa yang akan datang. 6) Qoulan Baliigha (kata-kata yang menyentuh); perkataan seorang guru jangan sebatas bagus di mulut saja, tapi ia juga harus bisa menyentuh ke dalam hati anak. Sehingga apa yang disampaikan bisa memberikan efek positif  dan membawa perubahan yang baik bagi anak-anak.
  3. Competention (Kompetensi); Menurut penjelasa Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 tentang Standart Nasional Pendidikan, 4 kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah :
        1) Kompetensi Pedagogik : Merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi:
  • Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan
  • Pemahaman terhadap peserta didik
  • Pengembangan kurikulum / silabus
  • Perancangan pembelajaran
  • Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis
  • Evaluasi hasil belajar
  • Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya

        2) Kompetensi Kepribadian, Merupakan kemampuan kepribadian yang meliputi:
  • Mantap
  • Dewasa
  • Stabil
  • Arif dan bijaksana
  • Berwibawa
  • Berakhlak mulia
  • Menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat
  • Mengevaluasi kinerj sendiri
  • Mengembangkan diri secara berkelanjutan

      3) Kompetensi Sosial, merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk :
  • Berkomunikasi lisan dan tulisan
  • Menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional
  • Bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik
  • Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar

      4) Kompetensi Profesional, merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan
           mendalam yang meliputi:
  • Konsep, struktur, metode keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar
  • Materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah
  • Hubungan konsep antar pelajaran terkait
  • Penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari
  • Kompetensi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
Demikian pembahasan kita untuk saat ini, masih ada 2 hal lagi yang belum dibahas, insya Allah kita berjumpa pada pembahasan berikutnya.

Bersambung....

Next... Menjadi Guru Jempolan (2 - tamat).

Selasa, 12 November 2013

Agar Tidak Malas Belajar


"Orang yang sukses adalah orang yang mampu mempertahankan semangatnya dikala orang lain hilang semangatnya".
********

"Pak saya pengen deh berubah jadi rajin," ujar salah seorang siswa saya di chatting facebook.

Saya jawab,"Gampang Nak...."

"Gimana?" Telisik dia lebih jauh.

"Berubahlah jadi rajin..." jawab saya mengikuti gaya Pak Mario Teguh. hehe...

"Iya caranya?" Timpal dia penasaran.

Itulah cuplikan percakapan saya yang terjadi tadi sore. Saya pikir pertanyaan ini mewakili banyak anak yang selama ini mempunyai masalah dalam belajar dan nilai yang didapatkan baik pada ulangan harian, UTS maupun UAS. Karena semalas apapun anak sebenarnya ia juga pasti ingin mempunyai prestasi seperti teman-temannya. Ingin memberi kebanggaan buat orang tua dan orang-orang terdekatnya. Akan tetapi kadang tidak sedikit anak yang memang ditumpulkan daya rajinnya oleh banyak hal. Bisa karena gaya mengasuh orang tua yang kurang tepat, pergaulan dengan anak-anak lain yang memang malas, atau karena guru yang kurang mampu memberi motivasi kepada anak didiknya.

Nah, kembali kepada tips/cara bagaimana agar seorang anak menjadi rajin belajar dan meninggalkan budaya malas. Tentu masing-masing orang punya tips atau pendapat sendiri mengenai cara agar menjadi rajin dalam belajar. Saya akan menyampaikan beberapa cara yang mungkin bisa diterapkan oleh kita atau anak-anak didik kita agar tidak malas belajar dan tumbuh rasa ingin belajarnya.

Dalam menjalani masa pendidikan, belajar kadang merupakan satu rutinitas yang menimbulkan rasa malas dan bosan untuk tetap konsisten melakukannya. Banyak faktor yang mempengaruhi mood belajar, baik itu faktor lingkungan, pikiran, maupun kata motivasi dari orang tua.

Kita sendiri sebagai seorang yang masih harus meneruskan sekolah hendaknya memiliki kemauan yang kuat untuk belajar. Nah berikut ini beberapa cara agar tidak malas belajar yang dapat kamu coba.

A. Dengan mengubah cara belajar

Kalau selama ini kita menggunakan cara belajar yang monoton dan asal-asalan, maka cara-cara di bawah ini perlu kita coba. Dengan harapan kita bisa belajar dengan lebih baik.
  1. Berdo'a; segala sesuatu akan lebih baik jika kita awali dengan membaca do'a. Karena dengan do'a insya Allah kita akan merasa lebih tenang, lebih konsentrasi dan lebih siap untuk belajar. 
  2. Mengubah susunan ruang belajar; suasana yang monoton bisa menjadi salah satu sebab kita malas belajar. Ada baiknya untuk mengubah letak buku atau meja belajar kita agar kelihatan lebih fresh. Mungkin yang tadinya menghadap ke utara diubah menjadi ke selatan atau sebaliknya. Yang tadinya menghadap timur kita ubah menjadi ke barat atau sebaliknya. Tentu dengan tetap mengutamakan kenyamanan kita.
  3. Berganti posisi belajar; kalau biasanya kita belajar sambil duduk, mungkin patut dicoba untuk berpindah ke ruang lain dan sambil berdiri atau jalan-jalan dengan tetap membaca buku. Namun hindari belajar sambil berbaring karena akan menyebabkan ketiduran dan juga merusak mata.
  4. Menyegarkan suasana belajar; rutinitas belajar dapat kita segarkan dengan menyediakan makanan ringan atau minuman seperti teh atau kopi untuk menyegarkan pikiran. Tapi, jangan sampai lupa niat utama kita adalah belajar. Karena sebagian kita dengan makanan dan minuman itu seringkali menjadi terlena, yang harusnya menjadi giat belajar malah belajarnya ditinggalkan. Akhirnya, yang masuk makanannya saja bukan pelajarannya. Hehehe... Bisa juga dengan mendengarkan musik dalam volume yang pelan.
  5. Menarik nafas panjang; ketika kita sudah bosan belajar sedangkan tugas dari sekolah masih menumpuk, maka selingilah dengan menarik nafas panjang melalui hidung dan hembuskan lewat mulut. Hal itu akan membuat pikiran kita segar kembali dan dapat meneruskan belajar.
  6. Akhiri dengan do'a; seperti pembukaan, kegiatan belajar dapat kamu akhiri dengan berdo'a agar apa yang dipelajari dapat meresap ke dalam hati dan pikiran.
B. Dengan meningkatkan motivasi belajar

Kadang di antara kita banyak yang sudah tahu bagaimana cara belajar yang baik, tapi karena motivasi yang kurang kuat ia tetap jadi pemalas. Oleh karenanya kita akan coba gali beberapa cara untuk meningkatkan motivasi belajar kita.
  1. Menanamkan kemauan dan niat yang tinggi untuk belajar. Jika di awal kita sudah mempunyai kemauan dan niatan yang tinggi maka kita akan menjalankan segala hal yang membuat kita senang belajar.
  2. Bergaullah dengan orang yang rajin belajar dan orang yang berprestasi. Bergaul dengan orang yang rajin belajar dan orang yang berprestasi mempunyai dampak yang positif. Kita bisa menganalogikannya orang yang bergaul dengan pandai besi atau penjual minyak wangi. Jika kita bergaul dengan pandai besi maka kita akan kecipratan bau bakaran besi. Sebaliknya jika kita bergaul dengan penjual minyak wangi maka akan kecipratan harum minyak wangi.
  3. Yakinlah, bahwa tidak ada orang malas yang sukses. Keyakinan ini perlu ditumbuhkan dengan melihat rekam jejak orang-orang sukses dalam hidupnya, bagaimana sampai mereka bisa berhasil. Sebaliknya kita juga harus coba memperhatikan bagaimana nasib orang-orang yang gagal dalam hidupnya, rata-rata mereka adalah orang yang tidak mau berjuang lebih kuat dalam hidup dan karirnya.
  4. Bayangkan, kalau kita punya prestasi maka orang-orang terdekat kita akan senang dan bangga. Gambaran ini harus terus dihadirkan dalam imajinasi kita, bagaimana senyum lebar orang tua kita, adik dan kakak kita, saudara-saudara kita, maupun tetangga kita seandainya kita sukses. Bayangkan dan terus hadirkan.
  5. Hitunglah, berapa banyak biaya yangg sudah dikeluarkan orang tua kita agar kita jadi anak yang pandai. Kalau kita malas berarti kita sudah menyia-nyiakan pengorbanan mereka. Sayang kan? Hitung dari mulai uang jajan kita setiap hari, SPP kita tiap bulan, biaya buku dan seragam. Belum lagi ketika kita masih kecil, berapa biaya melahirkan kita, susu yang dibeli orang tua kita dan seterusnya.
  6. Harus banyak baca buku maupun menonton film-film kisah orang-orang besar yang sukses, mulai dari Rasulullah, para sahabat, dan orang-orang yg sukses setelahnya. Tidak ada satupun dari mereka yang malas dan menyia-nyiakan waktu untuk sesuatu yg tidak berguna.
Itulah beberapa hal yang bisa saya ungkapkan di sini. Sekali lagi ini barangkali hanya sebagian tips saja dari sekian banyak tips yang bisa diberikan. Semoga bisa menjadi bahan renungan kita. 

Salam sukses sahabat!!!

Penghalang Kesuksesan (4 - tamat)

Penghalang #4 : Lingkungan yang Negatif

"Perumpamaan antara seorang teman yang saleh dengan seorang teman yang buruk itu bagaikan pembawa minyak kasturi dengan tukang pandai besi. Adapun pembawa minyak kasturi itu boleh jadi akan memberimu, atau engkau membeli darinya atau engkau akan mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan tukang pandai besi, boleh jadi akan membakar pakaianmu atau engkau akan mendapatkan bau busuk darinya." (HR. Bukhari & Muslim)

Hadits ini memberi perumpamaan yang begitu indah tentang bagaimana seorang teman atau sebuah lingkungan bisa berpengaruh besar bagi kita. Kalau teman dan lingkungan kita baik maka kita kemungkinan besar akan terbawa baik. Sementara kalau teman dan lingkungan kita tidak baik, maka berhati-hatilah karena itu akan mempengaruhi kita menjadi tidak baik. Hanya sebagian kecil orang saja barangkali yang bisa tetap bertahan menjadi orang-orang yang baik di lingkungan yang tidak baik.

Demikian pula dalam membangun kesuksesan kita. Lingkungan positif sangat kita perlukan dalam rangka membangun dan membangkitkan semangat kita agar terus menyala. Ketika berada di lingkungan positif, kita akan lebih termotivasi. Kita akan memiliki kekuatan baru untuk mencoba lagi dan lagi, ketika kita mengalami kegagalan. Kita akan merasakan kuatnya dorongan untuk maju lebih baik lagi dari kondisi kita saat ini. 

Sebaliknya, orang-orang yang berjiwa negatif akan menjatuhkan semangat kita pada posisi mereka berada. Setiap kita melakukan sesuatu, mereka akan mencemooh dan menjatuhkan semangat kita. Apalagi kalau kita mengalami kegagalan, mereka hanya akan menjadikan kita bahan tertawaan dan kita dipaksa untuk mengikuti argumen yang mereka bangun. Mereka pun akan mengatakan kalau kita tidak mungkin bisa mencapai apa yang kita inginkan dan meraih apa yang kita cita-citakan. Mereka akan mendukung argumentasi mereka dengan fakta-fakta negatif yang sedang terjadi, misalnya keadaan ekonomi yang sedang krisis, dimana-mana terjadi PHK, pendapatan yang tidak seberapa, prestasi akademik yang tidak menggembirakan, harga BBM yang melambung tinggi, dan lain sebagainya.

Sebuah sya'ir mengatakan :

"Janganlah engkau bertanya kepada seseorang tentang dirinya, tetapi bertanyalah tentang temannya, sebab setiap teman itu akan mengikuti orang yang ditemaninya."

Pada akhirnya, semua itu terserah kepada kita. Apakah kita mau tetap berada di lingkungan negatif, atau kita mau keluar dan mencari lingkungan yang positif. Semua konsekuensi terpulang kepada diri kita masing-masing. Tentu, bagi kita yang sudah istiqomah dalam menjalani kehidupan ini dan mempunyai kepribadian yang kuat dalam menghadapi semua badai negatif, kita bisa berada pada posisi yang memberi pengaruh dan bukan yang dipengaruhi. Kalau kita sulit mencari lingkungan yang baik, ciptakanlah lingkungan baik oleh kita sendiri. Berilah pengaruh positif kepada lingkungan kita. Raihlah sukses bersama yang lebih besar dari sukses yang sudah kita raih saat ini.

Selamat mencapai sukses. Mari berkolaborasi dan bersama meraih sukses kita bersama. Sampai bertemu di puncak kesuksesan.:)


Kamis, 07 November 2013

Penghalang Kesuksesan (3)

Penghalang #3: Malas
 
Rasa malas sejatinya merupakan sejenis penyakit mental. Siapa pun yang dihinggapi rasa malas akan kacau kinerjanya dan ini jelas-jelas sangat merugikan. Sukses dalam karir, bisnis, dan kehidupan umumnya tidak pernah datang pada orang yang malas. Rasa malas juga menggambarkan hilangnya motivasi seseorang untuk melakukan pekerjaan atau apa yang sesungguhnya dia inginkan.

Menurut (Edy Zaqeus: 2008) rasa malasa diartikan sebagai keengganan seseorang untuk melakukan sesuatu yang seharusnya atau sebaiknya dia lakukan. Masuk dalam keluarga besar rasa malas adalah menolak tugas, tidak disiplin, tidak tekun, rasa sungkan, suka menunda sesuatu, mengalihkan diri dari kewajiban,dll.

Pendapat lain menyebutkan bahwa malas juga merupakan salah satu bentuk perilaku negatif yang merugikan. Pasalnya pengaruh malas ini cukup besar terhadap produktivitas. Sesungguhnya, rasa malas adalah bisikan di antara sekian banyak bisikan setan yang masuk ke relung hati kita. Ia akan menjerumuskan kita ke jurang kehancuran yang tidak kita sadari semenjak awal. Jika sekali saja kita memberi peluang kepada diri untuk bermalas-malasan, maka yakinlah tubuh akan menuntut kesempatan kedua, ketiga, dan seterusnya. Suatu saat, ia akan menjadi suatu kebiasaan yang kita anggap lumrah dan biasa dalam hidup.

Kebiasaan negatif ini akan menjelma menjadi zona nyaman yang akan mengikat kita untuk terus berada di dalamnya. Akan diperlukan energi ekstra besar untuk menarik diri agara bisa keluar dari zona nyaman ini. Oleh karenanya, buanglah jauh-jauh kebiasaan malas. Ia akan menjerumuskan kita dari tujuan hidup yang sudah dicanangkan. Ia akan menjadi penghalang kesuksesan kita.

Kita diajarkan oleh Rasulullah SAW agar memperbanyak do'a agar kita terhindar dari sifat-sifat negatif, di antaranya sifat malas:

"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kemurungan dan kesusahan, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepada-Mu dari ketakutan dan kekikiran, dan aku berlindung kepada-Mu dari tekanan utang dan paksaan orang lain."

Agar kita lebih produktif dan bisa meraih sukses yang kita impikan, maka tak ada lain yang harus kita lakukan adalah mengusir rasa malas itu dari diri kita. Bagaimana caranya? Paling tidak ada 7 cara yang bisa kita lakukan untuk mengatasi rasa malas yang selalu menghantui kita: 
  1. Hidup terorganisir.
  2. Membuat "to-do" list (daftar kegiatan) setiap malam sebelum tidur.
  3. Selesaikan hal pertama yang ada di "to-do" list di pagi hari.
  4. Cek pakaian kita.
  5. Jadilah orang aktif dan sadar akan waktu.
  6. Selalu membawa notebook atau catatan.
  7. Tetapkan hari Minggu untuk bermalas-malasan.
Semoga kita terhindar dari sifat malas ini sehingga kita bisa menggunakan waktu dengan maksimal dan meraih kesuksesan tertinggi kita. Aamiin. Wallahu a'lam.

Next....  Penghalang Kesuksesan (4); [Penghalang #4: Lingkungan yang Negatif] 

Rabu, 06 November 2013

Penghalang Kesuksesan (2)

Penghalang #2: Takut Gagal

"Kegagalan pada hakikatnya bukanlah akhir dari sebuah perjalanan, tetapi ia adalah jembatan untuk melewati jalur tercepat menuju kesuksesan." (Imam Munadi)

Kata "gagal" memang sering menjadi momok yang menakutkan bagi siapapun yang mau memulai sesuatu. Bagi yang belum paham hakikat kegagalan, ini akan menjadi batu ganjalan yang besar dalam perjalanan menuju sukses. Padahal, sebenarnya kegagalan dan kesuksesan itu ibarat dua mata uang. Jadi, kalau begitu kegagalan itu ada bukan untuk ditakuti ataupun jadi penghalang, justru kita jadikan kegagalan itu sebagai kesempatan kita untuk belajar. Setiap kesuksesan besar pasti selalu didahului dengan kegagalan-kegagalan besar. Setiap kita pasti pernah gagal, dan hal itu sangat wajar dalam kehidupan. Yang terpenting adalah bagaimana sikap kita saat menghadapi kegagalan itu.

Ada orang yang mengambil hikmah dari kegagalan yang dialaminya sehingga ia bisa melakukan hal yang lebih baik. Ada juga orang yang terpuruk dan "terduduk lesu" saat ia mengalami kegagalan. Ia beranggapan bahwa ia memang tidak layak untuk jadi orang sukses. Perlu diingat kembali, bahwa, bukan berapa kali kita terjatuh, tapi berapa kali kita bangkit setelah kita terjatuh. 

Bahkan lebih ekstrim lagi barangkali, orang-orang sukses malah menjadikan kegagalan itu sebagai sebuah "keharusan". Apa sebab? Mereka mengatakan bahwa sukses tanpa kegagalan itu terasa hambar. Bagaikan masakan tanpa garam. Kesuksesan akan terasa begitu indah dan nikmaaat kalau kita sudah berulang kali gagal. Maka pada saat kegagalan demi kegagalan itu datang mereka sampai pada titik harapan yang begitu tinggi, hatinya menjeriiit.... Sampai pada satu pertanyaan: "Kapankah kesuksesan itu bisa saya raih?" Atau seperti yang dikatakan oleh Rasul dan para sahabatnya saat perjalanan dakwah begitu sulit dan banyak sekali rintangan, mereka menjerit, menghunjamkan do'a dan berkata: "Kapankah pertolongan Allah itu akan datang?" Setelah itu dilewati dan kemenangan serta kesuksesan itu datang nikmatnya tiada tara. Sungguh enak, sungguh indah, sungguh membahagiakan.

Tapi, itu pun bukan berarti kita harus sengaja "menggagalkan diri" atau "pura-pura gagal", kalau memang kita bisa mengantisipasi kegagalan itu lebih baik tentunya. Sepanjang di sana ada upaya, ikhtiar yang sungguh-sungguh dan perjuangan yang luar biasa. Kita tidak hasrus selalu gagal sebagaimana yang sudah dialami oleh orang lain. Justru dengan melihat orang lain gagal dalam satu bidang tertentu, kita bisa belajar dari kegagalan yang orang lain alami agar kita tidak mengalami kegagalan yang sama. Ibaratnya kita bisa melipat waktu agar sekian banyak kegagalan orang lain bisa kita pelajari untuk kemudian kita ambil ibrah dan  kita melakukan hal yang lebih baik. Kalau itu sudah bisa kita lampaui, maka tugas kita adalah bagaimana kita membuat sesuatu yang baru yang belum pernah dilakukan orang dan siap untuk meraih kesuksesan yang lebih besar walaupun harus mengalami kegagalan. Dan setelah itu kita bangkit sebagai sosok yang berbeda dan mempunyai nilai lebih dibanding orang lain.

Next... Penghalang Kesuksesan (3); [Penghalang #3: Malas]

Senin, 04 November 2013

Penghalang Kesuksesan (1)

Setiap kesuksesan tidak ada yang kita raih dengan gratis. Selalu ada harga yang harus dibayar. Harga kelelahan, harga kesabaran, harga rasa sakit, harga rasa terhina, dan harga yang lainnya. Andai kita kurang kuat mempersiapkan mental kita, maka bisa jadi kesuksesan hanya akan jadi impian belaka. Konsistensi sangat diperlukan dalam meraih kesuksesan tersebut. Karena selalu ada hambatan, rintangan, penghalang, dan musuh-musuh kesuksesan yang akan terus menghadang di hadapan kita. Penghalang-penghalang kesuksesan tersebut harus betul-betul kita kenali agar kita bisa segera mengantisipasinya.

Apa saja penghalang-penghalang kesuksesan tersebut? Paling tidak ada 4 kategori besar yang bisa menjadi penghalang sukses kita, yang tentunya harus kita kenali untuk kita hindari dan buang jauh-jauh.

Penghalang #1 : Alasan

Ini merupakan penjara mental yang sulit sekali ditembus bagi orang yang sudah terbiasa terkungkung di dalamnya. Menghalau alasan sangat berkaitan erat dengan mengalahkan atau melawan diri sendiri. Ia seringkali muncul ketika diri kita terjatuh dalam ketidakberdayaan. Alasan biasanya digunakan untuk melakukan pembenaran terhadap kegagalan atau kekalahan yang kita alami. Atau agar dia yang mengalami kegagalan, kekalahan, atau ketidakberdayaan itu tidak disalahkan lebih jauh oleh orang lain. Maka beralihlah dia ke "posisi aman" dengan cara membuat alasan.
Di antara sekian banyak alasan, ada 3 alasan yang sangat sering digunakan oleh mereka yang bermental gagal.Ketiga alasan itu adalah nasib, usia dan pendidikan. Ketika seseorang mengalami kejumudan dan stak dalam menjalani kehidupannya, baik dalam pekerjaan, gaji ataupun keluarga, kalau ia orang yang bermental kalah ia akan mengatakan,"ini memang sudah nasib saya." Padahal dia belum berjuang maksimal. Ingat, bahwa nasib baik akan terjadi pada diri kita ketika persiapan yang telah matang, bertemu dengan kesempatan yang datang.

Begitu pun dengan usia. Banyak di antara kita yang pasrah menjalani kehidupan yang apa adanya dengan alasan usianya sudah tua, tidak muda lagi, atau sudah bukan usia produktif lagi. Padahal, kalau kita berkaca pada orang-orang sukses, banyak di antara mereka yang menggapai suksesnya justru di saat usianya sudah tua (untuk tidak mengatakan udzur). Mungkin kita pernah dengar bagaimana Kolonel Harland Sanders sukses denga KFC-nya pada usia di atas 70 tahun. Di Indonesia kita mengenal sosok penulis sukses dan produktif Hernowo yang mulai menulis pada usia 40 tahun. Usia dimana sebagian orang mengatakan bahwa usia 40 tahun adalah puncak usia kesuksesan. Artinya, kalau di usia 40 tahun orang belum jadi apa-apa itu pertanda kalau dia tidak akan sukses. Ternyata mitos itu bisa dipatahkan.

Pendidikan. Ini juga sering sekali jadi alasan sebagian orang untuk tetap hidup biasa-biasa saja. Pendidikan memang jadi salah satu ukuran seseorang bisa lebih baik. Tapi juga, tingginya pendidikan seseorang tidak selalu berbanding lurus dengan kesuksesannya. Pendidikan tinggi tidak membuat sukses otomatis didapatkan. Sukses perlu perjuangan. Maka orang yang pendidikannya rendah tapi upayanya gigih untuk menggapai sukses dan dia mau belajar dari orang lain dan juga dari pengalaman, boleh jadi bisa lebih sukses dari orang berpendidikan tinggi tapi malas berupaya.

Next... Penghalang Kesuksesan (2) .[Penghalang #2 : Takut Gagal]

Sabtu, 02 November 2013

Gaya Kepemimpinan

Pada tulisan ini mungkin saya tidak bicara dengan bahasa manajemen ataupun leadership. Saya akan bicara apa yang saya alami dengan bahasa yang lugas saja, sesuai kemampuan saya. Entah ini disebutnya tentang kepemimpinan atau menajemen, atau memang keduanya saling berkaitan. Kayaknya sih saling berkaitan ya... Hehe...

Saya menyaksikan dua gaya kepemimpinan yang kontras antara dua lembaga yang ada dalam satu atap. Atap mana? Entahlah itu. Biarkan ia jadi misteri atau teka-teki bagi pembaca yang tidak mengetahuinya. Tapi, apapun itu, mudah-mudahan akan jadi ibrah dan contoh kongkrit yang akan membuat kita mawas diri dengan mengikuti/meneladani yang benar dan meninggalkan yang dirasa salah dan  tidak sreg.

Saudara-saudara sidang pembaca yang baik...
Pertama sekali saya mengalami kepemimpinan yang cukup demokratis dengan pembagian kerja yang lumayan proporsional. Beliau juga cukup tegas dalam menegakkan tonggak peraturan di sekolah. Namun, kekurangannya paket kepemimpinan ini cenderung "memusuhi" atau menjauhi pihak komite sekolah. Padahal salah satu kekuatan yang bisa dimanfaatkan untuk kemajuan sekolah adalah orang tua yang dalam hal ini diwakili oleh komite sekolah. Beliau menganggap orang tua (baca: komite) bisanya hanya menyalahkan apa yang menjadi kebijakan sekolah, tanpa melakukan pendekatan yang lebih intens guna menjadikan komite sebagai kekuatan dalam membangun sekolah yang berkualitas.

Setelah kepemimpinan ini berakhir, saya mempunyai harapan bahwa kepemimpinan berikutnya akan berjalan lebih baik dan lebih maju. Tapi ternyata, selain kebijakannya mencoba meniru kebijakan sebelumnya, paket yang ini juga cenderung peragu dalam hal membuat keputusan yang strategis dan tidak berani menawarkan sesuatu yang baru dan spektakuler. Maka, muncullah berbagai macam kritik yang kemudian menjadikan pemimpin masa ini menjadi cenderung emosional. Saya dan teman-teman dianggap tidak memperlakukan beliau secara manusiawi, karena segala keputusannya selalu dianggap salah. Nampaknya beliau sangat alergi terhadap kritik yang muncul, dan dianggap seolah menyudutkan beliau. 

Dalam melakukan pekerjaannya, lebih banyak memutuskan berbagai kebijakannya sendiri. Lebih tepatnya barangkali, beliau lebih mempercayai untuk membantunya kepada orang yang sebenarnya tidak termasuk dalam paket kepemimpinan beliau. Apa efeknya? Hal ini menimbulkan konflik batin yang luar biasa bagi seseorang yang ada dalam paket kepemimpinan itu, karena dia merasa dilangkahi oleh "wakil kepala" misterius tersebut. Pada akhirnya gejolak itu memakan korban. Dia yang merasa dikangkangi itu kemudian mundur teratur dan akhirnya meninggalkan sekolah ini. Padahal dia adalah salah satu senior yang merupakan aset besar sejarah sekolah ini.

Setelah satu "wakil" dalam paket kepemimpinan ini kosong, maka muncullah satu pengganti yang sebenarnya cukup mumpuni dalam bekerja tapi sangat lemah dalam kerja sama. Akhirnya, karena beliau merasa dirinya mampu menghandle semuanya maka muncullah jiwa rakus itu dalam dirinya. Yang terjadi berikutnya adalah, beliau seolah menjadi super woman yang bisa melakukan semuanya tanpa bantuan tim. Bahkan, sampai-sampai apapun yang dikatakan beliau menjadi titah yang harus dilaksanakan. Jadilah beliau seolah menjadi pengendali dari semuanya dan pelaku dari semuanya. Bayangkan, di sekolah ini, beliau pegang peran sebagai wakil kepala, wali kelas, sekretaris koperasi, pemegang tabungan, pengatur US-UN, bahkan banyak hal yang sebenarnya bukan tugas beliau tapi tetap saja diambil. Inilah yang saya sebut "bagus" dalam segi kerja, tapi buruk dalam kerja tim. Padahal, yang dibutuhkan dalam sebuah lembaga sebenarnya adalah pemimpin yang bisa menggerakkan bawahan sehingga bisa semua bisa bekerja dan bergerak secara otomatis tanpa harus dipaksa atau ditakut-takuti sanksi.

Gaya kepemimpinan yang seperti ini sebenarnya sangat rentan. Oke, ketika sang wonder women ini ada mungkin semua akan berjalan seperti baik-baik saja. Tapi, kenyataan pahitnya nanti akan dirasakan ketika sang pemimpin ini berhalangan maka akan terjadi chaos. Oleh karena itu, sebenarnya yang bagus adalah gaya kepemimpinan kolektif, di samping ia bisa menjadikan tim yang solid, juga akan memberikan banyak pelajaran berharga bagi siapapun yang masih awam dalam hal keorganisasian yang akan melahirkan regenerasi dan kaderisasi yang baik. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa melahirkan pemimpin baru yang siap untuk maju saat pemimpin yang ada saat ini sudah tidak menjabat lagi atau sudah tidak ada. 

Selain itu, mulailah muncul kebijakan-kebijakan yang macam-macam yang memunculkan kesan serem dan menakutkan. Muncullah sanksi ini dan itu tanpa mempertimbangkan adanya reward yang lebih manusiawi dan terkesan ramah. Ini tidak harus selalu berupa materi atau uang. Reward bisa berupa senyuman tulus, tepukan dipundak, ucapan selamat datang, selamat ulang tahun, ataupun hal-hal kecil yang menunjukkan keramahan dan perhatian yang besar dari pimpinan. Mau seperti apa lemga ini kedepan dengan gaya kepemimpinan seperti ini? Saya juga kurang tahu. Mudah-mudahan kedepan bisa lebih baik dan lebih maju.

Saya pun menyaksikan satu gaya kepemimpinan yang berbeda di seberang sana. Beliau memang tidak bisa hadir full dari pagi sampai sore. Beliau baru bisa datang biasanya sekitar jam 2 siang sampai jam 4 sore. Tapi, kehadirannya sepertinya selalu dirasakan oleh orang-orang yang ada di bawah kepemimpinannya. Perhatian dan tanggung jawabnya sangat kental terasa apalagi saat ada kegiatan sekolah. Beliau sangat ramah, peduli kepada bawahan, sangat egaliter, dan menjadi rekan kerja yang asyik bagi bawahannya. Walaupun sedikit kebersamaannya tapi kualitasnya bahkan melebihi pemimpin yang hadir secara full di sekolah. Saya pikir, beliau adalah teladan yang harus diikuti oleh siapapun yang ada di sekitarnya, apalagi oleh mereka yang memang dikader untuk menjadi penggantinya.

Wallahu a'lam...