Sabtu, 02 November 2013

Gaya Kepemimpinan

Pada tulisan ini mungkin saya tidak bicara dengan bahasa manajemen ataupun leadership. Saya akan bicara apa yang saya alami dengan bahasa yang lugas saja, sesuai kemampuan saya. Entah ini disebutnya tentang kepemimpinan atau menajemen, atau memang keduanya saling berkaitan. Kayaknya sih saling berkaitan ya... Hehe...

Saya menyaksikan dua gaya kepemimpinan yang kontras antara dua lembaga yang ada dalam satu atap. Atap mana? Entahlah itu. Biarkan ia jadi misteri atau teka-teki bagi pembaca yang tidak mengetahuinya. Tapi, apapun itu, mudah-mudahan akan jadi ibrah dan contoh kongkrit yang akan membuat kita mawas diri dengan mengikuti/meneladani yang benar dan meninggalkan yang dirasa salah dan  tidak sreg.

Saudara-saudara sidang pembaca yang baik...
Pertama sekali saya mengalami kepemimpinan yang cukup demokratis dengan pembagian kerja yang lumayan proporsional. Beliau juga cukup tegas dalam menegakkan tonggak peraturan di sekolah. Namun, kekurangannya paket kepemimpinan ini cenderung "memusuhi" atau menjauhi pihak komite sekolah. Padahal salah satu kekuatan yang bisa dimanfaatkan untuk kemajuan sekolah adalah orang tua yang dalam hal ini diwakili oleh komite sekolah. Beliau menganggap orang tua (baca: komite) bisanya hanya menyalahkan apa yang menjadi kebijakan sekolah, tanpa melakukan pendekatan yang lebih intens guna menjadikan komite sebagai kekuatan dalam membangun sekolah yang berkualitas.

Setelah kepemimpinan ini berakhir, saya mempunyai harapan bahwa kepemimpinan berikutnya akan berjalan lebih baik dan lebih maju. Tapi ternyata, selain kebijakannya mencoba meniru kebijakan sebelumnya, paket yang ini juga cenderung peragu dalam hal membuat keputusan yang strategis dan tidak berani menawarkan sesuatu yang baru dan spektakuler. Maka, muncullah berbagai macam kritik yang kemudian menjadikan pemimpin masa ini menjadi cenderung emosional. Saya dan teman-teman dianggap tidak memperlakukan beliau secara manusiawi, karena segala keputusannya selalu dianggap salah. Nampaknya beliau sangat alergi terhadap kritik yang muncul, dan dianggap seolah menyudutkan beliau. 

Dalam melakukan pekerjaannya, lebih banyak memutuskan berbagai kebijakannya sendiri. Lebih tepatnya barangkali, beliau lebih mempercayai untuk membantunya kepada orang yang sebenarnya tidak termasuk dalam paket kepemimpinan beliau. Apa efeknya? Hal ini menimbulkan konflik batin yang luar biasa bagi seseorang yang ada dalam paket kepemimpinan itu, karena dia merasa dilangkahi oleh "wakil kepala" misterius tersebut. Pada akhirnya gejolak itu memakan korban. Dia yang merasa dikangkangi itu kemudian mundur teratur dan akhirnya meninggalkan sekolah ini. Padahal dia adalah salah satu senior yang merupakan aset besar sejarah sekolah ini.

Setelah satu "wakil" dalam paket kepemimpinan ini kosong, maka muncullah satu pengganti yang sebenarnya cukup mumpuni dalam bekerja tapi sangat lemah dalam kerja sama. Akhirnya, karena beliau merasa dirinya mampu menghandle semuanya maka muncullah jiwa rakus itu dalam dirinya. Yang terjadi berikutnya adalah, beliau seolah menjadi super woman yang bisa melakukan semuanya tanpa bantuan tim. Bahkan, sampai-sampai apapun yang dikatakan beliau menjadi titah yang harus dilaksanakan. Jadilah beliau seolah menjadi pengendali dari semuanya dan pelaku dari semuanya. Bayangkan, di sekolah ini, beliau pegang peran sebagai wakil kepala, wali kelas, sekretaris koperasi, pemegang tabungan, pengatur US-UN, bahkan banyak hal yang sebenarnya bukan tugas beliau tapi tetap saja diambil. Inilah yang saya sebut "bagus" dalam segi kerja, tapi buruk dalam kerja tim. Padahal, yang dibutuhkan dalam sebuah lembaga sebenarnya adalah pemimpin yang bisa menggerakkan bawahan sehingga bisa semua bisa bekerja dan bergerak secara otomatis tanpa harus dipaksa atau ditakut-takuti sanksi.

Gaya kepemimpinan yang seperti ini sebenarnya sangat rentan. Oke, ketika sang wonder women ini ada mungkin semua akan berjalan seperti baik-baik saja. Tapi, kenyataan pahitnya nanti akan dirasakan ketika sang pemimpin ini berhalangan maka akan terjadi chaos. Oleh karena itu, sebenarnya yang bagus adalah gaya kepemimpinan kolektif, di samping ia bisa menjadikan tim yang solid, juga akan memberikan banyak pelajaran berharga bagi siapapun yang masih awam dalam hal keorganisasian yang akan melahirkan regenerasi dan kaderisasi yang baik. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa melahirkan pemimpin baru yang siap untuk maju saat pemimpin yang ada saat ini sudah tidak menjabat lagi atau sudah tidak ada. 

Selain itu, mulailah muncul kebijakan-kebijakan yang macam-macam yang memunculkan kesan serem dan menakutkan. Muncullah sanksi ini dan itu tanpa mempertimbangkan adanya reward yang lebih manusiawi dan terkesan ramah. Ini tidak harus selalu berupa materi atau uang. Reward bisa berupa senyuman tulus, tepukan dipundak, ucapan selamat datang, selamat ulang tahun, ataupun hal-hal kecil yang menunjukkan keramahan dan perhatian yang besar dari pimpinan. Mau seperti apa lemga ini kedepan dengan gaya kepemimpinan seperti ini? Saya juga kurang tahu. Mudah-mudahan kedepan bisa lebih baik dan lebih maju.

Saya pun menyaksikan satu gaya kepemimpinan yang berbeda di seberang sana. Beliau memang tidak bisa hadir full dari pagi sampai sore. Beliau baru bisa datang biasanya sekitar jam 2 siang sampai jam 4 sore. Tapi, kehadirannya sepertinya selalu dirasakan oleh orang-orang yang ada di bawah kepemimpinannya. Perhatian dan tanggung jawabnya sangat kental terasa apalagi saat ada kegiatan sekolah. Beliau sangat ramah, peduli kepada bawahan, sangat egaliter, dan menjadi rekan kerja yang asyik bagi bawahannya. Walaupun sedikit kebersamaannya tapi kualitasnya bahkan melebihi pemimpin yang hadir secara full di sekolah. Saya pikir, beliau adalah teladan yang harus diikuti oleh siapapun yang ada di sekitarnya, apalagi oleh mereka yang memang dikader untuk menjadi penggantinya.

Wallahu a'lam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar