Sabtu, 30 November 2013

Melukis Matahari (6)

Aku tidak pernah mengira, kehidupanku akan sekeras ini. Entah berapa telaga air mata yang sudah aku tumpahkan. Tapi, semua itu telah menjadikanku lebih kuat mengarungi kerasnya hidup ini. Aku sempat menjadi begitu rapuh. Kemarahan seolah menjadi bagian dari keseharianku saat itu. Marah yang aku konversi menjadi air mata. Aku tidak mau marahku menyebabkan kerusakan bagi siapapun. Biarkan aku dan Tuhan saja yang tahu betapa gulananya hati ini. Betapa terlukanya jiwa ini. Betapa hancur remuknya diri nan merasa terhina ini. Badan kurusku bertambah kurus, tinggal kulit yang membalut tulang tanpa daging. Muka kucel, kumel, dan kusut menjadi hiasan menambah jeleknya diri yang sedang dirundung berjuta nestapa kala itu.

Untung, keterpurukan itu pada akhirnya membuahkan kesadaran diri yang tidak pernah aku miliki sebelumnya. Aku mulai sadar dan tambah sadar sepenuhnya, bahwa tidak ada satu pernikahan pun yang terbebas dari kerikil tajam yang akan merintangi. Setelah sebuah pengakuan yang hampir membuat jantungku copot, aku mulai sadar bahwa semua keputusan hidup ini semuanya ada di tangan Allah SWT. Berupaya menjadi lebih baik adalah hak kita setiap insan yang Dia beri nyawa. Dan setelahnya kita tinggal punya satu senjata, tawakkal, berserah diri hanya kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Aku mulai ambil keputusan agar isteriku menjalani kehamilannya di kampung halamannya di Jawa Timur. Keputusan itu diambil semata untuk kebaikan semuanya. 

Mulai saat itu, jiwaku mulai mengalami perbaikan, pikiranku mulai jernih kembali, diriku mulai kuat menghadapi berbagai cobaan dan rintangan besar yang terus menghadang. Alhamdulillah... Aku mulai yakin sepenuhnya bahwa tidak ada bahagia yang bisa dialami seseorang, sekuat apapun, sekaya apapun, setampan atau secantik apapun, tanpa dia mengizinkan dirinya untuk bahagia. Aku meretas banyak kebijakan, mengumpulkan banyak hikmah dari pahitnya kehidupan yang aku rasakan. "Habis gelap terbitlah terang", mungkin itu kalimat yang pas untuk menggambarkan kehidupanku yang mulai pulih menemukan hakikatnya. 

Awalnya, sebelum semua itu terjadi, kehidupanku memang lurus-lurus saja. Tidak ada satu kejadian tak enak pun yang aku alami. Maka, begitulah jadinya, sok rasanya menghadapi cobaan itu, aku tidak siap saat itu. Aku sempat diidentifikasi orang-orang sebagai orang yang baik, tidak neko-neko, pendiam, dan lain sebagainya. Bahkan untuk sekedar nonton TV pun saat itu aku tidak pernah. Maka, wajar kalau kemudian muncul sebuah pertanyaan konyol,"Kenapa harus saya yang terkena cobaan ini?" yang mungkin pertanyaan itu tidak akan muncul saat ini. Karena sudah dengan sangat jelas Allah mengingatkan kepada kita bahwa tidak ada satupun orang yang mengaku beriman yang tidak akan diuji oleh Allah SWT. Nah, kalau ini sudah menjadi sebuah keniscayaan, kenapa aku harus risau, galau, gelisah, dan marah?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar