Minggu, 29 April 2012

Mempertanyakan Kredibilitas Pembuat LKS

Lembar Kerja Siswa (LKS) saat ini sedang menjadi sorotan. Betapa tidak LKS yang beredar saat ini terindikasi bermasalah. Yang pertama kali ditemukan adalah LKS Bang Maman, maksudnya di dalam LKS ini terselip cerita tentang Bang Maman yang punya isteri simpanan. LKS ini dinilai bermasalah karena seolah mengajarkan kepada anak untuk berperilaku seperti Bang Maman yang punya isteri simpanan atau isteri gelap. Hal ini tentu tidak sesuai dengan nilai karakter yang hendak diajarkan dan didengungkan akhir-akhir ini. Belum reda permasalahan LKS "Bang Maman", tiba-tiba muncul lagi LKS yang berideologi komunis seperti yang terjadi di Sukabumi, Tangerang dan Sukoharjo.


Tentu hal ini membuat kita miris, apalagi sebagai orang tua dan pendidik. Saya mengira apa yang terjadi sekarang ini ibarat fenomena gunung es. Yang ditemukan memang baru sedikit, tapi saya yakin masih banyak lagi LKS bermasalah yang belum terungkap. Saat ini memang banyak orang yang mencoba-coba sambil menyelam minum air, menggunting dalam lipatan, mengambil keuntungan dengan menghancurkan orang lain. Apalagi yang akan dihancurkan ini adalah generasi penerus bangsa ini. Akan dibawa kemana Indonesia kita tercinta ini kalau generasinya sudah dikerdilkan? Bahkan sampai LKS saja yang notabene adalah media pembelajaran anak disisipi dengan racun-racun bagi kehidupan anak-anak kita. Nah, kalau sudah begini, yang dipertanyakan, siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini? Apakah Pemerintah, dalam hal ini Mendikbud dan jajarannya? Penerbit yang mengambil untung dari pembuatan LKS ini? Ataukah pihak sekolah yang kurang selektif dalam memilihkan buku buat anak?

Bagi saya, semua punya tanggung jawab moral atas kejadian ini. Pemerintah seharusnya mengontrol sarana atau media apapun yang akan masuk di lembaga-lembaga pendidikan. Penerbit juga harus benar-benar menyeleksi tim yang akan bekerja sebagai pembuat buku-buku pelajaran termasuk LKS. Dan hendaknya ada komunikasi atau memilih editor yang handal salah satunya dari pihak Dinas Pendidikan. Demikian juga dengan pihak sekolah, sebelum mereka memilih penerbit mana yang akan dijadikan mitra untuk penyediaan buku-buku ajar sebaiknya mereka menyeleksi dengan ketat dengan melibatkan guru-guru pelajaran terkait. Bukan hanya harga yang harus dijadikan bahan pertimbangan, akan tetapi harus dilihat juga kontennya. Cocok atau tidak. Bagus atau tidak. Sesuai kurikulum atau tidak. Sesuai dengan karakter yang diharapkan atau tidak. Dan seterusnya.  Semua harus saling berkomunikasi dan bekerja sama demi kebaikan anak-anak kita sebagai generasi yang akan memegang tampuk kekuasaan di negeri ini beberapa tahun yang akan datang.

Saya secara pribadi sudah sering mengkritisi keberadaan LKS yang selama ini beredar. Berbagai macam ketidaksesuaian dan kekeliruan seringkali muncul dalam sebuah LKS dalam berbagai tingkatan pendidikan hampir sama. Saya jadi sering mempertanyakan kredibilitas pembuat LKS ini. Saya khawatir kalau ternyata pembuatan LKS ini kurang mempertimbangkan kemampuan si pembuat LKS tersebut. Saya mengira kalau pembuatan LKS ini kayaknya hanya dijadikan sebagai proyek semata. Yang dibuat hanya mengejar target penyelesaian tanpa memperhatikan konten dan kualitas yang memenuhi syarat. 

Beberapa kekurangan LKS yang selama ini sering saya lihat sepanjang pengamatan saya adalah: 1) Banyak terjadi kesalahan baik dalam penulisan maupun isi. Dalam hal ini saya mempertanyakan, di mana peran editor yang menjadi gerbang terakhir dan terpenting dalam sebuah penerbitan. Atau jangan-jangan memang tidak ada editornya. 2) Seringkali tidak matching antara materi yang ada dengan soal yang diberikan. Semestinya setiap materi yang dibuat dan soal yang dikeluarkan harusnya punya sinkronisasi secara substansi. Kalaupun sedikit berbeda atau tidak secara eksplisit disebutkan dalam materi itu harus yang sifatnya pengembangan bukan subsatansi. 3) Banyak soal yang dibuat secara berulang-ulang bahkan dalam satu bagian yang sama dengan soal yang sama. Dalam hal ini mungkin perlu dipertimbangkan untuk membuat kisi-kisi dalam setiap pembuatan soal yang ada, walaupun tidak harus secara keseluruhan tapi paling tidak ada acuan sebagai kontrol. 4) Sepertinya pembuat LKS tidak kompeten dalam bidangnya. Ini terbukti dengan materi yang ada kadang menurut saya merupakan materi yang tidak boleh ada dalam soal karena akan memicu konflik dan perbedaan pendapat, ternyata masih dimunculkan juga. Untuk itu pihak penerbit harus benar-benar menyeleksi siapa yang akan jadi tim pembuat soal LKS sesuai bidang dan keahliannya. Selain itu, diupayakan pembuat LKS itu adalah juga guru di sekolah sesuai tingkatannya sehingga ia akan tahu sejauh mana kapasitas anak yang akan diberikan soal LKS yang dibuatnya.

Melihat fenomena ini, saran saya lebih baik bagi tiap sekolah mempertimbangkan  untuk memberdayakan gurunya membuat LKS secara mandiri. Hal ini sangat bagus, karena ianya mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya: 1) Bisa mengasah kemampuan dan kreatifitas guru-guru di sekolah tersebut. 2) Guru-guru akan mempunyai karya dan peninggalan yang baik ketika ia sudah tidak mengajar lagi di sana. 3) Materi yang diberikan akan dapat disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan anak didik karena ia tahu persis akan kemampuan mereka. 4) Kalau LKS itu bagus bisa ditawarkan kepada penerbit, dicetak dan pada akhirnya guru akan mendapat penghasilan dari royalti bukunya. Enak kan... hehehe...

Akhirnya, kembali lagi kepada tanggung jawab kita sebagai guru dan pihak lain yang mendukung keberlangsungan pendidikan generasi kita. Kita harus ingat bahwa apa yang kita lakukan sedikit banyak akan membawa pengaruh baik atau buruk terhadap masa depan anak-anak kita. Di samping itu jangan lupa bahwa apapun yang kita lakukan akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar