Minggu, 31 Maret 2013

Mencetak Anak Bermental Juara

Setiap kita pasti punya keinginan dan harapan untuk meraih sukses dalam bidang apapun yang kita geluti. Akan tetapi tidak semua orang bisa mempertahankan keinginan itu sampai ia bisa meraih apa yang ia impikan. Kadangkala karena kegagalan dan rintangan yang dialami semangat yang tadinya menggebu kemudian lambat laun melemah dan akhirnya semangatnya padam. Tidak mudah membangkitkan kembali semangat yang sudah melemah, apalagi kalau semangat itu sudah hilang. Ini masalah mental yang terbentuk oleh lingkungan dan yang muncul dari dalam diri sendiri. Bermental juara tanpa perlu menjadi ambisius bukanlah sesuatu yang bisa gampang dipetik. Ada proses sosialisasi dan pembiasaan yang perlu dilakukan, terutama bila diterapkan sejak masa kanak-kanak.

Menjadi juara seringkali identik dengan keikutsertaan seseorang dalam sebuah perlombaan atau kejuaraan tertentu. Padahal maknanya tidak sesempit itu. Seorang anak yang mempu menyelesaikan suatu pekerjaan yang semestinya ia lakukan adalah juga seorang juara. Ini seringkali tidak disadari oleh sebagian orang, baik orang tua maupun anak-anak. Apalagi kalau hal ini dikaitkan dengan istilah bermental juara. Tentu tidak selalu dikaitkan dengan suatu event tertentu, hal ini lebih kepada sikap, semangat dan motivasi meraih yang terbaik. 

Jika orangtua sudah menyadari hal ini, maka hal selanjutnya adalah membentuk mental juara pada anak. Membentuk mental juara yang dimaksud adalah bagaimana orangtua membantu anak-anak untuk menang dalam setiap langkahnya. Menang dalam kepercayaan dirinya, dan mampu menghargai sekecil apapun prestasi yang diraih dan dimiliki. Dengan begitu, ia juga akan belajar untuk menghargai orang lain.

Dra.Puji Lestari Prianto,M.Psi, dosen Psikologi Pendidikan dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menyebutkan bahwa membentuk mental juara juga berarti menempa anak supaya lebih tangguh menghadapi segala tantangan dan menjadi anak yang mandiri.

Menurut Puji, banyak manfaat yang dapat diperoleh dari pembentukan mental juara pada anak. Antara lain anak menjadi siap, tidak bergantung pada orang lain, percaya diri, tidak cepat putus asa, serta menjadi sosok pribadi yang terbiasa untuk memecahkan masalah (problem solver).

Salah satu cara untuk melatih mental juara pada anak adalah dengan memberikan tanggung jawab untuk menyelesaikan atau mengerjakan sesuatu. Orang tua tidak harus sealalu membantu atau memberikan apapun  yang diinginkan anak. Orang tua harus tahu kapan ia harus membantu anak, kapan ia harus melepasnya untuk menyelesaikan tanggung jawabnya. Dengan demikian orangtua dapat membentuk anak menjadi tangguh. Selain itu orang tua juga perlu menanamkan motivasi dari dalam diri anak sendiri, sehingga anak tidak selalu harus disuruh dan ditentukan oleh lingkungannya, dalam melakukan segala sesuatu.

Orangtua kerap menyalahartikan konsep membentuk mental juara dengan menuntut anak untuk selalu menjadi juara. Sepanjang saya menjadi wali kelas di sekolah dimana saya mengajar, di kelas yang saya pimpin hal ini kerap terjadi. Ada beberapa orang tua yang memang cenderung memaksa agar anaknya selalu menjadi juara dengan menarget anak agar selalu meraih nilai sempurna 100. Kalau saja anaknya meraih nilai kurang dari itu ia akan memarahinya habis-habisan dan menghukum dengan sanksi yang tidak seharusnya diberikan. Positifnya memang anak akan berusaha menjadi yang terbaik, akan tetapi sisi negatifnya adalah anak menjadi begitu paranoid, tertekan, dan kalau sudah stress anak akan cenderung mencari jawaban dengan cara apapun. Bisa dengan mencontek atau apapun asalkan ia tidak dimarahi oleh orang tuanya.

Sayang sekali memang, seringkali orang tua lebih termotivasi memiliki pride atau prestise saat anak memenangkan sesuatu, sehingga yang dikejar adalah hasilnya, bukan prosesnya. Inilah yang menciptakan anak ambisius, di mana anak hanya akan berorientasi pada pencapaian hasil. Berbeda dengan anak yang memahami proses maka akan tercipta aspirasi di dalam dirinya. Ia akan lebih memaknai apa yang ia pelajari dan menikmati prosesnya dengan baik tanpa harus terbebani karena yang terpenting ia sudah melakukan usaha dengan sebaik mungkin, soal hasil itu lebih kepada akibat dari upaya yang dilakukan.

Dengan demikian, aspirasi sifatnya lebih jangka panjang daripada ambisi.”Pada anak yang ambisius, anak akan sangat keras berusaha mencapai sesuatu akan tetapi dilain pihak anak akan cepat puas dan bangga apa yang diperolehnya dan berhenti hanya sampai di situ,” terang Ayu. Oleh sebab itu, ajarlah anak untuk lebih menghargai proses daripada hasil.

Hal senada juga diungkapkan oleh Puji, yang penting bukanlah menjadi juaranya, tetapi bagaimana usaha anak untuk mencapainya.” Anak tidak harus selalu menjadi juaranya, tetapi bagaimana usaha anak itu untuk mencapainya.”Anak tidak harus selalu menjadi juara, tetapi menjadi lebih baik dari yang ia lakukan selama ini. Ia bisa lebih percaya diri, siap menghadapi berbagai tantangan,” paparnya.

Puji menambahkan, menghadapi kekalahan pun merupakan salah satu membentuk mental juara. Dalam hidup, seseorang tidak selalu menghadapi keberhasilan tetapi juga dalam saat-saat tertentu menghadapi kegagalan atau ketidakmulusan.”Dengan adanya hal-hal seperti ini, justru anak belajar bahwa diperlukan usaha untuk mengatasi sesuatu,”katanya.


Latih Mental Juara Sejak Dini

Mental juara dapat dibentuk dan dilatih orangtua sejak kecil, terutama begitu anak mulai berinteraksi dengan dunia sekitarnya. Menurut teori Erickson, tahun-tahun pertama merupakan tahun pembentukan dasar kepribadiannya kelak, dan dalam hal ini lingkungan sosial amat berpengaruh.

Awal kehidupan anak ditandai dengan adanya trust dan mistrust. Trust atau rasa percaya menunjukkan adanya perasaan kenyamanan fisik dan sedikit rasa takut. Trust dimasa kanak-kanak membentuk harapan dalam kehidupan bahwa dunia ini merupakan tempat yang nyaman.

Dalam membentuk mental juara dan memotivasi anak haruslah mementingkan kenyamanan dan kebahagiaan anak, dengan cara-cara yang fun, jangan sampai anak merasa terpaksa dan tidak enjoy terhadap apa yang dilakukannya.

Selanjutnya pada usia 1-3 tahun ditandai dengan autonomy dan shame and doubt. Pada masa ini anak mulai menemukan dan mengembangkan tingkah lakunya. Jika anak diberi kesempatan untuk mencoba maka akan muncul autonomy, tetapi kalau anak banyak diarahkan, dilarang atau “jangan ini jangan itu” maka akan menjadi anak yang pemalu dan ragu-ragu. Pada usia ini cukup ideal untuk melepas anak memecahkan masalahnya sendiri, yang merupakan salah satu cara membentuk mental juara.

Sementara pada masa anak-anak awal yaitu usia 3-5 tahun ditandai dengan initiative dan guilt. Masa ini muncul di usia prasekolah, dimana kehidupan sosial anak sudah lebih berkembang. “saat anak mulai aktif, banyak perilaku perlu dikembangkan agar anak bisa mengatasi atau beradapatasi dengan lingkungannya.

Anak belajar untuk bertanggung jawab atas berbagai hal, menjaga milik mereka. Berkembangnya rasa tanggung jawab akan menanamkan rasa inisiatif pada diri anak. Sebaliknya akan muncul anak yang memiliki rasa bersalah dan cemas dikarenakan tidak memiliki rasa tanggung jawab dan tidak diberi kesempatan untuk mandiri. Dengan adanya pengalaman dari lingkungan yang menjadikan anak memiliki rasa percaya pada dunianya, mandiri dan penuh inisiatif, diharapkan membuat anak akan lebih siap mengahdapi dunianya. Hal-hal inilah yang merupakan esensi dari mental juara.

Hal Yang Perlu Diwaspadai

Dalam membentuk mental juara serta memotivasi anak ada beberapa hal yang penting diwaspadai. Anak menjadi juara bisa membuat anak lebih percaya diri, inilah dampak positifnya. Yang perlu dijaga adalah bila suatu saat anak ini sudah tidak menjadi juara lagi. Anak yang selalu atau sangat sering menjadi juara kerap menjadi lebih down ketika mengalami kegagalan. Terlebih lagi jika orang-orang di sekitarnya bersifat menyalahkan, anak bisa merasa tidak berharga dan tidak dicintai lagi karena sudah gagal. Hal semacam inilah yang baisanya terjadi apabila orangtua dan lingkungan anak yang lebih mengutamakan hasil daripada proses. Akibatnya self –esteem atau penghargaan diri anak menjadi relatif rendah.

Hal lain yang perlu diwaspadai adalah munculnya sifat angkuh atau sombong pada anak yang sering menjadi juara atau pemenang.”Sejak awal anak mengikuti suatu kompetisi tertentu, dia harus disiapkan untuk menang maupun kalah. Pujian maupun evaluasi hendaknya diberikan secara proporsional. Sekecil apapun achievement anak perlu dihargai. Di sisi lain apa yang menjadi kelemahan atau kekurangannya perlu dievaluasi, dicari solusinya. Dengan demikian anak tidak sombong, tetapi juga masih mau berusaha untuk lebih baik di kesempatan yang akan datang.

Yang juga perlu diperhatikan dalam membentuk mental juara ialah menghindarkan anak dari sikap individualis. Seyogyanya anak bermental juara justru mampun beresonansi dengan lingkungn sekitarnya. Anak yang menghargai dirinya sendiri berdasarkan proses, biasanya juga akan menghargai orang lain. Anak perlu diajarkan untuk menyadari siapa dirinya dan bisa menjelaskan bagaimana hubungannya dengan orang lain. Dengan memahami siapa dirinya, maka ia akan tahu perannya: apa yang ia miliki, apa yang ia bisa dan apa yang ia akan lakukan. Bila ini sudah tercapai, anak akan bisa mandiri tanpa melupakan hakikatnya sebagai mahkluk sosial.

Catatan penting bagi setiap orangtua adalah bahwa mental juara dapat dibentuk atau dilatih oleh siapapun, termasuk dari orangtua yang pernah gagal atau tidak terlalu sukses.Yang perlu diingat adalah bagaimana orangtua menghadapi kegagalan itu sendiri, apakah orangtua merupakan orangtua yang optimis atau frustasi dan pencemas. Jika orangtua yang kurang berhasil tetap ia memilki kepribadian yang positif dan memiliki motivasi dan keinginan untuk mengembangkan anaknya dalam lingkungan yang sehat, tidak ada paksaan, diharapkan anak bisa tangguh menghadapi tantangan.

Setiap anak mampu menjadi juara! Hal ini harus disadari oleh setiap orangtua. Tapi juara juga tidak dicetak dengan mudahnya, butuh usaha dan proses. 

Ada beberapa nilai penting dari konsep Mestakung yang diungkapkan oleh Prof Yohanes Surya, Ph.D, yang akan dapat menginspirasi Anda para orangtua yang hendak membentuk mental juara pada anak:

1. Mestakung terjadi dimana-mana

Tugas prakarya Amir harus dikumpulkan besok pagi. Awalnya Amir begitu stress karena belum    mengerjakan apa-apa. Diapun mulai bekerja dan bekerja, seluruh sel-sel tubuhnya mulai dari kaki, tangan hingga otak bekerja bersama-sama. Bahkan ayah, ibu, kakak dan adiknya tergerak untuk membantu. Akhirnya pekerjaan Amir pun selesai. Mestakungpun terjadi dalam hal sehari-hari seperti ini.

2. Mestakung terjadi ketika kita mau melangkah

Tantangan dan hambatan akan senantiasa hadir dalam setiap langkah kehidupan. Mestakung terjadi bila kita tidak takut untuk terus melangkah, bahkan sampai melakukan pengorbanan jika perlu. Mestakung berawal dari niat dan kegigihan.

3. Mestakung dalam otak melahirkan kreatifitas

Salah satu ciri mental juara adalah pioneer (perintis) yang memiliki kreativitas tinggi.

4. Mestakung butuh waktu dan kesabaran

5. Mestakung merupakan proses yang tidak didapatkan dalam sekejap.

Tidak ada kamus menyerah dalam mestakung
Bermental juara berarti siap untuk terus berusaha dan melakukan lebih baik.

6. Mestakung pantang bicara ”tidak mungkin”. Segala sesuatu adalah mungkin asal kita berupaya.

7. Mestakung dimulai dari mimpi

Impian dan cita-cita merupakan titik awal sebuah proses pencapaian.

8. Mestakung butuh fokus

Seperti halnya anak-anak dalam tim olimpiade fisika yang berhasil menjadi juara dunia, ajar anak untuk memiliki fokus dalam hidupnya. Dengan demikian proses pencapaian yang dijalaninya memiliki tujuan-tujuan yang jelas.

9. Mestakung tidak mengenal kata gagal

Kekalahan hanyalah kemenangan yang tertunda. Terus yakinkan anak bahwa dia selalu dapat berbuat lebih baik dari waktu ke waktu.

10. Mestakung menghasilkan sukses yang luar biasa

Dari proses panjang yang telah dilewati pada akhirnya aka nada hasil yang dicapai.
Bermimpilah setinggi-tingginya dan raihlah itu
Biarkan anak mempunyai impian dan cita-cita, serta bantulah dia untuk mewujudkannya.
Kritis, Langkah dan Tekun
Kunci Mestakung adalah kritis, Langkah dan Tekun. Saat anak menghadapi masa kritis, misalnya saat ujian atau sedang bertanding, dampingi anak untuk terus melangkah dengan tekun.
(Diadaptasi dari : http://www.ibudanbalita.com/pojokcerdas/membangun-mental-juara-pada-anak/195)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar