Rabu, 22 Januari 2014

Menata Kata Menjaga Sikap

Saya memang sering sekali ke sekolah dan senang berlama-lama di sana. Di samping karena sementara ini keluarga ada di kampung, juga karena di sekolah saya bisa menambah informasi dan pengetahuan dengan leluasa. Tiba-tiba telepon genggam saya berbunyi, ternyata telpon berasal dari istri dan anak saya. Kami memang sudah biasa telponan setiap hari, walaupun yang dibicarakan hanya hal-hal kecil. Sampailah pembicaraan tadi pada sebuah pertanyaan,"Memang di sana bersama siapa?" Saya jawab,"Ada Pak S di ujung kelas sana?" Ngapain malam-malam begini?" "Biasa dia mah paling juga merokok, soalnya kalau di rumah tidak boleh sama istrinya." Akhirnya, ia bilang,"O, begitu ya laki-laki, mungkin semua laki-laki begitu ya? Kalau dilarang sama istrinya malah ngebandel." Saya jawab," Ya, nggak begitu juga, tidak semua laki-laki bersikap seperti itu, tergantung bagaimana pola komunikasi yang dibangun oleh si istri, bagaimana cara dia berbicara, apakah dengan cara yang baik atau tidak."

Memang sih yang saya rasakan dan juga mungkin banyak para laki-laki di luar sana, kalau pasangan bicara ngotot-ngototan, seperti mendikte, bicaranya sambil marah-marah, atau bahkan menganggap kita tidak tahu apa-apa, apapun yang dikatakan pasangan (istri) biasanya hati sulit menerima. Ada rasa ingin menunjukkan power bahwa saya ini laki-laki lho, kepala keluarga lho, saya juga ga bodoh-bodoh amat lho... Dan lho-lho yang lain. Walaupun sebenarnya itu hanya perasaan sesaat dan ego semata. Karena masalahnya bukan di konten yang disampaikan, karena seringkali isi perkataannya memang benar, hanya saja cara penyampaiannya yang kurang baik.

Hal ini menunjukkan bahwa kemasan dari suatu isi itu memang penting. Sebagai contoh, kalau ada minyak sapi tapi kemasannya gambar babi maka sebagian besar orang akan menjadi ragu akan kemurnian isinya. Begitupun dalam cara berkomunikasi, setiap perkataan, sikap, dan perilaku kita harus dikemas dengan sebaik-baiknya. Hati yang baik harus diwujudkan dalam perilaku dan tingkah laku yang baik pula. Isi pembicaraan yang benar juga harus disampaikan dengan tutur kata yang sopan, baik, dan santun. Karena kalau tidak, bisa jadi orang yang mendengar pembicaraan kita alih-alih mendengarkan atau melakukan apa yang kita sampaikan, justru mereka akan antipati dan tidak mau peduli dengan perkataan kita.

Allah SWT menegaskan tentang bagaimana sikap Rasulullah SAW dalam menyampaikan dakwahnya sehingga punya atsar atau pengaruh yang begitu luar biasa di kalangan para penerima dakwah beliau. Dalam surah Ali Imran ayat 159, Allah SWT berfirman : "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa yang menjadi kunci sukses dakwah Nabi SAW adalah sikap dan tutur katanya yang lemah lembut, sikap pemaaf, dan selalu bermusyawarah dan tentu yang utama adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya tempat bergantung.

Sikap Rasulullah SAW merupakan sikap yang harus kita ikuti dan kita teladani. Beliau adalah komunikator ulung nan luar biasa. Bisa merangkai setiap katanya dengan baik dan indah dan bisa menempatkan setiap perkataannya sesuai dengan orang yang dihadapinya. Maka, kalau kita ingin agar perkataan kita didengar dan berpengaruh kita harus menata perkataan kita dengan baik dan menyesuaikannya dengan orang yang kita ajak bicara. Jangan sampai kata-kata kita menyakiti, memojokkan, apalagi menghina orang lain. Pastikan mereka mengikuti kita tanpa merasa terpaksa. Walaupun mungkin kata-kata kita menyinggung tapi kalau bahasa kita baik ketersinggungan itu tidak akan jadi masalah. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar