Sabtu, 11 Januari 2014

Sekolah itu Gak Perlu, Kalau.... (1)

Dalam beberapa kesempatan, dalam perenungan panjang, saya seringkali bertanya-tanya, masih perlukah sekolah bagi anak-anak kita? Mungkin ini hanyalah pikiran-pikiran "nakal" saya saja. Tapi, bisa jadi ini juga merupakan kekecewaan saya terhadap kualitas sekolah yang pernah saya temui. Boleh jadi juga ini merupakan bagian dari ketidakpuasan saya terhadap diri saya sendiri sebagai seorang guru. Banyak kenyataan yang kemudian menjadikan saya menilai bahwa memang banyak sekolah seperti yang ada sekarang itu tidak perlu ada. Salah satunya kita seringkali menjadikan sekolah hanya alat legitimasi bagi seseorang agar diakui dalam masyarakat dalam bentuk selembar ijazah dan sederet nilai-nilai yang entah diberikan secara jujur atau tidak. 

Mari kita lihat lebih jauh dengan lebih jernih tentang fakta-fakta tentang keberadaan sekolah saat ini. Dengan melihat fakta-fakta ini harapan saya kita semua bisa kembali introspeksi diri, apa sebenarnya yang salah dalam penyelenggaraan sekolah kita? Semoga kita bisa menjadikan sekolah-sekolah kita menjadi penting adanya dan mendapat kepercayaan yang besar dari masyarakat, karena ia bisa menjadi solusi terbaik bagi pendidikan anak-anak mereka. Berikut ini adalah beberapa fakta yang saya lihat dari kacamata "awam" saya.

#1. Sekolah itu tidak perlu, kalau bimbel/les lebih dipercaya dibandingkan sekolah formal yang ada. 

Saat ini, lembaga-lembaga bimbel dan les privat tumbuh bak jamur di musim hujan. Belum lagi les yang dilakukan secara pribadi baik yang datang ke rumah ataupun yang didatangi. Lembaga-lembaga ini memang sangat menjanjikan bagi yang menyelenggarakannya. Betapa tidak, bisnis ini mampu meraup penghasilan yang tidak sedikit. Bahkan, tidak jarang ini dijadikan sebagai lahan penghasilan utama bagi sebagian saudara-saudara kita. 

Sampai di sini memang tidak ada yang salah. Setiap orang punya hak untuk membangun usaha dan mendapatkan penghasilan. Setiap orang -terutama orang tua- juga punya hak memilih tempat belajar agar anak-anaknya menjadi cerdas dan terampil. Masalahnya adalah, ketika orang tua dan anak-anaknya lebih percaya pada lembaga bimbel atau les privat dibanding kepada sekolah. Sebagai indikasi kita bisa menyaksikan ketika sekolah menaikkan sedikit saja uang SPP anak-anaknya mereka protes luar biasa. Suruh membayar SPP tiga ratus ribu saja mereka keberatan. Tapi, untuk bimbel dan privat mereka berani membayar jutaan tiap bulannya. 

Apa yang sebenarnya terjadi? Ternyata salah satu alasannya adalah karena kualitas pengajaran di lembaga bimbingan belajar dan les privat terbukti lebih bagus dibandingkan dengan cara pengajaran di sekolah. Anak-anak lebih cepat memahami pelajaran kalau disampaikan di tempat bimbel. Kalau begitu, pertanyaan yang muncul, kalau memang bimbel lebih baik untuk belajar anak-anak kita, apakah keberadaan sekolah masih diperlukan? Kalau acuannya sekolah itu untuk menambah ilmu pengetahuan anak, maka keberadaan sekolah itu mestinya tidak diperlukan lagi. Untuk apa sekolah kalau materi yang ada di sekolah bisa anak-anak dapatkan di tempat bimbel atau les. Jelas sekolah ga  perlu. 

Tapi, pada kenyataannya memang para orang tua masih membutuhkan sekolah bagi anak-anaknya. Hanya saja kebutuhan orang tua kepada sekolah bukan lagi karena sekolah bisa menjadikan anak jadi lebih pintar, kebutuhan itu tidak lebih hanya untuk bahan legitimasi semata. Karena dengan sekolah anak-anak bisa mendapatkan ijazah, dan dengan ijazah anak-anak bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, begitu seterusnya. Dan akhirnya ketika sudah bisa mendapatkan ijazah di tempat pendidikan yang lebih tinggi pada saatnya nanti mereka bisa lebih mudah melamar pekerjaan yang bergengsi dan bisa mendapatkan fulus yang lumayan. Jadi, UUD, ujung-ujungnya duit. 

Karena itu, bagi kita yang bergelut di dunia pendidikan, mestinya hal ini kita sadari bersama, seharusnya sekolah bisa memberika solusi yang menyeluruh untuk memberikan arti untuk bekal anak-anak kita di kemudian hari. Anak yang asalnya tidak bisa menjadi bisa. Yang asalnya tidak paham menjadi paham. Yang asalnya bodoh menjadi pintar. Yang asalnya tidak terampil menjadi terampil. Yang aslnya "buta" menjadi "melek". Dan seterusnya. Kenyataan ini harus menjadi tantangan bagi kita untuk membuktikan bahwa sekolah kita memang berkualitas dan lebih dari cukup untuk menjadikan anak-anak kita menjadi lebih baik. Wallahu a'lam... 

Bersambung ke Bag. 2...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar