Minggu, 26 Januari 2014

Pemimpin yang Dicinta dan Didamba

Kita sudah sering menyaksikan fenomena perubahan drastis seseorang yang tadinya begitu supel tapi tiba-tiba berubah setelah menjadi pimpinan dari suatu lembaga. Ia menjadi tertutup, kaku, dan bahkan kadang-kadang menakutkan bagi anak buahnya. Seorang teman pernah berpesan kepada saya,"Pak Amir, kalau seandainya suatu saat nanti jadi pimpinan jangan sampai berubah sikap ya." Begitu katanya. Karena menurut pengalaman dia banyak orang yang awalnya sangat dekat dengan orang lain tapi berubah setelah mempunyai posisi penting.

Sejatinya, menjadi pemimpin bukanlah alasan bagi kita untuk menjauh dari bawahan kita. Pemimpin adalah harapan bagi yang dipimpin. Pemimpin adalah penyambung lidah bagi mereka. Alih-alih semakin jauh justru seharusnya semakin dekat, semakin intens mendengarkan keluh kesah mereka. Sering kali yang awalnya disukai tiba-tiba menjadi orang yang sangat dibenci. Apa yang menyebabkan hal itu? Sungguh alasannya sangat simpel sebenarnya. Karena ia memposisikan dirinya sebagai orang yang harus dihormati dan dimuliakan. Itulah ego diri yang akan merusak citra dirinya di mata bawahan dan orang-orang sekitarnya. 

Sebagai pemimpin harusnya kita melepaskan keegoan diri kita. Kita harus siap menjadi tempat curhat, kita juga harus siap dikritik, siap dikompalin, siap untuk mengayomi, bahkan kita harus siap dicaci maki. Kita jangan lagi berpikir untuk kepentingan diri sendiri. Kita milik mereka, kita milik bawahan, bahkan kita seharusnya menempatkan diri sebagai pelayan mereka, bukan sebagai bos. Lucunya, saya menemukan ada sebagian pimpinan kita yang merasa bahwa ia didzalimi bawahannya saat mereka dikritik atau kebijakannya diabaikan dan titahnya tidak dituruti. Padahal, bagaimanapun tuntutan adalah sebuah keniscayaan. Tinggal bagaimana kita menempatkannya, apakah kita jadikan sebagai masukan dan bahan introspeksi diri ataukah sebagai serangan. 

Untuk menjadi pemimpin yang didamba dan dicinta sebenarnya sangat simpel. Tempatkan diri kita seolah-olah berada dalam posisi mereka. Apa yang mereka inginkan? Atau, kita ingat-ingat, apa yang kita inginkan saat dulu kita berada di posisi mereka? Setelah itu kita inventarisir, susun dalam skala prioritas, tempatkan yang terbaik di atas disusul yang baik, yang biasa, yang kurang baik, sampai yang tidak baik untuk dilaksanakan. Laksanakan yang sangat mungkin untuk kita laksanakan. Libatkan bawahan untuk memutuskan suatu kebijakan yang bersentuhan langsung dengan mereka. Tidak hanya itu, kita juga harus terus mendengar keinginan dan keluh kesah mereka. Karena biasanya semua berkembang sesuai dengan keadaan dan kemajuan zaman. Seorang pemimpin harus terus mengikuti perkembangan dan perubahan yang terjadi. Berpikir lebih rasional dan tidak emosional.

Di samping itu, seorang pemimpin juga harus bisa mengambil hati bawahan dan customer-nya. Dalam konteks sekolah, misalnya, pemimpin harus pandai memberikan senyuman dan pujian kepada bawahan yang punya prestasi tertentu. Bersikap arif dan bijak dalam menyikapi bawahan yang melanggar norma. Jangan buru-buru mengambil kesimpulan sendiri tanpa ada konfirmasi. Kaitannya dengan orang tua atau customer sekolah, berikan mereka pelayanan yang mengesankan lebih dari yang mereka perkirakan (exellent customer service). Tampung usul dan saran mereka dan gunakan usulan itu kalau dirasa baik. Cari potensi orang tua siswa yang bisa dijadikan sebagai narasumber pada salah satu kegiatan sekolah. Dari mulai yang kerja kasar sampai yang pekerjaannya dalam posisi yang lebih "tinggi", kita jadikan mereka sumber belajar anak, sehingga mereka akan sangat merasa memiliki terhadap lembaga yang kita pimpin. 

Jangan lupa, sering-seringlah berbaur bersama bawahan dan stakeholders kita. Jangan takut menjadi hilang pengaruh dan wibawa. Justru itu adalah sarana yang baik untuk mendengar masukan yang lebih jujur dari mereka. Kita harus menyadari bahwa seringkali dalam situasi yang formal masukan yang datang kepada kita seringkali terhambat oleh keformalan itu dan menjadikan bawahan atau unsur lainnya menjadi tidak jujur. Ada rasa ketakutan kalau-kalau dengan pendapat yang nyeleneh  atau sedikit pedas mereka akan mendapatkan akibat buruk atau sanksi baik secara resmi dari lembaga atau sanksi psikologis dari pimpinannya. Bisa dicemberutin, atau tidak ditegur sapa.

Intinya, jadilah pemimpin yang berbuat, berucap dan berprilaku jujur baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Jangan dibuat-buat atau terlalu formil dalam menjalankan tugas kepemimpinan kita. Jadikan suasana yang senyaman mungkin untuk semuanya. Insya Allah semua akan betah dan percaya pada lembaga yang kita pimpin. Wallahu a'lam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar