Selasa, 14 Januari 2014

Resign... Oh, Resign...

Adanya guru yang resign (mengundurkan diri) dalam suatu lembaga pendidikan adalah hal yang biasa dan wajar. Sebagaimana juga bisa terjadi di lembaga-lembaga yang lain. Akan tetapi kedengarannya menjadi tidak wajar kalau dalam satu periode kepemimpinan lembaga pendidikan itu guru yang resign jumlahnya bisa lebih dari 6 atau 7 orang. Ini jadi pertanyaan besar. ADA APA DENGAN SEKOLAH TERSEBUT? Apakah karena gaji yang kecil? Kebijakan yang tidak populis? Kepala sekolah yang tidak menyenangkan? Suasana kerja yang tidak nyaman? Dan banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya. 

Beberapa guru yang mengundurkan diri barangkali punya alasan yang berbeda-beda. Ada yang mendapat tawaran di tempat lain yang lebih menjanjikan. Ada yang disebabkan karena ikut suami (kalau ia perempuan). Ada yang pindah karena suasana kerja yang tidak nyaman. Ada yang disebabkan konflik antar sesama guru. Ada juga yang pindah karena diangkat jadi PNS dan ditempatkan di sekolah lain atau instansi lain. Bahkan ada juga yang keluar karena dipecat.

Sejatinya, resign, pindah tempat kerja, keluar kerja, atau apapun itu namanya, adalah hak semua orang. Setiap guru yang mengajar di suatu sekolah punya hak untuk menentukan pilihannya masing-masing dan memilih tempat kerjanya sendiri. Akan tetapi tentu hal ini perlu ada mekanismenya, karena kalau hal ini tidak diatur pasti eksesnya tidak baik bagi suatu sekolah. Maka, karena pertimbangan itu, beberapa sekolah menetapkan kebijakannya masing-masing. Di antara kebijakan tersebut adalah adanya sekolah yang menetapkan sistem kontrak per tahun. Artinya, setiap awal tahun masing-masing guru menandatangani kontrak sebagai guru selama setahun ke depan. Nah, setelah masa kontraknya habis sekolah tersebut bisa memperpanjang kontrak tersebut bagi guru yang masih dibutuhkan dan masih mau mengajar di sana. Dan bagi yang sudah habis masa kontraknya tapi ia tidak diperlukan lagi di sekolah itu atau memang guru tersebut mau pindah maka kontraknya tidak diperpanjang.

Ada pula sekolah yang tidak menerapkan sistem kontrak ini. Akan tetapi tentu harus ada ketentuan dari sekolah tersebut atau yayasan yang menaunginya agar setiap guru yang mau resign jangan sampai mendadak atau resign di tengah jalan atau di tengah tahun ajaran, karena yang akan jadi korban nanti anak didiknya. Oleh karena itu, seorang pimpinan di sebuah sekolah hendaknya memahami hal ini, agar tidak mudah untuk melepaskan seorang guru untuk mengundurkan diri dengan alasan hak asasi. 

Seorang pemimpin yang bijak tentu akan melihatnya secara menyeluruh. Ketika ada guru yang mau resign, ia akan melakukan evaluasi. Ia akan mempertanyakan dulu, apa faktor pendorong guru tersebut melakukan resign? Apakah murni dari keinginannya tanpa ada hubungan dengan kebijakannya selama ini? Ataukah justru ia berniat resign karena ada kebijakan si pimpinan yang tidak menyentuh rasa keadilannya atau kenyamanan hatinya. Jadi, jangan serta merta ia melihat bahwa niat anak buahnya itu sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, atau sekedar bilang bahwa itu haknya dia, atau lebih buruk lagi kalau pimpinan berpikir,"biarkan saja dia keluar/mengundurkan diri, toh masih banyak penggantinya yang ngantri." Ini tentu merupakan preseden buruk sebuah lembaga pendidikan. 

Harus diingat, bongkar pasang guru akan membawa efek yang tidak baik bagi peserta didik. Kenapa? Karena masalahnya tidak simpel. Peserta didik perlu penyesuaian diri dengan guru yang baru, dan ia membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Bagaimana jadinya kalau beberapa bulan tiba-tiba harus ganti guru. Baru penyesuaian sudah ganti guru lagi. Padahal setiap guru itu punya cara mengajar, pemikiran, dan kebijakan yang berbeda. Maka, sekali lagi anak-anaklah nantinya yang bingung dan jadi korban. Bagaimana mungkin kita berharap kualitas pendidikan yang bagus dengan cara seperti ini.

Jadi, apa yang harus dilakukan seorang pimpinan ketika ada anak buahnya (baca: guru) yang akan mengundurkan diri apalagi dalam jumlah yang banyak? Menurut saya, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pimpinan. Pertama, introspeksi diri, apakah yang kita lakukan sebagai pimpinan sudah memenuhi rasa keadilan anak buah kita? Kalau ya, maka kita harus merubah sikap dan kebijakan kita dengan lebih adil. Kedua, lakukan pengamatan, apakah di kalangan anak buah kita saat ini banyak terjadi gap atau ketidak harmonisan? Kalau ya, carai apa penyebabnya, setelah itu bagaimana cara penyelesaiannya? Ketiga, lihat kembali kebijakan penggajian. Kalau alasan mereka resign karena gaji yang kurang, apakah kita sudah berupaya agar penggajian lebih manusiawi? Selain itu, kita juga perlu mengkaji ulang, apakah alasan gaji itu benar-benar alasan utamanya? Keempat, lakukan pendekatan secara personal, buat dia nyaman dan merasa diperhatikan.

Kenapa hal itu harus kita lakukan? Karena ternyata banyak di antara mereka yang mengundurkan diri dari sekolah kita bukan semata-mata karena masalah uang atau gaji yang kurang, justru yang menjadikan mereka punya niat seperti itu karena mereka tidak merasakan kenyamanan mengajar di sana. Jadi, kunci utama seorang guru bisa bertahan di sebuah sekolah adalah rasa nyaman, kekeluargaan, kedekatan, gotong royong, dan perhatian. Walaupun tidak dipungikiri kalau faktor gaji pun menjadi salah satu alasan, tapi sekali lagi itu bukanlah alasan utama. BUATLAH GURU-GURU NYAMAN, MAKA SEKOLAH AKAN MAJU DAN SOLID. 

Kalaupun seorang guru sudah tidak bisa dipertahankan lagi, baik karena kinerjanya yang buruk atau karena memang keinginannya untuk mengundurkan diri sudah tidak bisa ditahan-tahan lagi, maka, yang harus dilakukan oleh pimpinan adalah jangan sampai membuat sakit hati mereka di akhir pengabdiannya. Berikan mereka kesempatan untuk bicara, memberikan kesan dan pesan, serta permohonan maaf. Ini sangat penting dilakukan agar kesan terakhir yang baik itu akan menjadi perisai diri bagi dia agar jangan menjelek-jelekkan sekolah kita ketika dia sudah di luar atau di tempat kerja yang lain. Karena kalau mereka keluar sekolah kita dengan perasaan sakit hati atau tidak dihargai maka ia akan mengumbar kejelekan dan kekurangan sekolah kita kepada orang banyak. Akibatnya, sekolah kita akan tercoreng dan bisa jadi akan mengurangi simpati dan minat orang-orang di luar sana untuk menyekolahkan anaknya di sekolah kita.

Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar