Minggu, 12 Januari 2014

Sekolah itu Gak Perlu, Kalau.... (2)

#2. Sekolah itu Tidak Perlu, Kalau Tidak Menjadikan Anak Lebih Baik

Dinas pendidikan maupun pihak sekolah dan pengelola sekolah selalu mendengung-dengungkan sikap profesional baik dalam posisi sebagai guru maupun tenaga lainnya yang berada di lingkup sekolah. Guru memang sudah menjadi sebuah profesi yang cukup menjanjikan. Hal ini ditandai dengan adanya perhatian yang begitu besar terhadap profesi ini. Guru mempunyai kode etik yang harus ditaati, sebagaimana juga profesi lainnya, profesi dokter misalnya. Menurut saya, adanya kode etik ini seharusnya guru punya tanggung jawab yang lebih besar terhadap profesinya. Kalau dokter saja sebagai sebuah profesi bisa dituntut kalau melakukan mal praktek, maka semestinya hal ini juga berlaku bagi guru. Guru juga bisa melakukan mal praktek. Lucu memang kedengarannya, tapi coba kita perhatikan lebih jeli! Bukankah guru dibayar untuk menangani anak-anak didiknya agar mereka bisa menjadi lebih baik? Seandainya seorang guru tidak bisa menjadikan anak didiknya menjadi lebih baik, bahkan justru menjadi lebih buruk daripada saat mereka masuk berarti guru itu sudah melakukan mal praktek bukan? Hehehe... Entahlah.

Idealnya sebuah sekolah harus mempunyai alat ukur keberhasilannya dalam pembelajaran. Memang kalau semua guru di sebuah sekolah mematuhi semua koridor yang sudah ditetapkan, mestinya sedikit banyak kita bisa mengukur keberhasilan itu. Akan tetapi, diakui atau tidak, saya sering menyaksikan para guru banyak yang tidak mematuhi itu dengan alasan ribet, repot. Yang paling kasat mata adalah adanya nilai-nilai raport yang lebih cenderung hanya "merekam" kemampuan kognitif anak semata, sementara sisi afektif dan psikomotornya jarang menjadi pertimbangan. Sehingga yang terjadi seringkali yang menjadi ukuran seorang anak itu cerdas atau tidak adalah nilai-nilai kognitif tersebut. Padahal, itu baru sebagian dari kecerdasan itu sendiri, ini baru dilihat dari IQ (Intellegence Quotient)-nya saja. 

Kalau kita melihat fakta itu, pada akhirnya sekolah hanya akan menjadi alat justifikasi bahwa si A pinter sementara si B bodoh, si C kurang pinter, dan seterusnya. Apa yang terjadi dengan anak-anak melihat kenyataan semacam ini? Tentu akan terjadi demotivasi pada sebagian besar anak. Apalagi kalau cap bodoh atau pinter itu diperkuat juga oleh lontaran kata-kata yang disampaikan oleh gurunya. Maka, inilah gambaran sekolah yang buruk. Sekolah seharusnya memberikan dorongan, motivasi, inspirasi, dan ide-ide cemerlang agar para peserta didik terpacu untuk lebih baik. Yakinkan kepada mereka bahwa tidak ada satupun di dunia ini yang terlahir tanpa potensi kecerdasan. Semua anak hadir ke dunia ini dengan membawa potensi masing-masing yang bisa dikembangkan menjadi luar biasa. 

Dalam teori Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk), Howard Gardner mengatakan bahwa ada 8 kecerdasan yang dimiliki oleh setiap orang. Bisa jadi sebagian orang memiliki jenis kecerdasan yang tidak dimiliki oleh sebagian yang lain. Setiap orang dilahirkan dengan potensi satu kecerdasan yang lebih menonjol dibanding yang lain. Sehingga dengan adanya kecerdasan majemuk tersebut, maka tidak ada orang di dunia ini yang bisa dikatakan sebagai orang bodoh. Adapun 8 kecerdasan tersebut adalah kecerdasan verbal/bahasa, kecerdasan logika/matematika, kecerdasan spasial/visual, kecerdasan tubuh/kinestetik, kecerdasan musical/ritmik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan spiritual. 


Sebuah sekolah yang hanya mengandalkan nilai kognitif atau inteligensi sebagai ukuran dengan mengabaikan perubahan sikap atau akhlak menjadi lebih baik bisa dikatakan sebagai sekolah yang gagal. Begitu juga kalau sekolah tidak bisa menjadikan anak lebih terampil bisa juga dikatakan gagal. Kenapa? Karena nilai yang ada di raport biasanya tidak berbanding lurus dengan pengamalan, keterampilan, moral, dan akhlak anak. Maka, kalau ada anak yang nilainya bagus di raport tapi sikapnya tidak baik, akhlaknya rusak, dia belum bisa dikatakan berhasil, sekolah belum bisa dikatakan sukses. Kita harus menyadari betul, bahwa kehidupan tidak akan bisa dihadapi dengan nilai bagus. Rintangan, cobaan, dan tantangan hidup tidak serta merta mampu dihadapi oleh mereka yang raportnya mempunyai nilai yang aduhai. Dari sini, jelaslah bahwa tugas sekolah adalah menjadikan anak lebih cerdas otaknya, lebih bagus akhlaknya, dan lebih terampil tangannya. Sekolah harus mampu memberikan pembelajaran yang bermakna (meaningfull) dan bernilai guna (usefull), sehingga apa yang dipelajarinya benar-benar bermanfaat. 

Selain itu sekolah juga harus mampu menghargai perbedaan kecerdasan yang dimiliki oleh peserta didiknya dan mampu mengembangkan sesuai dengan kecerdasan masing-masing. Dengan demikian anak akan menjadi lebih percaya diri dengan kecerdasan yang dimilikinya. Jangan ada pengkerdilan dari pihak sekolah terhadap kemampuan yang berbeda dari anak-anak didiknya. Kalau hal ini masih terjadi lebih baik sekolahnya tutup saja. Tidak perlu ada sekolah kalau hanya akan memperburuk keadaan anak didiknya. Tidak perlu ada sebuah sekolah kalau hanya akan memberangus kreatifitas siswa karena ada anggapan-anggapan yang salah dari pihak sekolah. Andai itu terjadi lebih baik pendidikan dikembalikan kepada kedua orang tuanya. Dengan syarat orang tua yang tahu tingkat perkembangan anak, apa yang harus disampaikan kepada anak, dan bagaimana cara terbaik mendidik anak. Kalau saja setiap orang tua punya kemampuan itu dan punya rasa tanggung jawab yang besar maka sebenarnya sekolah itu tidak perlu. 

Oleh karena itu, kalau sekolah mau tetap ada dan diperlukan, kita harus memperhatikan betul track record masing-masing anak sehingga perkembangannya bisa diketahui dan kita bisa mengatakan suatu sekolah itu berhasil atau tidak. Sekolah harus bisa menunjukkan perkembangan yang signifikan dari waktu ke waktu. 
Wallahu a'lam...

Bersambung ke Bag. 3...

1 komentar:

  1. "Akan tetapi, diakui atau tidak, saya sering menyaksikan para guru banyak yang tidak mematuhi itu dengan alasan ribet, repot. Yang paling kasat mata adalah adanya nilai-nilai raport yang lebih cenderung hanya "merekam" kemampuan kognitif anak semata" ... berarti masih banyak guru-guru kira yang belum profesinol...atau barangkali juga tingkat kecerdasan mereka masih rendah....bagaimana mungkin dunia pendidikan kita bisa berhasil melahirkan generasi yang bermutu sementara para pendidiknya sendiri bermutu rendah.

    BalasHapus