Senin, 02 Desember 2013

Mengajar di SD Islam At-Taqwa Pamulang


Ini masalah mimpi dan visualisasi. Sebelum melamar menjadi guru di SDI At-Taqwa saya sudah mengajari les Bahasa Arab anak yang sekolah di sana. Setiap 2 kali dalam seminggu saya mengajari mereka dan untuk ke rumahnya saya mesti melewati SDI At-Taqwa, dan setiap kali saya lewat selalu terbersit di hati,” Suatu saat saya akan mengajar di sini “. Dan, kata-kata ini saya sampaikan juga kepada anak-anak SDI yang saya ajari.

Singkat cerita, tanggal 10 Juli 2009 saya diterima menjadi salah satu pengajar di SD Islam at-Taqwa Pamulang. Alhamdulillah... Saya mulai merajut asa untuk menjadi guru yang di atas rata-rata, tidak hanya sekedar guru yang melaksanakan tugasnya dengan standar. Semangat itu begitu menggebu mengisi relung hati ini. Akan tetapi, ketika di awal tahun pelajaran yang mau kami lewati saya diberi tugas untuk mengampu pelajaran yang benar-benar jauh dari kompetensi yang saya miliki. Saya diberi tugas untuk memegang mata pelajaran SBK kelas 5 -6 dan Bahasa Sunda –sekarang sudah tidak ada- . Apa yang saya rasakan saat itu?? Mungkin pembaca sudah bisa menebak. Saya merasa memegang pelajaran yang sebenarnya tidak perlu, dan saya pun sudah down lebih dulu karena di bidang seni dan kreatifitas saya terbilang tidak mumpuni. Saya mulai loyo, ogah-ogahan dan tidak semangat setiap kali harus masuk kelas. Kelas seolah jadi neraka bagi saya. Setiap kali masuk kelas saya seolah disepelekan dan tidak dihargai, padahal mungkin anak-anak tidak ada maksud untuk itu. Hanya saya saja yang merasa seperti itu dan itu bermula dari ketidakmampuan saya dalam menyampaikan materi.

Hal itu berlangsung selama setahun. Bayangkan saudara-saudara... hehe... capek rasanya. Alhamdulillah, di tahun kedua saya mengajar hal itu tidak terulang kembali. Saya sudah mulai diberi kepercayaan mengajar sesuai dengan yang saya pelajari selama ini. Begitu juga di tahun ketiga ini ( saat tulisan ini dibuat ).

PLUS MINUS BEKERJA DI SD ISLAM AT-TAQWA

Bekerja di tempat yang baru tentu ada plus minusnya. Hal ini berhubungan dengan pekerjaan atau aktifitas sebelumnya. Kalau saya bandingkan dengan aktifitas sebelum mengajar di At-Taqwa ini, barangkali bisa saya gambarkan seperti berikut ini :

I.      Sebelum di SDI

1)    Saya merasa ibadah saya lebih rapih dan tertata; salat berjamaah hampir selalu setiap waktu. Salat sunnah juga alhamdulillah lebih sering dijalankan. Membaca Al-Qur’an juga paling tidak 2 kali dalam satu hari.
2)    Hidup saya lebih santai; tidak dikejar dengan tuntutan ini dan itu. Inilah salah satu kejelekannya, saya jadi lebih sering tidur dan kehidupan terasa tidak ada tantangannya. Dalam kondisi ini saya terjebak dalam comfort zone (zona nyaman).
3)    Saya lebih bisa meluangkan lebih banyak waktu untuk membaca dan menambah banyak pengetahuan; dalam seminggu saya bisa menyelesaikan sedikitnya satu buku untuk dibaca tuntas.
4)    Saya lebih bebas ke manapun; tidak banyak terkendala waktu. Bahkan ke toko buku pun saya bisa melakukannya hampir setiap minggu.
5)    Lebih dekat dengan masyarakat; sebelum ini saya masih bisa sering mengisi pengajian-pengajian baik di majlis ta’lim ibu-ibu, bapak-bapak bahkan sampai ke tingkat pengajian para ustadz di FOSIM (Forum Silaturrahmi Muballigh) dan MUI (Majlis Ulama Indonesia) kelurahan Serua.
6)    Bisa meluangkan banyak waktu untuk mengelola dan memikirkan kemajuan TKA/TPA Al-Ma’mur.

II.    Setelah di SDI

1)    Ibadah saya mulai berkurang intensitasnya; Awalnya memang karena saya merasa kecapaian karena harus menyesuaikan dengan suasana kerja yang baru. Shalat berjamaah mulai malas-malasan, baca Qur’an pun mulai berkurang. Astagfirullaahal ‘Adziiim...
2)    Kesibukan mulai meningkat drastis; Saya mulai harus bangun pagi, berangkat pagi-pagi dan harus sampai di sekolah sebelum pukul 06.45. Artinya, saya sudah tidak bisa santai dan tidur pagi lagi. Akibatnya, di awal-awal saya menjadi guru saya seringkali ngantuk-ngantuk berat di meja guru. Tapi akhirnya sedikit-sedikit saya mulai bisa menyesuaikan walaupun sampai sekarang kadang masih suka mengantuk, namun intensitasnya sudah mulai berkurang. Lumayaaan...
3)    Mulai hilang kesempatan untuk membaca buku; Kalau dulu setiap kali saya membeli buku langsung saya baca sampai habis kalau sekarang paling saya hanya membelinya saja, kalau bacanya wallahu a’lam. Saya seringkali sampai rumah sudah kecapaian dan akhirnya hanya bisa tidur untuk kemudian besoknya melakukan hal yang sama setiap harinya. Cenderung membosankan memang..:)
4)    Tidak punya kebebasan lagi untuk pergi sekedar refressing atau memburu buku-buku baru; Hal ini juga yang membuat perasaan saya kadang suntuk dan ingin mencari udara segar serta mencoba sekedar keluar dari kepenatan kerja sehari-hari.
5)    Jauh dari masyarakat sekitar dan kegiatan-kegiatan yang ada di sana. Rindu rasanya kembali bercengkrama, bercanda bersama mereka menjalin ukhuwah dan belajar memaknai hidup dalam kenyataan dan realitas yang jujur.
6)    Tidak bisa konsen lagi dengan TKA/TPA Al-Ma’mur; Datang pun sekarang sudah sering dan hampir selalu terlambat. Belum lagi di sana lebih banyak mengantuk dan tidak semangat lagi.

Ini saya kemukakan bukan karena saya menyesali mengajar di SDI At-Taqwa, ini hanyalah introspeksi atas semua yang terjadi dengan saya selama ini. Saya senang sudah bisa mengajar di sini. Yang harus saya lakukan saat ini adalah bagaimana bisa mengajar dengan baik (baca: profesional) di SD juga mengajar baik di TPA dengan tetap bisa beribadah dengan maksimal, dekat dan berbaur dengan masyarakat, juga tetap banyak membaca buku.

ΓΌ Langkah-langkah Perbaikan

Saya sudah mulai merasa tidak nyaman dengan rutinitas kehidupan yang saya jalani saat ini. Saya harus mulai menata kembali waktu yang saya miliki dengan kesibukan yang seolah tiada henti. Saya yakin sebenarnya kalau saya mau dengan tekad yang kuat saya bisa memaksimalkan waktu yang saya punya untuk menghasilkan karya terbaik untuk umat.

Saya sering membayangkan andai saya bisa menjalani rutinitas seperti dulu rasanya mungkin enaaak... Tapi, rasanya tidak adil kalau saya terus berpikir seperti itu. Saya buru-buru menepis keinginan yang tidak seharusnya itu. Yang penting saat ini adalah bagaimana saya bisa menatap masa depan dengan kehidupan yang lebih tertata.

Ada beberapa langkah perbaikan yang mendesak untuk saya lakukan, diantaranya yaitu:
·         Shalat harus tepat waktu. Wataknya memang kalau shalat sudah ditunda dalam jangka waktu lebih dari setengah jam saja biasanya muncul rasa malas yang besar, pada akhirnya shalatpun diakhirkan. Ini awal dari tahawwun bissholaah (menganggap enteng shalat) yang pada gilirannya akan berakibat pada perasaan tidak merasa berdosa ketika meninggalkan shalat. Sekali masih merasa sangat berdosa, dua kali merasa berdosanya mulai berkurang, ketiga kalinya sudah mulai biasa. Dan kalau sudah merasa biasa hati-hatilah karena dari sinilah kita akan mulai sering meninggalkan shalat hanya karena alasan malas dan ujungnya tidak shalat sama sekali. Na’udzubillah...
·        Upayakan untuk selalu shalat berjama’ah. Shalat berjama’ah memungkinkan kita untuk memetik hikmah yang banyak. Di samping kita bisa bersilaturrahim dengan saudara sesama muslim kita juga akan terdorong untuk melakukan kebaikan yang lebih banyak. Mulai dari wirid yang penuh, qabliyah dan ba’diyah, membaca Al-Qur’an dan hikmah-hikmah lainnya.
·      Jangan pernah tinggalkan berjama’ah shalat Subuh. Karena shalat Subuh adalah shalat yang disaksikan. Shalat Subuh adalah tolok ukur keimanan seseorang, kuat atau lemah, tinggi atau rendah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar