Senin, 14 Mei 2012

Dua Pembunuh Kebahagiaan

Ada seseorang yang curhat kepada saya. Dia adalah anak ketiga dari 4 bersaudara. Ia bercerita kalau saudara-saudaranya tergolong bisa menikmati hidupnya dengan enak. Ia bilang kalau 2 kakaknya dulu sangat diperhatikan oleh orang tuanya, ikut bersama suami tanpa ada rintangan hidup yang berarti, katanya. Apalagi adiknya, dari dulu selalu saja mendapat perhatian lebih dari orang tua, rumah juga tinggal menempati, dan saat sekarang melahirkan juga tidak kesulitan dana, karena ia mendapat perhatian dari orang tuanya sendiri juga dari pihak mertuanya.Pokoknya menurut dia, mereka sangat enak deh... Kemudian ia mengembalikan pada keadaan dirinya sendiri yang konon sejak ia lulus SMA harus berjibaku mencari uang untuk meretas hidup yang lebih baik. Masih menurut dia, walaupun saat ini ia tergolong berkecukupan dibanding saudara-saudaranya, tapi saudara-saudaranya tidak tahu bagaimana penderitaan batinnya selama ini. Dan tersirat dari pembicaraannya kalau dia merasa bahwa saudara-saudaranya tidak ada respect kepadanya dan cenderung hanya memanfaatkannya.

Mendengar ocehan dan omelan-omelannya saya hanya terdiam dan tidak banyak mengomentari apa yang ia sampaikan. Karena saya tahu bahwa seseorang yang curhat itu kebanyakan sebetulnya tidak terlalu peduli kita mau komentar atau tidak, yang terpenting adalah ia punya tempat untuk menumpahkan unek-uneknya dan setelah itu sudah, ia merasakan lebih ringan. Tapi, sambil mendengarkan curhatannya saya terus berpikir, kenapa ya orang kadang sering berpikir masa lalu seolah ia akan tetap hidup di masa lalu saja? Dan gelisah dengan masa depan padahal ia belum tahu masa depan seperti apa.
Baiklah, mari kita coba lihat lebih dalam kebiasaan orang-orang di antara kita seperti yang terjadi kepada saudara kita ini. 

Pertama, kita sering berpikir tentang penderitaan masa lalu kita walaupun saat ini sudah tergolong berkecukupan. Ini sangat berbahaya tentunya. Kenapa? Karena orang yang hidup terus di masa lalu ia tidak akan bisa menikmati masa kininya. Setiap kita bisa bahagia atau merana tergantung cara pikir dan kapasitas keimanan dalam diri kita. Kalau kita selalu berpikir bahwa diri kita menderita, sebanyak apapun harta yang kita miliki, seberlimpah apapun sarana untuk kita mereguk bahagia kalau kita terus terpenjara dalam cara berpikir yang salah maka kita akan terus menerus hidup dalam pola yang salah, dan tidak akan pernah merasa bahagia. Maka biarkan masa lalu dengan berbagai torehan sejarahnya, nikmati saat ini sekecil apapun ia. Karena dengan kemampuan kita untuk mengendalikan pikiran kita untuk tetap berpikir positif, maka masa lalu yang penuh penderitaan itu justru akan memperindah kenikmatan yang kita rasakan saat ini.

Kedua, banyak di antara kita juga yang merasa gelisah dengan masa depan yang belum datang dan belum kita ketahui seperti apa adanya nanti. Kadang saat ini kita cukup mempunyai "sesuatu" untuk kita nikmati dan berbahagia dengannya, tapi karena perhitungan kita terlalu detail dengan hitungan-hitungan matematis manusia belaka kita terjerat dengan ketakutan-ketakutan yang belum tentu dialami. Padahal matematika Tuhan tidaklah selalu rigid dan tidak selalu sama dengan hitungan manusia, keajaiban-Nya seringkali muncul bahkan pada saat-saat yang menurut kita sudah tidak mungkin untuk terselamatkan. Tuhan punya banyak cara dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu yang ada di dunia ini. Yang paling penting bagi kita sebenarnya adalah berusaha dan berikhtiar dengan sebaik dan semaksimal mungkin. Hasilnya kita serahkan pada Kuasa-Nya. Bertawakallah. 

Dua hal inilah yang sering menjadi pembunuh kebahagiaan kita. Terpenjara di masa lalu dan gelisah dengan keadaan masa datang yang belum tentu. Makanya , Syaikh 'Aid Al-Qorni kurang lebih pernah mengatakan: "Harimu adalah hari ini, kemarin adalah sejarah yang sudah lewat dan tak mungkin akan kembali lagi, sedangkan hari esok adalah misteri yang belum tentu akan datang menemui kita, oleh karena itu nikmatilah hari ini untuk kebahagiaan kita, dan gunakan hari ini untuk hal yang bermanfaat karena kita tidak tahu apakah nanti atau esok kita masih bisa melakukan amal baik atau tidak."

Maka, untuk seseorang yang tadi curhat dan siapapun yang membaca ini, saya hanya berpesan: "Berdamailah dengan diri Anda untuk mengikhlaskan seburuk apapun masa lalu Anda, dan biarkan esok datang dengan berjuta harapan baik yang akan membaikkan nasib dan keadaan Anda, serta nikmatilah hari ini sebagai hari Anda untuk bahagia dan hari terakhir Anda untuk melakukan amal dengan sebaik-baiknya."

Selamat berbahagia Sahabat....:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar